49 Napi Korupsi Diberi Remisi

Jum'at, 26 Desember 2014 - 11:18 WIB
49 Napi Korupsi Diberi Remisi
49 Napi Korupsi Diberi Remisi
A A A
JAKARTA - Sejumlah kalangan menyesalkan kebijakan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) atas pemberian remisi (pengurangan masa tahanan) terhadap 49 terpidana kasus korupsi.

Langkah ini dinilai tidak sesuai dengan komitmen pemerintahan Joko Widodo dalam memberantas korupsi. “Pemberian remisi kepada koruptor sangat disesalkan karena menunjukkan pemerintah inkonsisten dan bahkan tidak punya komitmen untuk memberantas korupsi dan membuat jera para koruptor,” ungkap peneliti Bidang Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter di Jakarta kemarin.

Apalagi, lanjut dia, sebelumnya Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly menyatakan tidak akan memberikan remisi Natal terhadap terpidana korupsi. Tapi faktanya, Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham tetap mengeluarkan remisi tersebut. Pemberian remisi terhadap 49 napi koruptor bertepatan dengan Natal.

Mereka terdiri atas 18 napi yang mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28/2006, dengan 2 di antaranya bebas. Berikutnya untuk 31 napi remisi mengacu pada PP Nomor 99/2012. Lalola Easter menilai dengan penggunaan dua PP yang berbeda ini jelas sangat disayangkan. “Menkumham sebaiknya mencabut remisi Natal atas 49 napi korupsi, dan dalam jangka panjang juga harus mencabut surat edaran Menteri Hukum dan HAM tentang tata cara pelaksanaan PP 99/2012,” ujar Lalola Easter.

Dia menilai PP Nomor 99/2012 sebetulnya sudah tepat untuk menjerakan koruptor, karena syarat menerima remisi dan pembebasan bersyarat (PB) diperketat. Namun menkumham sebelumnya, Amir Syamsuddin, malah mengeluarkan surat edaran Menkumham Nomor: M.HH-04.PK.01.05.06 Tahun 2013 yang membuat tumpul penerapan PP 99 tersebut.

“ICW menagih komitmen menteri hukum dan HAM, dan pemerintahan Jokowi untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi. Termasuk di antaranya jangan memberikan keistimewaan untuk koruptor. Stop remisi dan pembebasan bersyarat untuk koruptor,” tandasnya. Senada, pakar hukum tata negara Asep Warlan Yusuf mengungkapkan adanya pemberian remisi terhadap napi koruptor justru sebuah kemunduran bagi pemerintahan Joko Widodo.

“Ya hemat saya itu kemunduran, walaupun dalam PP itu berhak untuk mendapatkan remisi tapi seyogianya untuk kasus korupsi tidak bisa diberikan,” paparnya. Menurut Asep, pemerintah sebenarnya bisa mengeluarkan kebijakan untuk tidak memberikan remisi bukan hanya terhadap napi koruptor, melainkan juga kejahatan lainnya seperti terorisme, narkoba, HAM, dan kejahatan lingkungan.

Jika pemerintah Jokowi berkomitmen untuk melakukan pemberantasan korupsi, tetapi justru memberikan remisi, maka akan terlihat aneh. “Melukai rasa keadilan masyarakat itu pasti, kalau memang itu (remisi) hak warga binaan, ya berikan vonis yang maksimal. Jangan beri remisi. (Pemberian remisi) harus dipertimbangkan dengan baik,” tandasnya.

DPR Panggil Menkumham

Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar Azis Syamsuddin mengatakan, DPR akan mencermati pemberian remisi ini, apalagi yang diberikan adalah para narapidana extraordinary crime seperti narkotika dan korupsi. “Akan kita cek, seberapa tepat remisi ini diberikan,” lanjutnya.

