Pendamping Desa Harus Jadi Gerakan Sosial
A
A
A
SOLO - Peran pendamping dalam mewujudkan desa kuat dan mandiri adalah suatu keharusan. Tenaga pendamping desa turut menentukan sukses atau tidaknya pembangunan dan pemberdayaan desa seperti diamanatkan Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 (UU Desa).
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Marwan Jafar mengatakan pendamping desa bisa menjadi gerakan sosial yang memiliki gaung yang besar untuk mendorong tumbuhnya kemandirian desa.
”Pendamping ini sangat menentukan arah pembangunan desa, terutama bagaimana desa ini mengelola dana Rp1,4 miliar dengan tepat dan tidak melanggar hukum,” ujar Marwan dalam acara Semiloka Nasional ”Revitalisasi Peran Pendamping Desa menuju Desa Kuat dan Mandiri (AFPM - IPPMI - HAPMI)” di Asrama Haji Donohudan, Solo, kemarin.
Menteri Desa menjelaskan, peran pendamping tidak hanya memberdayakan kelembagaan dan aparatur desa, melainkan juga ikut merencanakan program yang aspiratif sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa. ”Tentu juga ikut membantu penyiapan laporan keuangan agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” ujar Marwan. Karena itu, Marwan mengatakan kemampuan pendamping sebagai pengorganisasi masyarakat merupakan sebuah prasyarat yang mutlak untuk dikuasai.
Dengan demikian, saatnya para pendamping memperbarui diri agar mampu menjadi pendamping-pendamping masyarakat yang handal dan profesional yang semoga saja menjadi bagian penting dalam proses implementasi UU Desa. ”Jadi pendamping desa harus diperkuat karena mereka menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat di desa untuk memastikan terselenggaranya tata kelola pemerintahan yang bersih,” ujar Menteri.
Seperti diketahui, UU Desa memberikan kepastian dana desa yang bersumber dari APBN, menjadi fondasi dasar kuat bagi desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan Pancasila. Pada posisi sekarang ini, terdapat pula tenaga pendamping PNPM/program sejenis yang mempunyai keahlian tentang pembangunan desa.
Tenaga tersebut sebanyak 16.000 lebih fasilitator atau pendamping profesional. Pada saat yang sama keberadaan aset PNPM Mandiri Perdesaan/ pembangunan ke desa selama ini menunjukkan bahwa telah terdapat aset ekonomi dalam bentuk kelompok Simpan Pinjam Perempuan (SPP) dan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) lebih dari Rp10,9 triliun yang dikelola dalam kerja sama desa/Badan Kerja Sama Antardesa (BKAD) dan aset saranaprasarana untuk dipastikan legalitas dan keberlanjutan programnya.
Aset-aset tersebut tersebar di lokasi perdesaan yang jumlahnya ratusan ribu kegiatan di mana status kepemi-likan/legalitas belum terdata dalam aset desa atau aset masyarakat dari PNPM dan K/L. ”Ini bagian dari PR kementerian baru ini yang harus segera ditata,” ujar dia.
Sementara itu pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Ari Sujito mengatakan dalam menyiapkan masyarakat desa, pemerintah seharusnya membuat road map yang jelas terlebih dahulu. Road map inilah yang nantinya memperjelas langkah-langkah apa saja yang akan diambil. ”Skemanya seperti apa pendampingan itu. Apakah yang ada seperti di dalam PP (peraturan pemerintah) atau tidak,” kata dia.
Dia menyayangkan jika skema pendampingan seperti yang tercantum dalam PP Desa. Di dalam PP tersebut diatur pendampingan diambil dari mantan fasilitator Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).
”Kalau hanya berdasarkan PP maka tidak akan sesuai dengan semangat UU Desa, yakni membuat masyarakat lebih berdaya, karena mengandalkan fasilitator. Maka dari itu harusnya yang perlu dilatih dan dididik adalah masyarakat desa. Inilah saya minta pemerintah untuk melakukan reviu terhadap PP itu, ” katanya.
Menurut dia, pemerintah harus bekerja cepat karena masyarakat desa telah menunggu. Namun pemerintah harus tahu persis langkah-langkah strategis dalam membangun kedaulatan desa dan tata kelola keuangan desa.
