Hulu dan Hilir Sama-sama Kritis
A
A
A
Banjir yang melanda Ibu Kota disebabkan banyak faktor. Selain kondisi topografi Jakarta yang berada di kawasan hilir, perilaku manusia dan tata ruang di hulu juga menjadi pemicu. Jadi, keduanya (hulu dan hilir) samasama kritis.
Setiap tahun terjadi penurunan muka tanah sekitar 10,8 cm. Adapun muka air laut naik antara 5-6 milimeter per tahun. Dalam kurun 30 tahun akan terjadi penurunan muka tanah sekitar 3 meter. Dan faktanya Jakarta merupakan delta city, yaitu wilayah yang terbentuk akibat akumulasi sedimentasi (pengendapan).
“Tanah yang kita injak ini usianya masih muda, di bawah 4.000 tahun sehingga kompaksi (pemadatan) tidak sempurna,” ujar pakar air dari Universitas Indonesia (UI) Firdaus Ali. Persoalan lainnya, kemampuan pemenuhan kebutuhan air minum atau bersih di Jakarta terutama kebutuhan bisnis baru 38% sehingga masih ada 62% yang terpaksa mengambil air tanah untuk upaya pemenuhan kebutuhan, terutama entitas bisnis atau bangunan komersial.
Ini menggerus air tanah hingga membentuk rongga, padahal di bawah tanah terdapat saluran air/drainase. “Ketika ada rongga ditambah beban di atas jalan maka saluran air menjadi patah kemudian terjadi endapan. Ini yang menyebabkan air tersumbat dan bila hujan menimbulkan genangan,” jelasnya.
Permasalahan di hulu tak kalah pelik. Tata ruang yang sudah berubah fungsi. Banyak kawasan resapan di hulu yang menjadi hunian sehingga tidak lagi mampu menahan dan menyimpan air. Akibatnya, air hujan langsung mengalir begitu saja ke hilir, sementara daya tampung saluran air di hilir tidak bertambah.
Air limpasan (run off) yang lari ke Jakarta akibat kondisi tadi jumlahnya menjadi lebih banyak. Drainase yang dibangun puluhan tahun lalu tidak ditingkatkan kapasitas alirnya sehingga air pun meluap. Yang dilakukan pemerintah saat ini adalah mengeruk dan melakukan penurapan.
“Justru saya menyebutnya abnormalisasi sungai karena garis sempadan sungai (GSS) diturap beton, padahal ada ekosistem di sana. Dengan penurapan, interaksi ekosistem darat dan badan air tidak ada lagi, maka itu saya sebut abnormalisasi,” ujar Firli, sapaan akrab Firdaus Ali. Yang perlu dilakukan seharusnya secara struktural memperbaiki saluran air/drainase, pengerukan sungai dan situ, pembenahan pompa serta waduk.
Adapun nonstruktural, harus menegakkan law enforcement dengan pengetatan perizinan dan pembenahan tata ruang. Untuk daerah penyangga bisa dilakukan kerja sama dengan cara membuat situ/waduk. Sayangnya, pendekatan secara struktural kerap terkendala dengan ketersediaan lahan dan kemampuan fiskal pemerintah daerah yang berakibat persoalan banjir tidak pernah bisa tuntas.
Saat ini di Jabodetabek ada 224 situ yang 70%-nya tidak berfungsi. Melalui Sungai Ciliwung, Ibu Kota menampung air limpasan dari hulu maksimal 300 meter kubik per detik. Merujuk banjir 2007, debit air yang masuk mencapai 674 meter kubik per detik. “Jika ada situ maka air akan tertahan dan banjir bisa dikendalikan. Setidaknya bisa menahan setengahnyalah,” ucapnya.
Dia mengusulkan DKI membangun smart tunnel yang bisa mengendalikan banjir sekaligus kemacetan di Ibu Kota. Tunnel ini dibuat di bawah tanah dan mampu menampung air sekitar 250 meter kubik per detik. Tunnel juga dipastikan tidak akan terkendala pengadaan lahan.
Memang biaya pembuatan tunnel jauh lebih besar daripada pembuatan waduk atau situ, tapi keuntungan secara sosialnya lebih besar karena tidak bersinggungan dengan pembebasan lahan dan kerugian akibat banjir dapat diminimalisasi. Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto mengungkapkan pihaknya sudah mempunyai beberapa program penanggulangan banjir pada 2015.
Kegiatan tersebut seperti memperbanyak sumur resapan, lubang biopori, kolam retensi, dan membangun situ. “Apalagi kita akan mendapat bantuan dana dari Pemprov DKI dan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dalam upaya mencegah banjir,” katanya. Pemkot juga mulai menata daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung.
Dengan Badan Pengelola DAS Ciliwung dan Cisadane, pihaknya sudah berkoordinasi. Bahkan dengan Kementerian Kehutanan dan Institut Pertanian Bogor (IPB) telah menjalin kesepakatan untuk bersama-sama menata DAS tersebut. Di perkotaan, pada 2015 akan dibenahi dan ditata drainase (saluran air) di Kota Bogor.
