Jaksa Agung Sebut Atasi Kasus HAM Perlu Sinergi Lembaga Lain
A
A
A
JEPARA - Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, penanganan dan penuntasan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), membutuhkan sinergi dari berbagai elemen.
Oleh karena itu, Prasetyo mengungkapkan, tidak bisa kasus HAM tersebut hanya dibebankan di pundak jajaran Kejaksaan saja.
Hal ini disampaikan Jaksa Agung di sela-sela kegiatan penanaman pohon di Kompleks Rumah Dinas Wakil Bupati Jepara, Subroto, Minggu (23/11/2014).
Menurut Prasetyo, ada banyak hal yang harus dianalisis dalam penanganan kasus HAM. Sebab diagnosis satu kasus dengan kasus lain berbeda. Bahkan ada juga kasus pelanggaran HAM yang penanganannya butuh keputusan politik dari DPR.
“Jadi tidak bisa ini dikerjakan oleh Kejaksaan saja. Ibarat menangani penyakit, kalau diagnosanya tepat maka obatnya mujarab,” kata Prasetyo, di Jepara, Jawa Tengah.
Seperti diketahui, hingga kini masih ada tumpukan kasus pelanggaran HAM yang masih terkatung-katung penyelesaiannya. Seperti kasus peristiwa 65, Talangsari, Tanjung Priok, Petrus, Trisakti, Marsinah, Udin, Kerusuhan Mei 98, serta Semanggi I dan II.
Wacana tentang penyelesaian kasus pelanggaran HAM ini sudah bergulir sejak lama, namun hingga kini belum ada realisasinya. Prasetyo menambahkan penanganan kasus HAM juga membutuhkan wadah peradilan khusus, yakni Pengadilan HAM Ad Hoc.
Menurutnya, aparat penegak hukum bisa melakukan penggeledahan, penahanan, hingga memperpanjang masa penahanan pihak yang diduga kuat terlibat jika sudah ada izin dari Pengadilan HAM Ad Hoc.
“Peradilan umum tidak akan mau menangani kasus seperti ini,” tandasnya.
Oleh karena itu, Prasetyo mengungkapkan, tidak bisa kasus HAM tersebut hanya dibebankan di pundak jajaran Kejaksaan saja.
Hal ini disampaikan Jaksa Agung di sela-sela kegiatan penanaman pohon di Kompleks Rumah Dinas Wakil Bupati Jepara, Subroto, Minggu (23/11/2014).
Menurut Prasetyo, ada banyak hal yang harus dianalisis dalam penanganan kasus HAM. Sebab diagnosis satu kasus dengan kasus lain berbeda. Bahkan ada juga kasus pelanggaran HAM yang penanganannya butuh keputusan politik dari DPR.
“Jadi tidak bisa ini dikerjakan oleh Kejaksaan saja. Ibarat menangani penyakit, kalau diagnosanya tepat maka obatnya mujarab,” kata Prasetyo, di Jepara, Jawa Tengah.
Seperti diketahui, hingga kini masih ada tumpukan kasus pelanggaran HAM yang masih terkatung-katung penyelesaiannya. Seperti kasus peristiwa 65, Talangsari, Tanjung Priok, Petrus, Trisakti, Marsinah, Udin, Kerusuhan Mei 98, serta Semanggi I dan II.
Wacana tentang penyelesaian kasus pelanggaran HAM ini sudah bergulir sejak lama, namun hingga kini belum ada realisasinya. Prasetyo menambahkan penanganan kasus HAM juga membutuhkan wadah peradilan khusus, yakni Pengadilan HAM Ad Hoc.
Menurutnya, aparat penegak hukum bisa melakukan penggeledahan, penahanan, hingga memperpanjang masa penahanan pihak yang diduga kuat terlibat jika sudah ada izin dari Pengadilan HAM Ad Hoc.
“Peradilan umum tidak akan mau menangani kasus seperti ini,” tandasnya.
(maf)