Menkumham Diminta Berpijak Pada UU Parpol

Senin, 15 Desember 2014 - 06:00 WIB
Menkumham Diminta Berpijak Pada UU Parpol
Menkumham Diminta Berpijak Pada UU Parpol
A A A
JAKARTA - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly diminta berpijak pada peraturan perundang-undangan dan tidak menanggapi kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Ancol, Jakarta karena dinilai ilegal.

"Tidak ada alasan legal bagi Menkumham untuk menanggapi Kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Ancol. Sebaliknya, Menkumham justru harus menempatkan Kepengurusan Hasil Munas Ancol sebagai kepengurusan ilegal, karena menyalahgunakan identitas Partai Golkar," ujar Bendahara Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo, Minggu (14/12/2014).

Menurut Bambang, Menkumham harus jernih memahami persoalan. Sebab, apa yang disebut dengan Presidium Penyelamat Partai Golkar yang menggagas forum pembangkang di Hotel Mercure itu ilegal.

Karena AD/ART Partai Golkar tidak mengatur forum dan aksi seperti itu. Agar sikap pemerintah dilandasi pertimbangan yang jernih, kata Bambang, Menkumham hendaknya tetap berpijak pada Pasal 24 dan Pasal 25 UU No 2/2011 tentang partai politik (parpol) yang mengatur tentang perselisihan khusus dan umum di tubuh parpol dan pengesahan kepengurusan Parpol.

Dalam Pasal 25 disebutkan, ada empat indikator yang harus terpenuhi secara kumulatif untuk mengkualifikasikan telah terjadinya perselisihan khusus dalam kepengurusan parpol.

Pertama, perselisihan karena penolakan untuk mengganti kepengurusan. Kedua, penolakan pergantian kepengurusan harus disampaikan secara resmi dalam penyelenggaraan forum pengambilan keputusan tertinggi Parpol, seperti Munas, Kongres, atau Muktamar.

Ketiga, tentang subjek. Penolakan pergantian kepengurusan haruslah anggota parpol peserta Munas, Kongres, atau Muktamar.

Keempat, penolakan pergantian kepengurusan harus disuarakan minimal oleh 2/3 peserta Munas, Kongres, atau Muktamar.

Untuk persoalan Partai Golkar, kata Bambang, empat indikator perselisihan kepengurusan khusus yang disebutkan dalam Pasal 25 UU No 2/2011 itu tidak ditemukan.

Sebab, ketika Munas IX Partai Golkar di Bali digelar, tidak muncul penolakan kepengurusan dari 2/3 peserta Munas. Penolakan justru disuarakan oleh kelompok Agung Laksono dari luar forum Munas, tepatnya di Jakarta.

"Jadi, dengan begitu, tidak ada alasan hukum bagi Menkumham untuk menunda, apalagi menolak mengesahkan kepengurusan Partai Golkar hasil Munas IX di Bali karena sama sekali tidak memunculkan perselisihan kepengurusan," jelasnya.

Bambang menegaskan, penyelenggaraan Munas IX Partai Golkar di Bali sama sekali tidak memunculkan perselisihan kepengurusan.

Dengan demikian, tidak ada argumen hukum bagi Menkumham untuk menunda, apalagi menolak mengesahkan kepengurusan Partai Golkar hasil Munas IX di Bali kecuali bila saat itu Agung Laksono dan kawan-kawan hadir di forum Munas IX Bali dan mampu menggalang dukungan minimal 2/3 peserta Munas untuk menyatakan penolakan terhadap struktur kepengurusan yang ditetapkan Aburizal Bakrie (Ical).

"Barulah Menkumham punya alasan legal untuk menggantung pengesahan kepengurusan hasil Munas IX Partai Golkar di Bali. Ya itu bunyi UU. Paling telat (putusan) hari Rabu 17 Desember 2014 dengan asumsi Sabtu dan Minggu libur," ujarnya.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7409 seconds (0.1#10.140)