R Ratna purnama/Haryudi
Setiap tahun terjadi penurunan muka tanah sekitar 10,8 cm. Adapun muka air laut naik antara 5-6 milimeter per tahun. Dalam kurun 30 tahun akan terjadi penurunan muka tanah sekitar 3 meter. Dan faktanya Jakarta merupakan delta city, yaitu wilayah yang terbentuk akibat akumulasi sedimentasi (pengendapan).
“Tanah yang kita injak ini usianya masih muda, di bawah 4.000 tahun sehingga kompaksi (pemadatan) tidak sempurna,” ujar pakar air dari Universitas Indonesia (UI) Firdaus Ali. Persoalan lainnya, kemampuan pemenuhan kebutuhan air minum atau bersih di Jakarta terutama kebutuhan bisnis baru 38% sehingga masih ada 62% yang terpaksa mengambil air tanah untuk upaya pemenuhan kebutuhan, terutama entitas bisnis atau bangunan komersial.
Ini menggerus air tanah hingga membentuk rongga, padahal di bawah tanah terdapat saluran air/drainase. “Ketika ada rongga ditambah beban di atas jalan maka saluran air menjadi patah kemudian terjadi endapan. Ini yang menyebabkan air tersumbat dan bila hujan menimbulkan genangan,” jelasnya.
Permasalahan di hulu tak kalah pelik. Tata ruang yang sudah berubah fungsi. Banyak kawasan resapan di hulu yang menjadi hunian sehingga tidak lagi mampu menahan dan menyimpan air. Akibatnya, air hujan langsung mengalir begitu saja ke hilir, sementara daya tampung saluran air di hilir tidak bertambah.
Air limpasan (run off) yang lari ke Jakarta akibat kondisi tadi jumlahnya menjadi lebih banyak. Drainase yang dibangun puluhan tahun lalu tidak ditingkatkan kapasitas alirnya sehingga air pun meluap. Yang dilakukan pemerintah saat ini adalah mengeruk dan melakukan penurapan.
“Justru saya menyebutnya abnormalisasi sungai karena garis sempadan sungai (GSS) diturap beton, padahal ada ekosistem di sana. Dengan penurapan, interaksi ekosistem darat dan badan air tidak ada lagi, maka itu saya sebut abnormalisasi,” ujar Firli, sapaan akrab Firdaus Ali. Yang perlu dilakukan seharusnya secara struktural memperbaiki saluran air/drainase, pengerukan sungai dan situ, pembenahan pompa serta waduk.
Adapun nonstruktural, harus menegakkan law enforcement dengan pengetatan perizinan dan pembenahan tata ruang. Untuk daerah penyangga bisa dilakukan kerja sama dengan cara membuat situ/waduk. Sayangnya, pendekatan secara struktural kerap terkendala dengan ketersediaan lahan dan kemampuan fiskal pemerintah daerah yang berakibat persoalan banjir tidak pernah bisa tuntas.
Saat ini di Jabodetabek ada 224 situ yang 70%-nya tidak berfungsi. Melalui Sungai Ciliwung, Ibu Kota menampung air limpasan dari hulu maksimal 300 meter kubik per detik. Merujuk banjir 2007, debit air yang masuk mencapai 674 meter kubik per detik. “Jika ada situ maka air akan tertahan dan banjir bisa dikendalikan. Setidaknya bisa menahan setengahnyalah,” ucapnya.
Dia mengusulkan DKI membangun smart tunnel yang bisa mengendalikan banjir sekaligus kemacetan di Ibu Kota. Tunnel ini dibuat di bawah tanah dan mampu menampung air sekitar 250 meter kubik per detik. Tunnel juga dipastikan tidak akan terkendala pengadaan lahan.
Memang biaya pembuatan tunnel jauh lebih besar daripada pembuatan waduk atau situ, tapi keuntungan secara sosialnya lebih besar karena tidak bersinggungan dengan pembebasan lahan dan kerugian akibat banjir dapat diminimalisasi. Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto mengungkapkan pihaknya sudah mempunyai beberapa program penanggulangan banjir pada 2015.
Kegiatan tersebut seperti memperbanyak sumur resapan, lubang biopori, kolam retensi, dan membangun situ. “Apalagi kita akan mendapat bantuan dana dari Pemprov DKI dan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dalam upaya mencegah banjir,” katanya. Pemkot juga mulai menata daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung.
Dengan Badan Pengelola DAS Ciliwung dan Cisadane, pihaknya sudah berkoordinasi. Bahkan dengan Kementerian Kehutanan dan Institut Pertanian Bogor (IPB) telah menjalin kesepakatan untuk bersama-sama menata DAS tersebut. Di perkotaan, pada 2015 akan dibenahi dan ditata drainase (saluran air) di Kota Bogor.
R Ratna purnama/Haryudi
(bbg)