”Ini tantangan serius. Presiden sudah memberikan sinyal positif, ini bagaimana menteri meresponsnya. Jangan sampai masalah desa jadi tarik-menarik ego sektoral,” ujar dia.
Dita angga
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Marwan Jafar mengatakan pendamping desa bisa menjadi gerakan sosial yang memiliki gaung yang besar untuk mendorong tumbuhnya kemandirian desa.
”Pendamping ini sangat menentukan arah pembangunan desa, terutama bagaimana desa ini mengelola dana Rp1,4 miliar dengan tepat dan tidak melanggar hukum,” ujar Marwan dalam acara Semiloka Nasional ”Revitalisasi Peran Pendamping Desa menuju Desa Kuat dan Mandiri (AFPM - IPPMI - HAPMI)” di Asrama Haji Donohudan, Solo, kemarin.
Menteri Desa menjelaskan, peran pendamping tidak hanya memberdayakan kelembagaan dan aparatur desa, melainkan juga ikut merencanakan program yang aspiratif sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa. ”Tentu juga ikut membantu penyiapan laporan keuangan agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” ujar Marwan. Karena itu, Marwan mengatakan kemampuan pendamping sebagai pengorganisasi masyarakat merupakan sebuah prasyarat yang mutlak untuk dikuasai.
Dengan demikian, saatnya para pendamping memperbarui diri agar mampu menjadi pendamping-pendamping masyarakat yang handal dan profesional yang semoga saja menjadi bagian penting dalam proses implementasi UU Desa. ”Jadi pendamping desa harus diperkuat karena mereka menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat di desa untuk memastikan terselenggaranya tata kelola pemerintahan yang bersih,” ujar Menteri.
Seperti diketahui, UU Desa memberikan kepastian dana desa yang bersumber dari APBN, menjadi fondasi dasar kuat bagi desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan Pancasila. Pada posisi sekarang ini, terdapat pula tenaga pendamping PNPM/program sejenis yang mempunyai keahlian tentang pembangunan desa.
Tenaga tersebut sebanyak 16.000 lebih fasilitator atau pendamping profesional. Pada saat yang sama keberadaan aset PNPM Mandiri Perdesaan/ pembangunan ke desa selama ini menunjukkan bahwa telah terdapat aset ekonomi dalam bentuk kelompok Simpan Pinjam Perempuan (SPP) dan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) lebih dari Rp10,9 triliun yang dikelola dalam kerja sama desa/Badan Kerja Sama Antardesa (BKAD) dan aset saranaprasarana untuk dipastikan legalitas dan keberlanjutan programnya.
Aset-aset tersebut tersebar di lokasi perdesaan yang jumlahnya ratusan ribu kegiatan di mana status kepemi-likan/legalitas belum terdata dalam aset desa atau aset masyarakat dari PNPM dan K/L. ”Ini bagian dari PR kementerian baru ini yang harus segera ditata,” ujar dia.
Sementara itu pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Ari Sujito mengatakan dalam menyiapkan masyarakat desa, pemerintah seharusnya membuat road map yang jelas terlebih dahulu. Road map inilah yang nantinya memperjelas langkah-langkah apa saja yang akan diambil. ”Skemanya seperti apa pendampingan itu. Apakah yang ada seperti di dalam PP (peraturan pemerintah) atau tidak,” kata dia.
Dia menyayangkan jika skema pendampingan seperti yang tercantum dalam PP Desa. Di dalam PP tersebut diatur pendampingan diambil dari mantan fasilitator Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).
”Kalau hanya berdasarkan PP maka tidak akan sesuai dengan semangat UU Desa, yakni membuat masyarakat lebih berdaya, karena mengandalkan fasilitator. Maka dari itu harusnya yang perlu dilatih dan dididik adalah masyarakat desa. Inilah saya minta pemerintah untuk melakukan reviu terhadap PP itu, ” katanya.
Menurut dia, pemerintah harus bekerja cepat karena masyarakat desa telah menunggu. Namun pemerintah harus tahu persis langkah-langkah strategis dalam membangun kedaulatan desa dan tata kelola keuangan desa.
”Ini tantangan serius. Presiden sudah memberikan sinyal positif, ini bagaimana menteri meresponsnya. Jangan sampai masalah desa jadi tarik-menarik ego sektoral,” ujar dia.
Dita angga
(ars)