Insentif Peneliti Akan Ditingkatkan
A
A
A
Penelitian yang dilakukan periset Indonesia dinilai masih tertinggal, padahal potensi di perguruan tinggi sangat besar untuk digali.
Atas dasar itulah, kemudian pemerintah menggabungkan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dan Direktorat Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) menjadi satu kementerian.
Lantas, target apa yang ingin dicapai dengan penggabungan itu? Berikut petikan wawancara wartawan KORAN SINDO Neneng Zubaidah dengan Menristek Dikti Muh Nasir di kediamannya di Jalan Widya Chandra IV Nomor 21, Jakarta.
Sebenarnya apa filosofi penggabungan Kemenristek dan Ditjen Dikti?
Filosofi peleburannya didasarkan pada fakta bahwa segala sesuatu yang dilakukan dalam riset basisnya adalah teori. Teori di dalam ranah ini adalah adanya di perguruan tinggi. Jika di SMA itu basisnya persiapan maka perguruan tinggi adalah pengutamaan. Perguruan tinggi melakukan tiga aktivitas, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat yang disebut dengan Tridarma Pendidikan Tinggi. Pemerintah ingin membuktikan apakah teori yang ada ini bisa mendukung riset di lapangan. Kami ingin mencari solusi untuk meningkatkan keduanya. Kami gabungkan keduanya tanpa menghilangkan asalusulnya.
Bagaimana nanti struktur organisasi di kementerian?
Kemenristek akan dipimpin oleh seorang deputi, sedangkan Ditjen Dikti dipimpin seorang dirjen. Bedanya apa? Semisal dalam pemerintahan, kementerian koordinasi adalah kluster pertama, kementerian teknis adalah kluster kedua, dan kementerian negara adalahklusterketiga. Kamiakannaikkan status deputi menjadi dirjen. Karena kalau statusnya hanya deputi, dia hanya dapat bertindak sebagai regulator, sementara dirjen itu bisa menjadi regulator dan eksekutor.
Lalu, bagaimana perkembangan riset di Indonesia?
Tercatat tahun ini ada 106 hasil penelitian yang dikembangkan. Kalau dirunut dari 2008 hingga 2014, total ada 721 hasil penelitian. Tetapi yang menjadi pertanyaan, apakah semua hasil riset sudah diimplementasikan? Maka itu, saya ingin melihat permasalahannya mengapa sampai terjadi demikian. Ada problem hasil riset yang bagus belum diuji ke kajian ekonominya. Ada riset jika dilakukan secara ekonomi bagus, tapi tidak ekonomis. Ekonomis itu ukurannya hasil riset yang ada jika dilempar ke masyarakat, lalu dilakukan produksi maka akan memperoleh keuntungan dari riset tersebut. Sederhananya, jika riset itu memakan biaya Rp100 juta maka produk yang dijual harus seharga Rp150 jutaan sehingga riset mempunyai makna.
Dengan siapa mengomersialisasikan riset tersebut?
Memang banyak riset yang sudah direalisasikan di masyarakat. Seperti penelitian tuna pakan mandiri untuk budi daya ikan tuna. Riset semacam itu yang jika diterapkan ke masyarakat akan memberikan makna. Memang belum semua penelitian bisa direalisasikan sehingga kami akan kerja sama dengan para asosiasi. Saya sudah ketemu dengan asosiasi kelapa sawit untuk membicarakan pengembangan biodiesel yang dikembangkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Ini potensinya sangat besar karena biodiesel bisa menggantikan BBM. Dulu pengembangan biodiesel tidak berkembang karena BBM mendapat subsidi dari pemerintah sehingga harganya murah daripada biodiesel. Tetapi sekarang, BBM sudah tinggi dan mendekati harga pasar meski masih ada subsidi. Tetapi jika biodiesel diproduksi, harganya akan di bawah BBM. Ini keunggulannya sehingga riset biodiesel akan menjadi komersial lagi.
