Aceh Sudah Pulih
A
A
A
Setelah sepuluh tahun tsunami berlalu, kehidupan di Tanah Rencong tersebut sudah mulai pulih kembali. Sebuah kapal apung yang tersapu tsunami terdampar ke tengah Desa Punge di Blang Cut dan bertengger di atas sekumpulan rumah menjadi seonggok kenangan betapa dahsyatnya musibah tersebut.
Untuk diketahui, kapal yang difungsikan sebagai pembangkitlistrikdilepaspantai itu digiring ombak raksasa ke tengah permukiman warga dan berlabuhlah kapal berbobot mati 2.500 ton dengan panjang 63 meter itu ke darat. Bergeser sekitar 5 kilometer dari tempat sebelumnya kapal itu berada.
Kini kapal yang merupakan bukti betapa dahsyatnya tsunami yang melanda Aceh itu telah berubah fungsi. Pemerintah Kota Banda Aceh memasukkan kapal itu sebagai salah satu objek wisata tsunami. Berada di atas kapal, pengunjung akan tahu berapa jauh kapal itu terseret arus tsunami, sebab dari geladak setinggi 20 meter lebih akan terlihat laut dan Dermaga Ulee Lheu.
Wartawan BBC Andrew Harding memberi kesaksian bahwa kondisi Aceh kini sudah pulih. Saat meliput ke Aceh beberapahari setelah bencana, dia menyaksikan semua bangunan rata dengantanah, lumpur, puing, serta kesengsaraan ada di manamana. Para sukarelawan mulai mencari jenazah, dan ratusan mayat tergeletak di jalanan. Setelah sepuluh tahun, Harding melihat Aceh sudah berbenah.
Bangunan-bangunan yang hancur kembali dibangun. Pohon-pohon telah tumbuh lagi. Saat dilihat dari jalan, desa kecil Lhoknga itu seperti tersembunyi di balik tirai tebal, pepohonan berwarna hijau. “Ketika kami menghentikan kendaraan di daerah pinggiran, saya berdiri di tepi jalan di atas bukit sembari mencari wajah yang saya kenali dan memikirkan betapa banyak perubahan yang terjadi dibandingkan 10 tahun lalu,” ujarnya.
Walaupun sudah pulih, tidak semuanya bisa kembali ke masa sebelum bencana. Mariati, 21, misalnya. Gadis yatim piatu korban bencana itu hingga kini belum juga mendapatkan rumah. Memang dia mendapatkan beasiswa dari program Bidikmisi Kementerian Pendidikan, tetapi bantuan lainnya tidak ada. Sekarang Mariati tinggal sebatang kara.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama ini di Banda Aceh, dia mengajar les privat pada anak sekolah di rumah-rumah, khususnya les matematika, karena dia kuliah di FKIP Matematika di Unsyiah. Pada peringatan 10 tahun tsunami, tidak banyak harapan yang dia inginkan. Akan tetapi, dia berharap pemerintah bisa berlaku adil dan memperhatikan dirinya sebagai korban tsunami yang belum dapat rumah.
Apalagi, dia hidup sebatang kara. Yulia Direskia, psikolog Tsunami and Disater Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, menilai, meskipun penduduk Aceh mulai melupakan dukanya, trauma akibat dahsyatnya tsunami tak begitu saja hilang.
Menurut dia, secara psikologis, masyarakat Aceh belum siap menghadapi jika bencana kembali melanda. Trauma gempa dan tsunami masih belum hilang dari ingatan mereka. “Ketika terjadi gempa, mereka panik dan tidak bisa mengendalikan diri. Kepanikan itu membuat mereka kesulitan mengendalikan kerja otak. Mereka kalang kabut saat hendak menyelamatkan diri.
Padahal, pengendalian kepanikan sangat penting saat evakuasi dari bencana tsunami,” katanya. Menurut Yulia, ketika gempa terjadi, pikiran sebagian besar penduduk Aceh kembali menerawang ke tsunami 2004, bahwa ombak besar akan menggulung mereka. “Padahal jika mereka tidak panik, setelah gempa, warga memiliki waktu beberapa menit guna lari menyelamatkan diri. Karena panik, mereka malah tidak bisa berpikir untuk menyelamatkan diri,” katanya.
