10 Profesor dan 200 Doktor Terjebak Korupsi

Kamis, 11 Desember 2014 - 11:16 WIB
10 Profesor dan 200 Doktor Terjebak Korupsi
10 Profesor dan 200 Doktor Terjebak Korupsi
A A A
YOGYAKARTA - Praktik korupsi di Indonesia sangat memprihatinkan. Tindak pidana itu telah menjadi bahaya laten yang dapat menjerat siapa pun, tanpa memandang tingkat pendidikan.

Mereka yang menyandang gelar akademik tinggi pun bisa terjebak dan akhirnya mendekam di penjara. ”Ada 10 profesor, 200 doktor yang ter-jebak kasus korupsi,” sebut Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas dalam talkshow bersama tokoh budaya Kotagede di Graha Sabha Pramana Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, kemarin.

Busyro mengungkapkan, kenyataan tersebut menggambarkan cengkeraman korupsi di Tanah Air sangat kuat. Korupsi telah menjalar hingga tatanan keluarga. Kasus korupsi di Banten misalnya telah menyeret tersangka yang masih memiliki hubungan darah. Begitu juga di Kota Palembang dan Karawang yang melibatkan suami-istri.

”Korupsi dapat menjangkiti semua orang, bahkan masyarakat paling terdidik sekalipun,” kata Busyro. Deputi Pencegahan KPK Johan Budi SP mengakui perilaku koruptif tidak mengenal latar belakang. Itu terbukti dari sejumlah kasus yang ditangani KPK, pelaku korupsi merupakan pejabat tinggi dengan gelar akademik bagus. ”Bukan hanya profesor atau doktor, tokoh agama pun bisa kena (korupsi),” sebutnya.

Pakar hukum pidana pencucian uang dari Universitas Trisaksi Yenti Ganarsih mengungkapkan, keterlibatan profesor atau doktor dalam praktik korupsi membuktikan tindak pidana itu telah merajalela. Faktor pendorongnya bisa karena sistem atau pelaku memang memiliki niat. ”Bisa juga karena faktor serakah (corruption by greed) atau karena pemidanaan sudah tidak menjerakan, tidak membuat malu, sehingga akademisi pun ikut-ikut tidak malu,” ungkap Yenti kemarin.

Berdasarkan catatan KORAN SINDO, sejumlah terpidana korupsi merupakan birokrat dengan gelar profesor atau doktor. Mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Rudi Rubiandini yang terjerat kasus dugaan suap di SKK Migas pernah tercatat sebagai guru besar ITB. Profesor perminyakan itu menyelesaikan gelar doktornya di Technische Universitat Calusthal, Jerman.

Terpidana empat tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi proyek Hambalang Andi Mallarangeng juga sosok dengan gelar akademik top. Mantan menteri pemuda dan olahraga ini menyelesaikan pendidikan S-2 dan S-3 di Amerika Serikat. Mantan Ketua MK Akil Mochtar bahkan doktor ilmu hukum dari Universitas Padjadjaran Bandung. Bukan hanya institusi KPK, Kejaksaan Agung juga pernah menindak dugaan korupsi dana haji yang melibatkan mantan Menteri Agama Said Agil Husin Al Munawar.

Said merupakan profesor lulusan Universitas Ummu AI Quro, Mekkah, Arab Saudi. (selengkapnya lihat info grafis ). Yenti menegaskan, semua pihak sudah saatnya memikirkan efek jera bagi para pelaku korupsi yang memiliki gelar akademik tinggi. Sesungguhnya tidak pantas mereka terjerumus dalam tindak pidana ini. Bila praktik itu terjadi di lingkungan kampus, harus ada sanksi tegas terhadap pelaku.

”Kampus juga harus terdepan menolak korupsi, menyuarakan pemberantasan korupsi,” kata Direktur Eksekutif Pusat Kajian Pencucian Uang dan Perampasan Aset Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo ini. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta JM Muslimin menegaskan, korupsi biasanya terjadi karena faktorkerakusan, lingkungan, dan kesempatan.

Profesor atau doktor yang masuk dalam birokrasi sering kalah ketika melawan tiga hal tersebut. Begitu terjebak, moral dan integritasnya seketika luntur. ”Menjadi rakus dan kecanduan. Ini yang terbaca dari beberapa profesor dan doktor yang ditangkap KPK,” ungkapMuslimin. Menurut Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Zaenal Arifin Mochtar, keterlibatan sejumlah orang bergelar akademik tinggi dalam kasus-kasus korupsi bukan berarti praktik kejahatan itu masif terjadi dalam universitas.

Menurutnya, seringkali pragmatisme pimpinan universitas atau para guru besar yang membuat tindak pidana korupsi akhirnya terjadi. Dalam konteks universitas misalnya seringkali muncul keinginan dari para pimpinan agar kampus semakin bergengsi dengan membuat fasilitas-fasilitas mahal semacam lembaga studi, rumah sakit akademik, atau laboratorium.

Dihadapkan pada anggaran yang terbatas, keinginan itu akhirnya memicu sekelompok orang menghalalkan segala cara demi mewujudkan itu. ”Beberapa cara yang biasanya dilakukanpara profesoratauguru besar yakni bersedia membayar siapa pun agar mampu mewujudkan keinginan itu,” sebut dia.

Dalam hal ini, praktik korupsi sering terjadi pada proyek nasional yang pelaksanaannya di bawah naungan universitas. ”Memang ada satu-dua kasus yang membuktikan terjadi praktik korupsi di dalam universitas. Tapi, kasus semacam itu masih sedikit sekali jika dibandingkan dengan kasus proyek nasional,” ungkap dia.

Ratih keswara/Muh fauzi/Sabir laluhu
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.9425 seconds (0.1#10.140)