Apa akan ada insentif bagi peneliti yang mengembangkan riset?
Para peneliti kita itu PNS sebagai jabatan fungsional. Tentu mereka akan mendapat insentif jika meneliti. Memang jika tidak ada insentif, mereka tidak akan mau meneliti. Ke depan insentif ini akan kami tingkatkan. Memang masalahnya ada di anggaran negara. Namun ke depan kami akan bekerja sama dengan swasta. Lalu, kami akan benahi lembaga penelitian untuk menjadi badan layanan umum (BLU) sehingga pendapatan yang ada bisa menjadi remunerasi.
Banyak penelitian di jenjang SD hingga SMA, juga pemenang olimpiade. Adakah keinginan menjaring mereka?
Mereka peneliti dasar. Ke depan bisa dikembangkan menjadi penelitian terapan. Ini perlu dilakukan kerja sama sehingga perlu rangsangan. Problemnya kan mereka kadang sudah bekerja di bidang lain. Maka solusinya kita akan buat konsorsium. Selama ini peneliti kan ada di pemerintah dan swasta yang tidak pernah mengadakan kerja sama. Maka ke depan harus ada konsorsium peneliti pemerintah dan swasta karena akan berdampak luar biasa. Contohnya penelitian swasta dalam penerbangan. Penelitian pesawat terbang hampir menyamai Boeing. Kalau kita tidak joint, mereka mau memproduksi risetnya di luar negeri. Padahal, riset itu dilakukan oleh putra putri Indonesia.
Jumlah populasi mahasiswa kita banyak, cara menarik mereka menjadi peneliti?
Mahasiswa itu memang disuruh membuat skripsi. Mahasiswa bisa dibedakan antara yang ingin menjadi peneliti dan tidak. Ada orang yang inginnya hanya terapan, maka tidak bisa kita paksakan menjadi peneliti. Dosen pun terbagi menjadi dua. Ada educational learning dan educational research . Ini yang harus dievaluasi lagi. Saya sudah mencoba mengelompokkan dosen-dosen di perguruan tinggi, mana sih dosen yang senang di bidang riset dan insentif apa yang kita bisa berikan. Mana yang sukanya hanya mengajar dan apa yang bisa kami berikan. Tapi yang riset berbeda dengan yang mengajar. Periset akan mendapat insentif besar.
Bagaimana soal kampus mengejar world class university, apa masih perlu?
Beberapa waktu lalu kami bertemu dengan wakil menteri keuangan (wamenkeu) untuk membahas world class university ini. Masalahnya apa kok tidak bisa masuk di world class. Ternyata masalahnya ada di instrumen keuangannya, itu penyebab perguruan tinggi negeri tidak bisa masuk ke kelas dunia. Lalu problem riset. Jumlah riset di perguruan tinggi yang sampai ke publikasi sedikit. Orang tidak terdorong karena tidak ada insentif karena mekanisme keuangannya yang sulit.
Akhirnya pertemuan dengan Wamenkeu itu membuahkan hasil untuk memperbaiki anggaran keuangan kampus sehingga perguruan tinggi mampu bersaing. Saya menargetkan pada 2017 nanti paling tidak ada 5-10 perguruan tinggi negeri dan swasta harus masuk di 500 besar dunia. Sekarang kita hanya ada tiga kampus yang masuk, itu pun mepet di angka 500. Yang lain sudah terpental ke 600 dan 700. Memang berat tapi harus kita lakukan. Kemarin saya kumpulkan rektor dan mereka bilang sanggup. Kalau dia gagal maka bantuan akan saya tarik.
Bagaimana dengan maraknya plagiasi yang dilakukan akademisi?
Orang yang melakukan plagiasi bisa disebut curang dan harus ditindak tegas. Saya tidak mau menoleransi orang yang melanggar hukum. Serahkan ke kepolisian. Lalu sesuai dengan PP No 53, jika PNS oleh pengadilan dikenakan penjara lima tahun, maka status PNSnya akan dicabut.