Untuk memperkuat pengawasan terkait pemberian remisi ini, DPR siap memanggil Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly untuk mengklarifikasi pemberian remisi tersebut. Namun, pemanggilan baru bisa dilakukan pada masa sidang berikutnya yakni Januari 2015. “Pasti kita akan kita panggil pada Januari nanti, kan yang dulu kita panggil dia tidak datang. Kita akan tanya apa latar belakang dia memberikan remisi kepada narapidana korupsi ini,” tegasnya.

Hanya, lanjut Azis, pemberian remisi di setiap hari besar keagamaan, menjadi hak na-rapidana yang ukurannya disesuaikan dengan masa penahanan dan perilakunya selama di penjara. “Sepanjang sesuai dengan aturan silakan saja, itu kan ranah menteri. dia mau mengeluarkan seperti itu kita bisa bilang apa,” ucap Azis.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen Pas) Kemenkumham Handoyo Sudrajat menjelaskan pemberian remisi kepada 49 narapidana kasus korupsi adalah hal yang biasa. “Secara ketentuan, mereka memang sudah mendapatkan hak dan itu sudah diatur dalam Pasal 14 (Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995),” ujar Handoyo saat dihubungi tadi malam.

Beberapa pertimbangan yang menyebabkan para narapidana kasus korupsi tersebut mendapatkan remisi antara lain berkelakuan baik selama di penjara, mengikuti proses pembinaan yang sifatnya kepribadian dan kemandirian, serta tidak pernah melakukan tindakan pelanggaran selama menjalani masa hukuman. “Jadi, kami hanya menjalankan ketentuan yang ada saja,” lanjutnya.

Begitu juga dengan jumlah hari dalam remisi yang diberikan. Hal itu, menurut Handoyo, telah diatur dalam keputusan presiden (Keppres) 174/1999 tentang Remisi. “Yang sudah menjalani masa hukuman satu tahun pertama sekian hari, tahun kedua sekian hari,” jelasnya.

Yang terpenting, menurut Handoyo, pemberian remisi kepada para narapidana ini juga atas pendapat dan rekomendasi dari penegak hukum yang menangani kasusnya. Hal itu tertuang dalam peraturan pemerintah (PP) 99/2012 pasal 134 A ayat 1. “Sudah direkomendasi dari penegak hukum, dan mereka telah memperolehnya. Sehingga kita tidak sembarangan ini atas usulan dari penegak hukum yang menangani yaitu kejaksaan,” tuntasnya.

Pemberian remisi terhadap 49 narapidana korupsi itu merupakan bagian dari kebijakan Kemenkumham bertepatan dengan perayaan Natal 2014. Secara total, Kemenkumham memberikan remisi kepada 9.068 narapidana berbagai kasusdiseluruhIndonesia. Pemberian remisi tersebut dilakukan melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kemenkumham.

Remisi terhadap9.068napiiniyangterbagi dua bagian. Pertama, remisi khusus I yang mendapatkan sebagian pengurangan hukuman dengan jumlah 8.970 orang. Kedua , 98 orang mendapat remisi khusus II yaitu mendapatkan remisi dan dinyatakan langsung bebas. Remisi khusus itu tersebar sebagian besarnya berasal dari Sumatera Utara dengan berjumlah 1.791 napi, Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan jumlah 1.741 napi, dan Sulawesi Utara dengan jumlah 771 orang.

Remisi khusus diberikan dengan didasarkan pada Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 174/1999 tentang Remisi dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99/2012 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Pemberian remisi dilakukan sebagai motivasi dan menumbuhkan kesadaran agar narapidana dapat memelihara perilaku yang baik selama menjalani masa pidana dan menjalankan ibadah sesuai ajaran agamanya. “Bagi narapidana untuk melakukan evaluasi dan introspeksi diri terhadap apa yang telah diperbuat, baik dalam berhubungan dengan sesama manusia maupun dengan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga diharapkan di masa yang akan datang dapat berbuat lebih baik dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berketuhanan,” ujar Handoyo.

Sabir laluhu/Nurul adriyana/Dian ramdhani
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5003 seconds (0.1#10.140)