Andika hendra m/Ant
Untuk diketahui, kapal yang difungsikan sebagai pembangkitlistrikdilepaspantai itu digiring ombak raksasa ke tengah permukiman warga dan berlabuhlah kapal berbobot mati 2.500 ton dengan panjang 63 meter itu ke darat. Bergeser sekitar 5 kilometer dari tempat sebelumnya kapal itu berada.
Kini kapal yang merupakan bukti betapa dahsyatnya tsunami yang melanda Aceh itu telah berubah fungsi. Pemerintah Kota Banda Aceh memasukkan kapal itu sebagai salah satu objek wisata tsunami. Berada di atas kapal, pengunjung akan tahu berapa jauh kapal itu terseret arus tsunami, sebab dari geladak setinggi 20 meter lebih akan terlihat laut dan Dermaga Ulee Lheu.
Wartawan BBC Andrew Harding memberi kesaksian bahwa kondisi Aceh kini sudah pulih. Saat meliput ke Aceh beberapahari setelah bencana, dia menyaksikan semua bangunan rata dengantanah, lumpur, puing, serta kesengsaraan ada di manamana. Para sukarelawan mulai mencari jenazah, dan ratusan mayat tergeletak di jalanan. Setelah sepuluh tahun, Harding melihat Aceh sudah berbenah.
Bangunan-bangunan yang hancur kembali dibangun. Pohon-pohon telah tumbuh lagi. Saat dilihat dari jalan, desa kecil Lhoknga itu seperti tersembunyi di balik tirai tebal, pepohonan berwarna hijau. “Ketika kami menghentikan kendaraan di daerah pinggiran, saya berdiri di tepi jalan di atas bukit sembari mencari wajah yang saya kenali dan memikirkan betapa banyak perubahan yang terjadi dibandingkan 10 tahun lalu,” ujarnya.
Walaupun sudah pulih, tidak semuanya bisa kembali ke masa sebelum bencana. Mariati, 21, misalnya. Gadis yatim piatu korban bencana itu hingga kini belum juga mendapatkan rumah. Memang dia mendapatkan beasiswa dari program Bidikmisi Kementerian Pendidikan, tetapi bantuan lainnya tidak ada. Sekarang Mariati tinggal sebatang kara.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama ini di Banda Aceh, dia mengajar les privat pada anak sekolah di rumah-rumah, khususnya les matematika, karena dia kuliah di FKIP Matematika di Unsyiah. Pada peringatan 10 tahun tsunami, tidak banyak harapan yang dia inginkan. Akan tetapi, dia berharap pemerintah bisa berlaku adil dan memperhatikan dirinya sebagai korban tsunami yang belum dapat rumah.
Apalagi, dia hidup sebatang kara. Yulia Direskia, psikolog Tsunami and Disater Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, menilai, meskipun penduduk Aceh mulai melupakan dukanya, trauma akibat dahsyatnya tsunami tak begitu saja hilang.
Menurut dia, secara psikologis, masyarakat Aceh belum siap menghadapi jika bencana kembali melanda. Trauma gempa dan tsunami masih belum hilang dari ingatan mereka. “Ketika terjadi gempa, mereka panik dan tidak bisa mengendalikan diri. Kepanikan itu membuat mereka kesulitan mengendalikan kerja otak. Mereka kalang kabut saat hendak menyelamatkan diri.
Padahal, pengendalian kepanikan sangat penting saat evakuasi dari bencana tsunami,” katanya. Menurut Yulia, ketika gempa terjadi, pikiran sebagian besar penduduk Aceh kembali menerawang ke tsunami 2004, bahwa ombak besar akan menggulung mereka. “Padahal jika mereka tidak panik, setelah gempa, warga memiliki waktu beberapa menit guna lari menyelamatkan diri. Karena panik, mereka malah tidak bisa berpikir untuk menyelamatkan diri,” katanya.
Andika hendra m/Ant
(bbg)