Atas dasar itulah, kemudian pemerintah menggabungkan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dan Direktorat Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) menjadi satu kementerian.
Lantas, target apa yang ingin dicapai dengan penggabungan itu? Berikut petikan wawancara wartawan KORAN SINDO Neneng Zubaidah dengan Menristek Dikti Muh Nasir di kediamannya di Jalan Widya Chandra IV Nomor 21, Jakarta.
Sebenarnya apa filosofi penggabungan Kemenristek dan Ditjen Dikti?
Filosofi peleburannya didasarkan pada fakta bahwa segala sesuatu yang dilakukan dalam riset basisnya adalah teori. Teori di dalam ranah ini adalah adanya di perguruan tinggi. Jika di SMA itu basisnya persiapan maka perguruan tinggi adalah pengutamaan. Perguruan tinggi melakukan tiga aktivitas, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat yang disebut dengan Tridarma Pendidikan Tinggi. Pemerintah ingin membuktikan apakah teori yang ada ini bisa mendukung riset di lapangan. Kami ingin mencari solusi untuk meningkatkan keduanya. Kami gabungkan keduanya tanpa menghilangkan asalusulnya.
Bagaimana nanti struktur organisasi di kementerian?
Kemenristek akan dipimpin oleh seorang deputi, sedangkan Ditjen Dikti dipimpin seorang dirjen. Bedanya apa? Semisal dalam pemerintahan, kementerian koordinasi adalah kluster pertama, kementerian teknis adalah kluster kedua, dan kementerian negara adalahklusterketiga. Kamiakannaikkan status deputi menjadi dirjen. Karena kalau statusnya hanya deputi, dia hanya dapat bertindak sebagai regulator, sementara dirjen itu bisa menjadi regulator dan eksekutor.
Lalu, bagaimana perkembangan riset di Indonesia?
Tercatat tahun ini ada 106 hasil penelitian yang dikembangkan. Kalau dirunut dari 2008 hingga 2014, total ada 721 hasil penelitian. Tetapi yang menjadi pertanyaan, apakah semua hasil riset sudah diimplementasikan? Maka itu, saya ingin melihat permasalahannya mengapa sampai terjadi demikian. Ada problem hasil riset yang bagus belum diuji ke kajian ekonominya. Ada riset jika dilakukan secara ekonomi bagus, tapi tidak ekonomis. Ekonomis itu ukurannya hasil riset yang ada jika dilempar ke masyarakat, lalu dilakukan produksi maka akan memperoleh keuntungan dari riset tersebut. Sederhananya, jika riset itu memakan biaya Rp100 juta maka produk yang dijual harus seharga Rp150 jutaan sehingga riset mempunyai makna.
Dengan siapa mengomersialisasikan riset tersebut?
Memang banyak riset yang sudah direalisasikan di masyarakat. Seperti penelitian tuna pakan mandiri untuk budi daya ikan tuna. Riset semacam itu yang jika diterapkan ke masyarakat akan memberikan makna. Memang belum semua penelitian bisa direalisasikan sehingga kami akan kerja sama dengan para asosiasi. Saya sudah ketemu dengan asosiasi kelapa sawit untuk membicarakan pengembangan biodiesel yang dikembangkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Ini potensinya sangat besar karena biodiesel bisa menggantikan BBM. Dulu pengembangan biodiesel tidak berkembang karena BBM mendapat subsidi dari pemerintah sehingga harganya murah daripada biodiesel. Tetapi sekarang, BBM sudah tinggi dan mendekati harga pasar meski masih ada subsidi. Tetapi jika biodiesel diproduksi, harganya akan di bawah BBM. Ini keunggulannya sehingga riset biodiesel akan menjadi komersial lagi.
Apa akan ada insentif bagi peneliti yang mengembangkan riset?
