60% DOB Gagal Tingkatkan PAD
A
A
A
JAKARTA - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menilai sejak daerah otonom baru (DOB) yang terbentuk 1999 hingga sekarang 60% di antaranya belum mampu meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
“Persyaratan DOB kan harus meningkatkan jumlah PAD. Dengan begitu, pembangunan merata dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, pada praktiknya, sebagian besar belum mampu meningkatkan PAD dan kesejahteraan rakyat,” sebutnya di Jakarta kemarin. Sejak reformasi hingga kini kurang lebih terdapat 220 DOB yang telah terbentuk.
Tjahjo mengatakan, karena tidak mampu meningkatkan PAD, sebagian DOB masih mengandalkan dan bergantung pada pem-biayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).”Ini kan tidak sehat. Maunya jadi bupati/wali kota walaupun jumlah penduduknya hanya 20.000. Ada satu provinsi yang penduduknya kurang dari 2 juta. Tapi, menuntut hak dan kedudukan yang sama. Ini memberatkan APBN,” ucapnya.
Sebenarnya pemerintah dapat menggabungkan DOB ke daerah induk jika memang dalam pelaksanaannya gagal. Ini diatur dalam Peraturan Pe-merintah (PP) Nomor 78/2007 Pasal 22 ayat 1 bahwa daerah otonom dapat dihapus bila daerah bersangkutan dinyatakan tidak mampu menyelenggarakan otonomi.
”Punya kewenangan mengembalikan ke induk. Tapi, repot juga secara psikologis, kan bupati sudah ada, DPRD, parpol, kadin segala kelengkapan lain sudah ada. Secara psikologis tak mungkin,” tuturnya. Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)Robert Endi Jaweng mengatakan, semakin banyak DOB, ketergantungan daerah kepada pusat pun akan bertambah.
Dengan begitu, kapasitas daerah dalam melakukan pembangunan pun akan berkurang.” Dari data yang kita punya, 2009 rata-rata ketergantungan daerah pemekaran kepada pusat 71,2%. Ini mengalami peningkatan pada 2011 dengan ratarata 85,2%,” sebutnya.
Endi mengatakan, jika berbicara soal ketergantungan daerah kepada pusat secara umum, mayoritas masih mengandalkan anggaran dari Jakarta. Ini dapat dilihat dari rasio PAD dengan kucuran uang dari pusat. DOB yang notabene daerah baru akan lebih berat untuk menuju kemandirian.
”Standar internasional mengatakan daerah dapat dikatakan mandiri rasio 20% PAD dan 80% anggaran pusat. Jika berdasarkan standar itu, hanya 7% yang dapat dikatakan mandiri. Ada daerah yang hanya 3% anggarannya dari PAD,” sebutnya.Bagi dia, banyak DOB yang bergantung pada pemerintah pusat karena manajemen kebijakan pemekaran yang selama ini dilakukan buruk.
Dia menilai pemerintah selama ini tidak memiliki kebijakan khusus terkait daerah yang baru dimekarkan. ”Harusnya ada pendampingan teknis atau pendampingan khusus di daerah pemekaran. Lalu dievaluasi mampu atau tidak untuk dilanjutkan sebagai daerah otonom,” paparnya. Menurut Endi, pemerintah seharusnya berani mengambil langkah pembangunan.
Namun, pemerintah tampak enggan karena takut terjadi resistensi di daerah. “Sebenarnya jika proses pembinaan dilakukan secara benar dan daerah benar-benar tidak mampu, saya rasa masyarakat akan mengerti dengan penggabungan daerah,” ucapnya.Penggabungan ini juga dimaksudkansebagaiterapikejut bagi daerah lain agar tidak merasa mudah melakukan pemekaran.
Dita angga
“Persyaratan DOB kan harus meningkatkan jumlah PAD. Dengan begitu, pembangunan merata dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, pada praktiknya, sebagian besar belum mampu meningkatkan PAD dan kesejahteraan rakyat,” sebutnya di Jakarta kemarin. Sejak reformasi hingga kini kurang lebih terdapat 220 DOB yang telah terbentuk.
Tjahjo mengatakan, karena tidak mampu meningkatkan PAD, sebagian DOB masih mengandalkan dan bergantung pada pem-biayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).”Ini kan tidak sehat. Maunya jadi bupati/wali kota walaupun jumlah penduduknya hanya 20.000. Ada satu provinsi yang penduduknya kurang dari 2 juta. Tapi, menuntut hak dan kedudukan yang sama. Ini memberatkan APBN,” ucapnya.
Sebenarnya pemerintah dapat menggabungkan DOB ke daerah induk jika memang dalam pelaksanaannya gagal. Ini diatur dalam Peraturan Pe-merintah (PP) Nomor 78/2007 Pasal 22 ayat 1 bahwa daerah otonom dapat dihapus bila daerah bersangkutan dinyatakan tidak mampu menyelenggarakan otonomi.
”Punya kewenangan mengembalikan ke induk. Tapi, repot juga secara psikologis, kan bupati sudah ada, DPRD, parpol, kadin segala kelengkapan lain sudah ada. Secara psikologis tak mungkin,” tuturnya. Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)Robert Endi Jaweng mengatakan, semakin banyak DOB, ketergantungan daerah kepada pusat pun akan bertambah.
Dengan begitu, kapasitas daerah dalam melakukan pembangunan pun akan berkurang.” Dari data yang kita punya, 2009 rata-rata ketergantungan daerah pemekaran kepada pusat 71,2%. Ini mengalami peningkatan pada 2011 dengan ratarata 85,2%,” sebutnya.
Endi mengatakan, jika berbicara soal ketergantungan daerah kepada pusat secara umum, mayoritas masih mengandalkan anggaran dari Jakarta. Ini dapat dilihat dari rasio PAD dengan kucuran uang dari pusat. DOB yang notabene daerah baru akan lebih berat untuk menuju kemandirian.
”Standar internasional mengatakan daerah dapat dikatakan mandiri rasio 20% PAD dan 80% anggaran pusat. Jika berdasarkan standar itu, hanya 7% yang dapat dikatakan mandiri. Ada daerah yang hanya 3% anggarannya dari PAD,” sebutnya.Bagi dia, banyak DOB yang bergantung pada pemerintah pusat karena manajemen kebijakan pemekaran yang selama ini dilakukan buruk.
Dia menilai pemerintah selama ini tidak memiliki kebijakan khusus terkait daerah yang baru dimekarkan. ”Harusnya ada pendampingan teknis atau pendampingan khusus di daerah pemekaran. Lalu dievaluasi mampu atau tidak untuk dilanjutkan sebagai daerah otonom,” paparnya. Menurut Endi, pemerintah seharusnya berani mengambil langkah pembangunan.
Namun, pemerintah tampak enggan karena takut terjadi resistensi di daerah. “Sebenarnya jika proses pembinaan dilakukan secara benar dan daerah benar-benar tidak mampu, saya rasa masyarakat akan mengerti dengan penggabungan daerah,” ucapnya.Penggabungan ini juga dimaksudkansebagaiterapikejut bagi daerah lain agar tidak merasa mudah melakukan pemekaran.
Dita angga
(bbg)