Dongkrak Daya Saing lewat Inovasi
A
A
A
Inovasi telah menjadi topik yang hangat hampir di setiap pertemuan yang digagas para pelaku usaha dalam beberapa tahun terakhir ini.
Terlebih menghadapi Asean Economic Community atau Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015, inovasi merupakan virus yang harus ditularkan kepada semua karyawannya.
Inovasi menjadi sangat penting karena para eksekutif seringkali mendengar laporan bahwa tenaga kerjanya tidak cukup memiliki ide, gagasan kreatif, dan semangat menumbuhkan produktivitas kerja.
Salah satu faktor yang melatarbelakangi keringnya inovasi di kalangan karyawan karena tidak adanya budaya kewirausahaan yang bisa mendorong mereka untuk berfikir kreatif. Sebaliknya, di dalam kantor seringkali karyawan tidak memiliki cukup ketenangan ketika bekerja, tertekan, dan mengalami stres.
Tak pelak, persoalan mendasar ini mengakibatkan kualitas produksi buruk, sehingga produk yang dihasilkan tidak memiliki daya saing yang bisa ditawarkan ke pasar yang lebih besar. Sayangnya, Indonesia adalah negara yang tertinggal dalam soal inovasi. Argumentasi ini menjadi sulit dibantah dengan munculnya data yang dikeluarkan oleh Global Innovation Index (GII) beberapa waktu lalu.
GII menyebutkan, daya saing Indonesia berada di peringkat ke- 87 dari 143 negara. Lebih buruk dibanding tahun sebelumnya yang berada di peringkat ke-85. Menurut salah satu Associate Fellow dari Center of Innovation and Collaboration (CIC) PPM Manajemen Gindo Tampubolon, peringkat rendah Indonesia dalam inovasi sangat mengkhawatirkan. Hal Ini dikarenakan inovasi merupakan salah satu pendorong utama bagi pertumbuhan ekonomi.
“Tanpa adanya upaya untuk mendorong peningkatan inovasi, target pemerintahan baru untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan sulit tercapai,” kata Gindo, di acara diskusi panel bertajuk Inovasi Perusahaan dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, yang diadakan PPM Manajemen, Rabu (10/12).
Dalam hal ini, Indonesia tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara seperti Singapura (7), Malaysia (33), Thailand (48) dan Vietnam (71). Padahal pada 2015, Indonesia menghadapi tantangan berat ketika MEA mulai diterapkan. Sebelumnya, laporan lain yang dikeluarkan The Global Competitiveness Report pada 2012-2013 menunjukkan indikator sama.
Laporan tersebut menyatakan Indonesia mengalami penurunan indeks daya saing global dari posisi ke-46 tahun 2011 menjadi ke 50 di tahun berikutnya. Padahal tidak dapat dipungkiri MEA 2015 sudah didepan mata. Untuk tetap bertahan hidup terhadap perubahan lingkungan dari dalam maupun dari luar, perusahaan harus melakukan adaptasi. Adaptasi dapat dilakukan melalui inovasi/ pembaharuan produk, proses kegiatan, dan model bisnis.
Gindo menjelaskan, banyak perusahaan melakukan inovasi dengan menghabiskan banyak biaya, namun sangat sedikit yang berhasil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurang lebih dari sebelas ide inovasi produk baru hanya satu ide yang berhasil lolos sampai peluncuran ke pasar. Itu pun belum tentu dapat berhasil di pasar.
“Jika kondisinya tetap tidak ada inovasi yang nyata pada produk-produk dalam negeri, diprediksi Indonesia akan berjalan sejajar dengan negara-negara tetangga pada 2045, bahkan bisa tergilas,” jelas Gindo. Sementara Founder dan CEO Independent Research & Advisory Indonesia Lin Che Wei mengungkapkan, ada sekitar 12 sektor prioritas komoditi pasar yang akan diperebutkan 10 negara di Asia Tenggara pada pemberlakuan MEA nanti.
Di antara 12 sektor tersebut adalah e-travel , e-asean , otomotif, logistik, industri berbasis kayu, industri berbasis karet, furniture, makanan dan minuman, alas kaki, tekstil, produk tekstil, dan kesehatan. “Nah, dari 12 sektor prioritas yang akan diiimplementasikan pada MEA 2015, kita harus dapat menginventarisir sektor-sektor potensial yang menjadi unggulan,” urai Lin Che Wei, di acara yang sama.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk terbanyak di ASEAN jangan sampai hanya menjadi pasar potensial saja untuk aliran masuk barang, jasa, dan tenaga kerja bagi negara-negara tetangga. Justru, Indonesia perlu memanfaatkan ini untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Namun tentu SDMSDM dalam negeri harus punya kompetensi, profesionalitas, dan integritas. Sebab jika tidak, maka tenaga kerja dari negara- negara seberang juga akan ikut berdatangan ke Indonesia. President Korean Chamber of Commerce and Industry di Indonesia CK Song menuturkan, perekonomian Indonesia yang cukup stabil dalam beberapa tahun ini dapat menjadi modal penting bagi kelompok wirausaha untuk melakukan transformasi inovasi di masing-masing perusahaan.
“Jadi, jangan semua problematika nasional dibebankan kepada pemerintah. Ekonomi Indonesia bisa maju dan siap menghadapi MEA bila didukung dengan banyaknya perusahaan yang sanggup melakukan inovasi produk, proses, dan SDM,” pungkas Song.
