Utang Tutut ke Berkah Bisa Ditelusuri
A
A
A
JAKARTA - Pernyataan mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi soal pembayaran utang Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) oleh PT Berkah Karya Bersama (BKB) untuk Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) patut dicatat.
Pengamat hukum perdata Universitas Negeri Semarang (Unnes) Pujiono mengatakan, setiap pembayaran utang ada buktinya, begitu juga jaminan.
“Semua dokumen soal utangpiutang bisa ditelusuri,” tandas Pujiono di Jakarta kemarin, menanggapi pernyataan Tutut bahwa utang itu akibat situasi politik. Menurut dia, orang sekelas Laksamana Sukardi tidak akan gegabah menyatakan adanya pembayaran utang satu pihak ke pihak lain, sebab pernyataan itu pasti didasarkan pada dokumen yang ada. “Begitu juga pembayaran dan pembelian obligasi. Ada obligasi atas tunjuk dan atas nama. Semuanya bisa ditelusuri berdasar dokumen yang ada,” ungkapnya.
Sebelumnya, mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi berbicara terkait sengketa kepemilikan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Menurut Laksamana Sukardi, Tutut terikat utang dalam jumlah besar yang kemudian dibayarkan oleh BKB. Pernyataan mantan politikus PDI Perjuangan ini menepis keterangan Tutut yang menyalahkan kekacauan situasi politik hingga membuat TPI memiliki utang besar pada 2000.
Laks—panggilan akrab Laksamana Sukardi, menyatakan semua utang Tutut tersebut dibayarkan oleh PT Berkah Karya Bersama. Laks mengaku pihaknya pernah mendesak PT Indosat untuk melakukan penagihan kepada TPI karena utangnya sudah terlalu besar. Sementara itu, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menolak tuntutan hak ingkar yang diajukan kubu Tutut.
Majelis hakim menilai pengadilan tidak berwenang memeriksa tuntutan hak ingkar pada proses pemilihan majelis arbitrer. Kuasa hukum PT Berkah Karya Bersama (BKB) Andi F Simangunsong mengatakan, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu memperkuat bahwa sengketa TPI antara PT BKB dan Tutut harus ditangani oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
“Artinya, pengadilan menolak upaya Tutut yang bermaksud mengganti arbitrer di BANI, pengadilan tidak berwenang, karena itu wewenang BANI. Ini penegasan bahwa kasus ini ditangani BANI bukan pengadilan,” tandasnya. Selain itu, lanjut Andi, putusan ini juga menegaskan bahwa BANI merupakan lembaga independen yang tidak bisa diintervensi.
“Tidak dapat diintervensi. Jadi kita tunggu putusan arbitrase BANI, dalam minggu-minggu ini,” tuturnya. Pujiono pun menyatakan hal yang sama. Menurut dia, dengan ditolaknya hak ingkar Tutut ini maka penyelesaian kasus sengketa TPI di BANI tetap berjalan. “Itu artinya pengadilan tidak bisa ikut campur dalam penentuan arbitrer kasus TPI . Selanjutnya BANI jalan terus untuk kasus ini,” paparnya.
Nantinya jika pihak BANI memutuskan kasus ini maka yang berlaku adalah putusan BANI dan putusan pengadilan otomatis gugur. Dia mengingatkan bahwa penyelesaian di jalur arbitrase adalah atas persetujuan dua pihak, karena itu harus dihargai. Dalam kasus perdata dan sengketa bisnis, ujarnya, berlaku asas pacta sun servanda yang berarti bahwa hukum yang paling tinggi adalah kesepakatan. Hal yang sama diungkapkan pengamat hukum bisnis Frans Hendra Winarta.
Menurut dia, putusan pengadilan tidak punya pengaruh apa pun pada putusan BANI nantinya. BANI, ujarnya, dapat meneruskan pemeriksaan, menyatakan berwenang, dan kemudian memutuskan berdasarkan prinsip atau asas competence-competence. “Semua sudah diatur Undang- Undang Arbitrase,” kata Frans.
Menanggapi penyataan LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) yang menyatakan putusan BANI tidak boleh bertentangan dengan putusan MA, Frans mengatakan itu tidak benar. “Itu salah. Itu dua hal yang berbeda. Pengadilan tidak punya yurisdiksi (kewenangan) untuk memproses sengketa itu, karena dua pihak sebelumnya sudah sepakat untuk menempuh ke jalur arbitrase,” tandasnya.
Karena sudah bersepakat ke arbitrase, BANI adalah pertama dan terakhir. Putusan BANI bersifat final. Menurut Frans, di Eropa dan negara-negara lain, penyelesaian dengan cara arbitrer lebih disukai karena praktis, efektif, dan efisien. “Arbitrer bersifat win-win solution, confidential, dan final-binding (mengikat)” paparnya.
Arbitrase di negara-negara itu menjadi cara yang paling ampuh untuk menyelesaikan sengketa bisnis yang terjadi karena dapat tetap menjaga hubungan baik para pelaku bisnis dan tidak ada pihak yang dipermalukan di antara yang bersengketa. Menurut Frans, dalam arbitrase, para pihak dapat meminta jasa arbitrer baik itu berupa arbitrer tunggal (sole arbitrator ) atau majelis arbitrase (panel of arbitrator ) yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidangnya untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi.
“Misalnya sengketa bisnis minyak ditangani oleh arbitrer yang paham soal minyak, sengketa pembangunan jalan tol ditangani oleh arbitrer yang paham bisnis tol,” kata Frans.
