Kenaikan Tunjangan Hakim Picu Tren Selingkuh

Selasa, 23 Desember 2014 - 11:15 WIB
Kenaikan Tunjangan Hakim...
Kenaikan Tunjangan Hakim Picu Tren Selingkuh
A A A
JAKARTA - Naiknya tunjangan hakim sebagai salah satu upaya preventif guna menekan angka pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) ternyata tidak sesuai dengan harapan.

Komisi Yudisial (KY) menemukan fakta bahwa naiknya tunjangan justru memicu tren perselingkuhan di kalangan para hakim. Hal itu terlihat dari mendominasinya kasus perselingkuhan yang dilaporkan ke KY sepanjang 2014. Meskipun laporan yang masuk lebih sedikit dibandingkan 2013, 38,6% kasus perselingkuhan menempati posisi pertama dalam data laporan dugaan pelanggaran KEPPH.

“Mulai 2013 dan 2014 tren kasus pelanggaran kode etik, yaitu perselingkuhan, meningkat. Kami menyimpulkan dari berbagai kasus itu, (perselingkuhan) terjadi setelah tunjangan itu dinaikkan. Soalnya dulu tidak signifikan,” ungkap Komisioner KY Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Eman Suparman saat melaporkan Catatan Akhir Tahun 2014 di Gedung KY, Jakarta, kemarin.

Eman mengungkapkan, saat ini kasus perselingkuhan tersebar hampir di seluruh wilayah dan rentan terjadi di daerah terpencil. Bahkan, bisa jadi kasus perselingkuhan sebenarnya lebih besar dari laporan yang masuk ke KY. Sebab, kasus selingkuh bisa terungkap apabila masyarakat setempat kooperatif untuk melaporkan. Meski demikian, jika bicara mengenai kuantitas sanksi, hakim selingkuh lebih cenderung turun.

Karena itu, dapat dikatakan upaya KY untuk menginternalisasi KEPPH terhadap hakim cukup berhasil. Walaupun, dalam kasus banyaknya hakim selingkuh ini KY pun tidak bisa berbuat banyak karena tindakan tidak bermoral dikembalikan pada kesadaran masing-masing hakim.

“Saya melihat tidak ada (aturan kebijakan) yang kami anggap ampuh untuk mencegah itu (kasus selingkuh),” paparnya. Menurut dia, efek jera hanya bisa didapatkan melalui sanksi yang menyertakan pemotongan tunjangan. Di samping banyaknya kasus selingkuh yang terungkap, Eman menyayangkan sikap MA yang terkadang tidak melibatkan KY dalam menjatuhkan sanksi terhadap hakim yang diduga selingkuh.

Sikap sepihak MA telah mengabaikan Peraturan Bersama MA-KY yang mengharuskan duduk dalam Majelis Kehormatan Hakim (MKH) perihal penjatuhan sanksi. Padahal, sudah jelas dikatakan dugaan pelanggaran etika murni layaknya tindakan perselingkuhan itu ranah KY dan harus dibawa dalam MKH.

Eman menyatakan, ketika diprotes KY, MA berdalih malu atas pelanggaran etik perselingkuhan yang sering terjadi. “Ada pengabaian peraturan bersama. Kan aturannya begitu, kalau ada pelanggaran berat itu dibawa ke MKH dan itu dibentuk atas usulan MA maupun KY. Bagi KY, MKH itu pembelaan diri hakim, jangan belum apaapa dijatuhi sanksi. Harusnya tidak boleh begitu, ini persoalan,” katanya.

KY tahun ini menerima 1.693 laporan dugaan pelanggaran KEPPH. Dari jumlah itu, sebanyak 672 laporan telah masuk pleno KY dan hanya 294 laporan yang dapat ditindaklanjuti. Dari laporan itu, KY merekomendasikan 122 ke MA untuk dijatuhi sanksi. Dengan rincian, 90 hakim dijatuhi sanksi ringan, 22 hakim sanksi sedang, dan 10 hakim dijatuhi sanksi berat.

Ketika dikonfirmasi, Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur mengatakan, tidak benar jika pihaknya telah menjatuhkan sanksi secara sepihak tanpa melibatkan KY. Menurut dia, mekanisme penjatuhan sanksi sudah jelas diatur dalam peraturan bersama MA-KY sehingga sanksi yang dijatuhkan tidak berarti mengabaikan rekomendasi KY.

Lagipula, jika mengenai penjatuhan sanksi hakim selingkuh, MA selalu memublikasikan nama-nama hakim yang dijatuhi hukuman. “Tidak benar jika dikatakan MA melakukan sanksi sepihak lantaran malu atas kasus perselingkuhan para hakim,” tandasnya. Selama ini, MA selalu memublikasi pemberian sanksi kepada hakim.

Ada penundaan pangkat, tidak diberi tunjangan sampai 2 tahun, bahkan dipecat. “Mekanisme penjatuhan sanksi sudah jelas diatur baik atas rekomendasi KY, pengaduan masyarakat, maupun hasil pemeriksaan Bawas MA. Jangan hanya asumsi-asumsi saja, datanya ada di situs MA,” ujarnya.

Nurul adriyana
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8441 seconds (0.1#10.140)