Ketua KY: Sudah di BANI, Harusnya MA Tolak Sengketa TPI
A
A
A
JAKARTA - Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki berpendapat, seharusnya peradilan umum maupun Mahkamah Agung (MA) menolak pengurusan perdata sengketa saham Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).
Sebab, perkara itu nyata terdaftar di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Menurut Suparman, dari segi hukum normatif, satu perkara yang sedang terikat perjanjian dalam badan arbitrase, maka pengadilan umum tidak berwenang untuk mengadili.
Apalagi ada acuan teknis yudisial MA, yang disepakati dalam rapat kerja nasional (Rakernas) di Denpasar, Bali pada September 2005.
"Kalau menurut normanya, secara umum kalau perkara itu sudah masuk wilayahnya BANI, maka di pengadilan dia harus tolak," kata Suparman, di kantornya, Jakarta, Jumat (28/11/2014).
Menurut Suparman, pihaknya belum membaca secara utuh hasil kesepakatan teknis yudisial MA. Namun dia meyakini, kesepakatan itu dibuat untuk menetapkan hak dan wewenang hakim MA dalam mengurus perkara.
Kata dia, pengadilan umum maupun MA boleh bertindak untuk mengurus perkara itu jika di kemudian hari terjadi tindakan melawan hukum, yang mengarah pada tindakan pidana. Di mana salah satu pihak yang berperkara merasa dirugikan dalam perjanjian tersebut.
"Ya salah satu jalan menempuh lewat pengadilan seperti itu," ujarnya.
Seperti diketahui pada September 2005, MA dalam Rakernas membuat petunjuk teknis yudisial di Denpasar, Bali.
Salah satu poin petunjuk teknis yudisial menyebutkan, pengadilan negeri atau umum tidak berwenang untuk mengadili suatu perkara yang para pihaknya terikat dalam perjanjian arbitrase. Walaupun hal tersebut didasarkan pada gugatan perbuatan melawan hukum.
Sebab, perkara itu nyata terdaftar di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Menurut Suparman, dari segi hukum normatif, satu perkara yang sedang terikat perjanjian dalam badan arbitrase, maka pengadilan umum tidak berwenang untuk mengadili.
Apalagi ada acuan teknis yudisial MA, yang disepakati dalam rapat kerja nasional (Rakernas) di Denpasar, Bali pada September 2005.
"Kalau menurut normanya, secara umum kalau perkara itu sudah masuk wilayahnya BANI, maka di pengadilan dia harus tolak," kata Suparman, di kantornya, Jakarta, Jumat (28/11/2014).
Menurut Suparman, pihaknya belum membaca secara utuh hasil kesepakatan teknis yudisial MA. Namun dia meyakini, kesepakatan itu dibuat untuk menetapkan hak dan wewenang hakim MA dalam mengurus perkara.
Kata dia, pengadilan umum maupun MA boleh bertindak untuk mengurus perkara itu jika di kemudian hari terjadi tindakan melawan hukum, yang mengarah pada tindakan pidana. Di mana salah satu pihak yang berperkara merasa dirugikan dalam perjanjian tersebut.
"Ya salah satu jalan menempuh lewat pengadilan seperti itu," ujarnya.
Seperti diketahui pada September 2005, MA dalam Rakernas membuat petunjuk teknis yudisial di Denpasar, Bali.
Salah satu poin petunjuk teknis yudisial menyebutkan, pengadilan negeri atau umum tidak berwenang untuk mengadili suatu perkara yang para pihaknya terikat dalam perjanjian arbitrase. Walaupun hal tersebut didasarkan pada gugatan perbuatan melawan hukum.
(maf)