Sikap Kooperatif Menteri Bisa Batalkan Interpelasi
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai sikap menteri yang tidak kooperatif terhadap DPR pada awal pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) menjadi salah satu penyebab memanasnya tensi politik.
Sikap menteri itu ikut memicu kemunculan wacana penggunaan hak interpelasi atas kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Padahal jika para menteri bersedia datang menghadiri undangan rapat di DPR, wacana interpelasi bisa saja diurungkan. Apalagi bila penjelasan para menteri Jokowi dianggap sudah cukup menjawab pertanyaan DPR.
“Masih terbuka penggunaan hak interpelasi itu diurungkan. Itu kalau menterinya datang ke DPR dan menjelaskan ihwal yang ditanyakan anggota Dewan,” kata Fahri di Gedung DPR, Jakarta, kemarin. Menurut Fahri, saat DPR butuh penjelasan pemerintah perihal alasan kenaikan harga BBM justru para menteri Kabinet Kerja tidak ada yang mau menghadiri undangan rapat di DPR. Itusemakinmenguatkanniat para anggota DPR menggulirkan hak interpelasi.
“Pada hakikatnya interpelasi itu hak bertanya anggota Dewan. Kalau mereka (pemerintah) sudah jawab, selesai urusan,” ujar wakil sekjen DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini. Fahri menjelaskan, kemunculan wacana penggunaan hak interpelasi lebih disebabkan kebuntuan komunikasi. Pemerintah dinilai secara sepihakdantanpaberkonsultasi dengan DPR tiba-tiba menaikkan harga BBM bersubsidi.
Padahal, pada saat yang sama harga minyak dunia sedang turun dan kondisi fiskal dalam APBN juga dalam kondisi amanaman saja. Kondisi ini semakin keruh ketika menteri-menteri yang diundang rapat ke DPR menolak hadir dengan alasan ada larangan.” Komunikasiyangbuntu seperti inilah yang memaksa anggota Dewan menggunakan hak politiknya,” ucapnya.
Anggota Fraksi Partai Golkar Misbakhun mengatakan, ada banyak hal yang perlu ditanyakan atas kebijakan tersebut termasuk kompensasi terhadap kenaikan harga BBM bersubsidi. ”Kami juga ingin tahu sumber dana tiga kartu sakti itu dan dikemanakan alokasinya,” katanya.
Rahmat sahid
Sikap menteri itu ikut memicu kemunculan wacana penggunaan hak interpelasi atas kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Padahal jika para menteri bersedia datang menghadiri undangan rapat di DPR, wacana interpelasi bisa saja diurungkan. Apalagi bila penjelasan para menteri Jokowi dianggap sudah cukup menjawab pertanyaan DPR.
“Masih terbuka penggunaan hak interpelasi itu diurungkan. Itu kalau menterinya datang ke DPR dan menjelaskan ihwal yang ditanyakan anggota Dewan,” kata Fahri di Gedung DPR, Jakarta, kemarin. Menurut Fahri, saat DPR butuh penjelasan pemerintah perihal alasan kenaikan harga BBM justru para menteri Kabinet Kerja tidak ada yang mau menghadiri undangan rapat di DPR. Itusemakinmenguatkanniat para anggota DPR menggulirkan hak interpelasi.
“Pada hakikatnya interpelasi itu hak bertanya anggota Dewan. Kalau mereka (pemerintah) sudah jawab, selesai urusan,” ujar wakil sekjen DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini. Fahri menjelaskan, kemunculan wacana penggunaan hak interpelasi lebih disebabkan kebuntuan komunikasi. Pemerintah dinilai secara sepihakdantanpaberkonsultasi dengan DPR tiba-tiba menaikkan harga BBM bersubsidi.
Padahal, pada saat yang sama harga minyak dunia sedang turun dan kondisi fiskal dalam APBN juga dalam kondisi amanaman saja. Kondisi ini semakin keruh ketika menteri-menteri yang diundang rapat ke DPR menolak hadir dengan alasan ada larangan.” Komunikasiyangbuntu seperti inilah yang memaksa anggota Dewan menggunakan hak politiknya,” ucapnya.
Anggota Fraksi Partai Golkar Misbakhun mengatakan, ada banyak hal yang perlu ditanyakan atas kebijakan tersebut termasuk kompensasi terhadap kenaikan harga BBM bersubsidi. ”Kami juga ingin tahu sumber dana tiga kartu sakti itu dan dikemanakan alokasinya,” katanya.
Rahmat sahid
(ars)