Para peneliti kita itu PNS sebagai jabatan fungsional. Tentu mereka akan mendapat insentif jika meneliti. Memang jika tidak ada insentif, mereka tidak akan mau meneliti. Ke depan insentif ini akan kami tingkatkan. Memang masalahnya ada di anggaran negara. Namun ke depan kami akan bekerja sama dengan swasta. Lalu, kami akan benahi lembaga penelitian untuk menjadi badan layanan umum (BLU) sehingga pendapatan yang ada bisa menjadi remunerasi.
Banyak penelitian di jenjang SD hingga SMA, juga pemenang olimpiade. Adakah keinginan menjaring mereka?
Mereka peneliti dasar. Ke depan bisa dikembangkan menjadi penelitian terapan. Ini perlu dilakukan kerja sama sehingga perlu rangsangan. Problemnya kan mereka kadang sudah bekerja di bidang lain. Maka solusinya kita akan buat konsorsium. Selama ini peneliti kan ada di pemerintah dan swasta yang tidak pernah mengadakan kerja sama. Maka ke depan harus ada konsorsium peneliti pemerintah dan swasta karena akan berdampak luar biasa. Contohnya penelitian swasta dalam penerbangan. Penelitian pesawat terbang hampir menyamai Boeing. Kalau kita tidak joint, mereka mau memproduksi risetnya di luar negeri. Padahal, riset itu dilakukan oleh putra putri Indonesia.
Jumlah populasi mahasiswa kita banyak, cara menarik mereka menjadi peneliti?
Mahasiswa itu memang disuruh membuat skripsi. Mahasiswa bisa dibedakan antara yang ingin menjadi peneliti dan tidak. Ada orang yang inginnya hanya terapan, maka tidak bisa kita paksakan menjadi peneliti. Dosen pun terbagi menjadi dua. Ada educational learning dan educational research . Ini yang harus dievaluasi lagi. Saya sudah mencoba mengelompokkan dosen-dosen di perguruan tinggi, mana sih dosen yang senang di bidang riset dan insentif apa yang kita bisa berikan. Mana yang sukanya hanya mengajar dan apa yang bisa kami berikan. Tapi yang riset berbeda dengan yang mengajar. Periset akan mendapat insentif besar.
Bagaimana soal kampus mengejar world class university, apa masih perlu?
Beberapa waktu lalu kami bertemu dengan wakil menteri keuangan (wamenkeu) untuk membahas world class university ini. Masalahnya apa kok tidak bisa masuk di world class. Ternyata masalahnya ada di instrumen keuangannya, itu penyebab perguruan tinggi negeri tidak bisa masuk ke kelas dunia. Lalu problem riset. Jumlah riset di perguruan tinggi yang sampai ke publikasi sedikit. Orang tidak terdorong karena tidak ada insentif karena mekanisme keuangannya yang sulit.
Akhirnya pertemuan dengan Wamenkeu itu membuahkan hasil untuk memperbaiki anggaran keuangan kampus sehingga perguruan tinggi mampu bersaing. Saya menargetkan pada 2017 nanti paling tidak ada 5-10 perguruan tinggi negeri dan swasta harus masuk di 500 besar dunia. Sekarang kita hanya ada tiga kampus yang masuk, itu pun mepet di angka 500. Yang lain sudah terpental ke 600 dan 700. Memang berat tapi harus kita lakukan. Kemarin saya kumpulkan rektor dan mereka bilang sanggup. Kalau dia gagal maka bantuan akan saya tarik.
Bagaimana dengan maraknya plagiasi yang dilakukan akademisi?
Orang yang melakukan plagiasi bisa disebut curang dan harus ditindak tegas. Saya tidak mau menoleransi orang yang melanggar hukum. Serahkan ke kepolisian. Lalu sesuai dengan PP No 53, jika PNS oleh pengadilan dikenakan penjara lima tahun, maka status PNSnya akan dicabut.
(ars)