Nafi muthohirin / Islahuddin
Terlebih menghadapi Asean Economic Community atau Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015, inovasi merupakan virus yang harus ditularkan kepada semua karyawannya.
Inovasi menjadi sangat penting karena para eksekutif seringkali mendengar laporan bahwa tenaga kerjanya tidak cukup memiliki ide, gagasan kreatif, dan semangat menumbuhkan produktivitas kerja.
Salah satu faktor yang melatarbelakangi keringnya inovasi di kalangan karyawan karena tidak adanya budaya kewirausahaan yang bisa mendorong mereka untuk berfikir kreatif. Sebaliknya, di dalam kantor seringkali karyawan tidak memiliki cukup ketenangan ketika bekerja, tertekan, dan mengalami stres.
Tak pelak, persoalan mendasar ini mengakibatkan kualitas produksi buruk, sehingga produk yang dihasilkan tidak memiliki daya saing yang bisa ditawarkan ke pasar yang lebih besar. Sayangnya, Indonesia adalah negara yang tertinggal dalam soal inovasi. Argumentasi ini menjadi sulit dibantah dengan munculnya data yang dikeluarkan oleh Global Innovation Index (GII) beberapa waktu lalu.
GII menyebutkan, daya saing Indonesia berada di peringkat ke- 87 dari 143 negara. Lebih buruk dibanding tahun sebelumnya yang berada di peringkat ke-85. Menurut salah satu Associate Fellow dari Center of Innovation and Collaboration (CIC) PPM Manajemen Gindo Tampubolon, peringkat rendah Indonesia dalam inovasi sangat mengkhawatirkan. Hal Ini dikarenakan inovasi merupakan salah satu pendorong utama bagi pertumbuhan ekonomi.
“Tanpa adanya upaya untuk mendorong peningkatan inovasi, target pemerintahan baru untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan sulit tercapai,” kata Gindo, di acara diskusi panel bertajuk Inovasi Perusahaan dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, yang diadakan PPM Manajemen, Rabu (10/12).
Dalam hal ini, Indonesia tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara seperti Singapura (7), Malaysia (33), Thailand (48) dan Vietnam (71). Padahal pada 2015, Indonesia menghadapi tantangan berat ketika MEA mulai diterapkan. Sebelumnya, laporan lain yang dikeluarkan The Global Competitiveness Report pada 2012-2013 menunjukkan indikator sama.
Laporan tersebut menyatakan Indonesia mengalami penurunan indeks daya saing global dari posisi ke-46 tahun 2011 menjadi ke 50 di tahun berikutnya. Padahal tidak dapat dipungkiri MEA 2015 sudah didepan mata. Untuk tetap bertahan hidup terhadap perubahan lingkungan dari dalam maupun dari luar, perusahaan harus melakukan adaptasi. Adaptasi dapat dilakukan melalui inovasi/ pembaharuan produk, proses kegiatan, dan model bisnis.
Gindo menjelaskan, banyak perusahaan melakukan inovasi dengan menghabiskan banyak biaya, namun sangat sedikit yang berhasil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurang lebih dari sebelas ide inovasi produk baru hanya satu ide yang berhasil lolos sampai peluncuran ke pasar. Itu pun belum tentu dapat berhasil di pasar.
“Jika kondisinya tetap tidak ada inovasi yang nyata pada produk-produk dalam negeri, diprediksi Indonesia akan berjalan sejajar dengan negara-negara tetangga pada 2045, bahkan bisa tergilas,” jelas Gindo. Sementara Founder dan CEO Independent Research & Advisory Indonesia Lin Che Wei mengungkapkan, ada sekitar 12 sektor prioritas komoditi pasar yang akan diperebutkan 10 negara di Asia Tenggara pada pemberlakuan MEA nanti.
Di antara 12 sektor tersebut adalah e-travel , e-asean , otomotif, logistik, industri berbasis kayu, industri berbasis karet, furniture, makanan dan minuman, alas kaki, tekstil, produk tekstil, dan kesehatan. “Nah, dari 12 sektor prioritas yang akan diiimplementasikan pada MEA 2015, kita harus dapat menginventarisir sektor-sektor potensial yang menjadi unggulan,” urai Lin Che Wei, di acara yang sama.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk terbanyak di ASEAN jangan sampai hanya menjadi pasar potensial saja untuk aliran masuk barang, jasa, dan tenaga kerja bagi negara-negara tetangga. Justru, Indonesia perlu memanfaatkan ini untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Namun tentu SDMSDM dalam negeri harus punya kompetensi, profesionalitas, dan integritas. Sebab jika tidak, maka tenaga kerja dari negara- negara seberang juga akan ikut berdatangan ke Indonesia. President Korean Chamber of Commerce and Industry di Indonesia CK Song menuturkan, perekonomian Indonesia yang cukup stabil dalam beberapa tahun ini dapat menjadi modal penting bagi kelompok wirausaha untuk melakukan transformasi inovasi di masing-masing perusahaan.
“Jadi, jangan semua problematika nasional dibebankan kepada pemerintah. Ekonomi Indonesia bisa maju dan siap menghadapi MEA bila didukung dengan banyaknya perusahaan yang sanggup melakukan inovasi produk, proses, dan SDM,” pungkas Song.
Nafi muthohirin / Islahuddin
(ars)