Berbagi demi Kemandirian Petani

Minggu, 07 Desember 2014 - 10:53 WIB
Berbagi demi Kemandirian Petani
Berbagi demi Kemandirian Petani
A A A
Suprapto memelopori model pertanian berkelanjutan dan terpadu. Dia menggagas program lumbung pangan melalui optimalisasi lahan untuk pertanian, perkebunan, dan peternakan demi kemandirian petani.

Suprapto juga merintis perkuliahan bagi anak-anak korban bencana alam untuk menjadi petani yang sarjana dan sarjana yang bertani.TO (baca: Te-O) –sapaan Suprapto-, melakukan semua ini demi visi kedaulatan pangan serta mewujudkan kemandirian bahkan kemerdekaan petani.

Konsep lumbung pangan –termasuk pengendalian hama terpadu- direalisasikannya dengan mendirikan Joglo Tani di Seyegan, Sleman, DIY. Sedangkan perkuliahan sarjana petani, petani sarjana dipusatkan di Yogyakarta. Berikut wawancara dengan salah satu Pahlawan untuk Indonesia MNC TV 2014 bidang Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat ini.

Apa yang membuat Anda ingin memerdekakan petani?

Saya menyadari bahwa petani harus memiliki kedaulatan atas pangan, bibit, dan pupuk. Dari Aceh sampai Papua, lebih dari 50% masyarakat hidup dari pertanian. Jika tidak ada kedaulatan dan kemandirian atas pangan, maka kita akan menjadi bangsa konsumtif.

Belum lagi adanya tekanan ekonomi, tekanan alam, tekanan sosial, tekanan budaya, tekanan global dan tekanan kebijakan yang seakan menjajah “kemerdekaan” petani. Ditambah alih fungsi lahan produktif menjadi lahan hunian atau pabrikan serta adanya hak paten bibit dan pupuk yang semakin mencekik petani. Padahal, dulu para petani kita merdeka.

Mereka bercocok tanam dengan mengandalkan kekayaan alam. Pengadaan sarana dan prasarana bibit dan pupuk bisa mereka lakukan sendiri sehingga ramah lingkungan. Kini seiring berkembangnya teknologi dan kecenderungan yang hanya mengincar peningkatan produktivitas, para petani mulai menghalalkan berbagai cara melalui temuan-temuan akademisi yang tidak berpihak pada lingkungan. Para petani sudah mengalami ketergantungan pada pabrik pupuk dan benih.

Bagaimana untuk mengatasi berbagai tekanan tersebut?

Untuk membangun kedaulatan pada sektor pertanian, hal utama yang perlu diperhatikan adalah SDM atau sumber daya manusia yakni petani itu sendiri, sumber daya alam atau SDA yaitu lahan, sosial, fisik dan finansial. Sementara untuk mewujudkan pertanian yang organik diperlukan kejujuran.

Bertani organik adalah tentang kebutuhan dan kejujuran. Kami mencari solusi guna mengurangi berbagai tekanan tersebut dengan berangkat dari manajemen ekonomi rumah tangga. Maksudnya, mengoptimalkan lahan untuk mencapai kedaulatan pangan. Bahkan, masyarakat di perkotaan dengan lahan sempit pun juga bisa bertani.

Caranya, sebisa mungkin atap rumah cor sehingga bagian atas bisa digunakan untuk budidaya sementara bawah untuk tempat tinggal. Bisa juga, dinding dijadikan lahan vertical gardenuntuk sayursayuran. Budi daya tanaman bisa dimulai dari umbi seperti bawang merah, kentang dan lainnya, lalu bunga dan buah.

Selain itu, memelihara ikan dengan media 1 x 1 meter kemudian di atasnya diletakkan kandang ayam. Dengan begitu, kita memiliki hasil harian, mingguan, bulanan, triwulanan, enam bulanan, hingga satu tahun dari lahan sempit itu. Inilah yang disebut lumbung pangan. Konsep seperti ini juga diterapkan di Joglo Tani.

Apa saja yang dilatih dan diajarkan di Joglo Tani?

Joglo Tani merupakan wadah pelatihan pertanian organik. Di sini, para petani dididik dan dibina mengenai pertanian terpadu. Tujuannya adalah lebih memberdayakan kehidupan petani sehingga tidak tergantung dan terpengaruh impitan lingkungan, ekonomi, sosial, dan kebijakan.

Mereka dididik agar menjadi petani mandiri dan berdaya saing kuat, mulai dari membuat benih sendiri, membuat pupuk, mengolah hasil pertanian hingga ke pemasaran, sehingga nantinya menjadi petani yang sejahtera. Caranya dengan membuat lumbung pangan yaitu pertanian terpadu yang di dalamnya mencakup multitanaman.

Maksudnya, dalam satu hamparan terdapat hasil yang bisa dipanen umbinya, batangnya, daunnya, buahnya, dan bunganya. Dalam hamparan ini juga ada peternakan dan perikanan. Dengan begitu, hasilnya pun multikultur dan variatif.

Anda juga menyekolahkan anak-anak korban bencana alam ke perguruan tinggi pertanian?