Danti daniel/Okezone
Pengamat hukum perdata Universitas Negeri Semarang (Unnes) Pujiono mengatakan, setiap pembayaran utang ada buktinya, begitu juga jaminan.
“Semua dokumen soal utangpiutang bisa ditelusuri,” tandas Pujiono di Jakarta kemarin, menanggapi pernyataan Tutut bahwa utang itu akibat situasi politik. Menurut dia, orang sekelas Laksamana Sukardi tidak akan gegabah menyatakan adanya pembayaran utang satu pihak ke pihak lain, sebab pernyataan itu pasti didasarkan pada dokumen yang ada. “Begitu juga pembayaran dan pembelian obligasi. Ada obligasi atas tunjuk dan atas nama. Semuanya bisa ditelusuri berdasar dokumen yang ada,” ungkapnya.
Sebelumnya, mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi berbicara terkait sengketa kepemilikan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Menurut Laksamana Sukardi, Tutut terikat utang dalam jumlah besar yang kemudian dibayarkan oleh BKB. Pernyataan mantan politikus PDI Perjuangan ini menepis keterangan Tutut yang menyalahkan kekacauan situasi politik hingga membuat TPI memiliki utang besar pada 2000.
Laks—panggilan akrab Laksamana Sukardi, menyatakan semua utang Tutut tersebut dibayarkan oleh PT Berkah Karya Bersama. Laks mengaku pihaknya pernah mendesak PT Indosat untuk melakukan penagihan kepada TPI karena utangnya sudah terlalu besar. Sementara itu, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menolak tuntutan hak ingkar yang diajukan kubu Tutut.
Majelis hakim menilai pengadilan tidak berwenang memeriksa tuntutan hak ingkar pada proses pemilihan majelis arbitrer. Kuasa hukum PT Berkah Karya Bersama (BKB) Andi F Simangunsong mengatakan, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu memperkuat bahwa sengketa TPI antara PT BKB dan Tutut harus ditangani oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
“Artinya, pengadilan menolak upaya Tutut yang bermaksud mengganti arbitrer di BANI, pengadilan tidak berwenang, karena itu wewenang BANI. Ini penegasan bahwa kasus ini ditangani BANI bukan pengadilan,” tandasnya. Selain itu, lanjut Andi, putusan ini juga menegaskan bahwa BANI merupakan lembaga independen yang tidak bisa diintervensi.
“Tidak dapat diintervensi. Jadi kita tunggu putusan arbitrase BANI, dalam minggu-minggu ini,” tuturnya. Pujiono pun menyatakan hal yang sama. Menurut dia, dengan ditolaknya hak ingkar Tutut ini maka penyelesaian kasus sengketa TPI di BANI tetap berjalan. “Itu artinya pengadilan tidak bisa ikut campur dalam penentuan arbitrer kasus TPI . Selanjutnya BANI jalan terus untuk kasus ini,” paparnya.
Nantinya jika pihak BANI memutuskan kasus ini maka yang berlaku adalah putusan BANI dan putusan pengadilan otomatis gugur. Dia mengingatkan bahwa penyelesaian di jalur arbitrase adalah atas persetujuan dua pihak, karena itu harus dihargai. Dalam kasus perdata dan sengketa bisnis, ujarnya, berlaku asas pacta sun servanda yang berarti bahwa hukum yang paling tinggi adalah kesepakatan. Hal yang sama diungkapkan pengamat hukum bisnis Frans Hendra Winarta.
Menurut dia, putusan pengadilan tidak punya pengaruh apa pun pada putusan BANI nantinya. BANI, ujarnya, dapat meneruskan pemeriksaan, menyatakan berwenang, dan kemudian memutuskan berdasarkan prinsip atau asas competence-competence. “Semua sudah diatur Undang- Undang Arbitrase,” kata Frans.
Menanggapi penyataan LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) yang menyatakan putusan BANI tidak boleh bertentangan dengan putusan MA, Frans mengatakan itu tidak benar. “Itu salah. Itu dua hal yang berbeda. Pengadilan tidak punya yurisdiksi (kewenangan) untuk memproses sengketa itu, karena dua pihak sebelumnya sudah sepakat untuk menempuh ke jalur arbitrase,” tandasnya.
Karena sudah bersepakat ke arbitrase, BANI adalah pertama dan terakhir. Putusan BANI bersifat final. Menurut Frans, di Eropa dan negara-negara lain, penyelesaian dengan cara arbitrer lebih disukai karena praktis, efektif, dan efisien. “Arbitrer bersifat win-win solution, confidential, dan final-binding (mengikat)” paparnya.
Arbitrase di negara-negara itu menjadi cara yang paling ampuh untuk menyelesaikan sengketa bisnis yang terjadi karena dapat tetap menjaga hubungan baik para pelaku bisnis dan tidak ada pihak yang dipermalukan di antara yang bersengketa. Menurut Frans, dalam arbitrase, para pihak dapat meminta jasa arbitrer baik itu berupa arbitrer tunggal (sole arbitrator ) atau majelis arbitrase (panel of arbitrator ) yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidangnya untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi.
“Misalnya sengketa bisnis minyak ditangani oleh arbitrer yang paham soal minyak, sengketa pembangunan jalan tol ditangani oleh arbitrer yang paham bisnis tol,” kata Frans.
Danti daniel/Okezone
(ars)