Kewenangan Berlebih Polri Akar Konflik

Selasa, 02 Desember 2014 - 13:42 WIB
Kewenangan Berlebih Polri Akar Konflik
Kewenangan Berlebih Polri Akar Konflik
A A A
JAKARTA - Kewenangan Polri yang berlebih dinilai menjadi salah satu faktor konflik berkepanjangan antara Polri dan TNI.

Sebab, dengan kewenangan itu, timbul kecemburuan antarinstitusi negara yang awalnya berada dalam payung yang sama. Pengamat kepolisian dari Universitas Indonesia (UI) Erlangga Masdiana mengatakan, persoalan TNI dan Polri harus dianalisis secara jernih. Ketika masa Orde Baru (Orba), polisi masuk ke dalam ABRI dan polisi sering kali menjadi korban institusi, tetapi tidak mengeluh.

Namun ketika Polri lepas dari TNI dalam UU 2/2002, Polri mendapatkan sejumlah kuasa perizinan. “Misalkan izin mengawasi keamanan umum, SIM, izin bahan peledak, izin registrasi kendaraan bermotor, izin pengawasan fungsional. Perizinan ini ada potensi keuangan yang sangat besar,” tandas Erlangga saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk “Menggali Akar Masalah TNI-Polri” di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.

Dengan besarnya kewenangan Polri itu, sambungnya, TNI bisa dikatakan memiliki sumber yang sangat sedikit. Dalam konflik yang terjadi selama ini, menurut dia, ada permintaan tersirat dari TNI bahwa Polri juga harus membagi fungsi pengamanan kepada TNI. Karena itu, persoalan ini harus segera diselesaikan. Sebab konflik yang diakibatkan kesejahteraan akan terus bergulir.

“Solusinya, perlu ada perubahan UU 2/2002. Bukan dalam rangka mengubah secara teknis, tapi ubah secara keseluruhan,” tandasnya. Menurut Erlangga, perubahan itu harus memuat pengertian bahwa urusan keamanan tidak hanya bisa diselesaikan kepolisian saja. Keamanan yang sifatnya strategis dan ada kaitannya dengan ancaman harus diserahkan kepada TNI.

Misalnya pengamanan sumber daya ikan laut yang tidak bisa diselesaikan kepolisian serta fungsi lainnya yang menjadi porsi TNI diberikan kepada TNI. “Keamanan yang sifatnya teknis diberikan kepada polisi. Contoh ketertiban umum yang ada kaitannya dengan masalah peradilan pidana. Terkait dengan izin-izin yang ada kaitannya dengan masyarakat langsung soal pelayanan keamanan,” paparnya.

Selain itu, lanjutnya, perlu dijadikan catatan pula apakah Polri mesti memiliki pasukan khusus yang karakternya dimiliki TNI. Sementara pertikaian yang terjadi lebih banyak dilakukan anggota Brimob dengan TNI.

“Jadi, inilah persoalannya, antara yang satu punya senjata dan satunya lagi juga punya senjata. Ini perlu renungan, apakah Polri perlu ada pasukan khusus? Atau pasukan khusus ini hanya diberikan kepada TNI?” ujarnya. Hal senada diungkapkan Ketua Fraksi Partai Hanura di MPR Sarifuddin Sudding.

Dia berpandangan, faktor-faktor pemicu gesekan konflik TNI-Polri tidak terlepas dari masalah perebutan lahan bisnis, kesejahteraan TNIPolri yang masih minim, dan masalah kewenangan. Sebab kewenangan yang dimiliki kepolisian sangat besar. “Serta ada anggaran tersendiri semenjak ada pemisahan TNIPolri sehingga terjadi kecemburuan,” kata Sudding.

Kiswondari
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4792 seconds (0.1#10.140)