Latar belakang pendidikan SDM yang rendah menjadikan para petani kita sulit berinovasi. Apalagi banyak lulusan fakultas pertanian yang tidak menjadi petani. Hal ini dipengaruhi adanya pandangan bahwa bertani adalah pekerjaan yang kotor, tidak menjanjikan, bahkan sekarang sudah jarang anak yang masuk fakultas pertanian.

Oleh karenanya, kami merangkul anakanak para korban bencana alam dari seluruh Indonesia untuk dididik dan mewarisi visi dan misi kami. Visi dan misi kami adalah memerdekakan petani.

Dengan cara seperti apa mereka dididik?

Kami menguliahkan anak-anak tidak mampu korban bencana alam dari seluruh Indonesia di Institut Pertanian atau Intan Yogyakarta. Mereka dibekali ilmu pertanian selama empat tahun. Saat praktik lapangan, para mahasiswa langsung terjun menggarap lahan pertanian dan peternakan di Joglo Tani.

Begitu lulus, mereka akan mendapatkan ijazah sarjana dari Intan Yogyakarta dan sertifikat keahlian dari Joglo Tani. Dengan begitu, mereka akan menjadi petani ahli yang sarjana pertanian sekaligus sarjana pertanian yang menjadi petani. Setelah lulus, mereka kembali ke daerah masing-masing untuk membangun daerahnya. Sejak 2008 hingga sekarang, sudah lebih dari 100 mahasiswa yang diwisuda.

Mengapa harus dikuliahkan? Apakah tidak cukup diajari di Joglo Tani?

Semua didasari keprihatinan banyaknya perguruan tinggi pertanian tutup karena tidak punya mahasiswa. Saat itu, saya diminta masukan oleh Ditjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional untuk menyampaikan harapan petani Indonesia terhadap pertanian.

Mewakili diri sendiri, saya katakan yang terpenting adalah pendidikan petani. Menurut saya, sudah semestinya Fakultas Pertanian melahirkan petani. Sayangnya sistem pendidikan kita hanya mengenal dua hal yaitu mendengarkan dan mencatat. Persoalannya adalah pertanian bukan diomongkan, peternakan bukan diceritakan, dan perikanan bukan digambarkan tapi dilakukan.

Nah, proses melakukan tersebut harus diwujudkan nyata dalam bentuk sekolah. Maka dari itu, diperlukan perubahan sistem pendidikan dengan istilah double degree learning by doing, entrepreneurship. Maka orang akan tertarik untuk belajar. Pada saat itu, Intan Yogyakarta tinggal memiliki lima mahasiswa untuk diluluskan dan telah diumumkan akan ditutup.

Saya menawarkan untuk bersama-sama mencarikan mahasiswa. Sejak 2008 kami mengirimkan anakanak korban bencana alam untuk dimasukkan ke fakultas pertaniannya. Meski namanya Institut Pertanian, tapi kami mengistilahkan kepada anak didik Universitas Jagad Raya, Fakultas Kejujuran Jurusan Jalan Lurus. Di sini, pendekatan kami lebih kepada nasihat religi dilanjutkan nasihat ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan begitu antara filosofi, kearifan lokal, dan pekerjaan bisa berjalan beriringan.

Apakah pendidikan ini hanya ada di Yogyakarta?

Hingga saat ini masih satu tempat. Tapi sudah banyak permintaan dari berbagai institut pertanian lainnya. Saya punya prinsip jika memang sistemnya sudah benar dan bisa diduplikasi di tempat lain kenapa tidak. Jangan sampai membuat banyak tapi tidak jadi atau kualitasnya rendah. Lebih baik fokus di satu lokasi dan kualitasnya sangat bagus sehingga bisa menjadi model.

Dari perjalanan Anda sebagai petani, momen apa yang menjadi titik cerah dalam hidup Anda?

Titik cerah saya saat mengikuti Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu atau SLPHT pada 1989-1999 yang merupakan program pemerintah. Melalui pembelajaran di SLPHT ini, saya mendapatkan begitu banyak dampak positif. Setelah program ini berhenti, saya dan teman lain sesama peserta sepakat untuk melanjutkan programnya dengan berswadaya.

Dengan swadaya, kami berbuat tanpa berpikir untuk siapa, atau apakah ini berjuang atau tidak, yang penting adalah berbuat dulu. Kami juga membuat media jaringan sendiri yang dilakukan sepenuhnya oleh petani dan didistribusikan ke seluruh Indonesia. Dalam perjalanannya, kami pahami ada ilmu, ngilmu, dan ngalimunan. Ilmu adalah teori, ngilmuadalah proses, dan ngalimunan (bahasa Jawa) artinya berbagi. Jadi apa yang kami lakukan lebih pada berbagi.

Tidak merasa lelah terus berbuat dan berbagi?

Saya tidak akan pernah lelah karena hidup hanya tiga hari. Kemarin, hari ini, dan besok kalau masih hidup. Jadi nikmati saja. Tidak akan berhenti dan sedetik pun tak berhenti. Saya akan berbuat sesuai kemampuan dan sejauh kaki mampu melangkah.

Harapan yang baik hanya bisa tercapai dengan kesungguhan. Sebagai orang tua, melihat anak didiknya bisa mencipatakan lapangan pekerjaan tentu ada rasa senang. Namun, saya akan lebih bangga jika mereka bisa berbuat banyak dan bermanfaat bagi banyak orang.

Ema malini
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7263 seconds (0.1#10.140)