Mental Birokrat Masih Feodal
A
A
A
JAKARTA - Revolusi mental yang digagas pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) tidak akan berhasil apabila tidak dukung dengan reformasi birokrasi di bawahnya.
Citra birokrasi yang selama ini selalu ingin dilayani harus diubah menjadi melayani dengan mengutamakan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuannya. ”Mental birokrasi masih mental feodal, di mana menjadi seorang birokrat lebih istimewa ketimbang masyarakatnya. Makanya dia bukannya melayani, dia justru dilayani. Makanya pelayanan itu tidak pernah terjadi,” ujar Wakil Ketua Komisi X DPR Sohibul Iman saat menjadi pembicara diskusi Sindo Trijaya ”Revolusi Mental Pelayanan Publik” di Jakarta kemarin.
Lebih lanjut, dia mengungkapkan bahwa saat ini masih banyak hal yang harus diperbaiki apabila ingin reformasi birokrasi berbasis revolusi mental sukses. Salah satu yang perlu diubah yakni etos di birokrasi yang selama ini selalu nyaman dengan posisinya, diubah untuk diposisikan selalu siap sewaktu-waktu bisa diberhentikan.
”Tidak bisa dipecat justru memberi insentif kepada birokrat untuk malas.Jadi, ini yang harus diperbaiki,” kata Sohibul. Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana juga menilai reformasi birokrasi tidak hanya bisa dilakukan dengan pendekatan persuasi. Harus ada upaya paksa agar berhasil.
” Kita sudah capek dengan persuasi, sosialisasi, tidak bisa sudah kuno pendekatan itu. Saat ini pendekatannya paksa,” ucap Danang. Menurut dia, yang dimaksud pendekatan paksa adalah birokrat yang tidak mau berubah harus secepatnya diganti, dipindahkan, dan dicari orang yang memang tepat untuk mengikuti perubahan.
”Kalau dia sudah diingatkan, tidak mau berubah, langsung ganti, tidak usah tunggu sampai peringatan ketiga,” tegasnya. Danang melanjutkan, kewenangan memaksa sudah diatur dalam undang-undang. Namun, banyak yang belum sadar dengan mekanisme tersebut.
”UU 25/2009 yang sudah dilahirkan sejak 2009 implementasinya di pusat dan daerah masih di bawah 20%. Artinya kepatuhan penyelenggara pelayanan publik kepada UU yang diamanatkan untuk memperbaiki pelayanan publik itu sepertiga hati,” katanya.
Untuk itu, mulai saat ini Ombudsman mengambil alih ranah tersebut dengan cara memaksa, melakukan uji petik pada instansi pelayanan publik, dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah. Danang mengungkapkan, Ombudsman sudah memberikan peringatan soal implementasi sanksi berupa penghentian jabatan.
”Kami sudah berikan peringatan bahwa implementasi sanksi sesuai UU 25 itu yang berupa penghentian dari jabatan, akan kita implementasikan tahun 2015,” tandasnya. Sementara itu, Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemendikbud Ibnu Hamad menjelaskan tujuan utama dari revolusi mental jika dikaitkan dengan pelayanan birokrasi publik adalah pemerintahan yang terbuka. ”Kalau bicara revolusi mental, kita harus kaitkan dengan pelayanan publik di birokrasi yang disebut open goverment, yaitu pemerintahan terbuka,” ucapnya.
Dian ramdhani
Citra birokrasi yang selama ini selalu ingin dilayani harus diubah menjadi melayani dengan mengutamakan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuannya. ”Mental birokrasi masih mental feodal, di mana menjadi seorang birokrat lebih istimewa ketimbang masyarakatnya. Makanya dia bukannya melayani, dia justru dilayani. Makanya pelayanan itu tidak pernah terjadi,” ujar Wakil Ketua Komisi X DPR Sohibul Iman saat menjadi pembicara diskusi Sindo Trijaya ”Revolusi Mental Pelayanan Publik” di Jakarta kemarin.
Lebih lanjut, dia mengungkapkan bahwa saat ini masih banyak hal yang harus diperbaiki apabila ingin reformasi birokrasi berbasis revolusi mental sukses. Salah satu yang perlu diubah yakni etos di birokrasi yang selama ini selalu nyaman dengan posisinya, diubah untuk diposisikan selalu siap sewaktu-waktu bisa diberhentikan.
”Tidak bisa dipecat justru memberi insentif kepada birokrat untuk malas.Jadi, ini yang harus diperbaiki,” kata Sohibul. Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana juga menilai reformasi birokrasi tidak hanya bisa dilakukan dengan pendekatan persuasi. Harus ada upaya paksa agar berhasil.
” Kita sudah capek dengan persuasi, sosialisasi, tidak bisa sudah kuno pendekatan itu. Saat ini pendekatannya paksa,” ucap Danang. Menurut dia, yang dimaksud pendekatan paksa adalah birokrat yang tidak mau berubah harus secepatnya diganti, dipindahkan, dan dicari orang yang memang tepat untuk mengikuti perubahan.
”Kalau dia sudah diingatkan, tidak mau berubah, langsung ganti, tidak usah tunggu sampai peringatan ketiga,” tegasnya. Danang melanjutkan, kewenangan memaksa sudah diatur dalam undang-undang. Namun, banyak yang belum sadar dengan mekanisme tersebut.
”UU 25/2009 yang sudah dilahirkan sejak 2009 implementasinya di pusat dan daerah masih di bawah 20%. Artinya kepatuhan penyelenggara pelayanan publik kepada UU yang diamanatkan untuk memperbaiki pelayanan publik itu sepertiga hati,” katanya.
Untuk itu, mulai saat ini Ombudsman mengambil alih ranah tersebut dengan cara memaksa, melakukan uji petik pada instansi pelayanan publik, dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah. Danang mengungkapkan, Ombudsman sudah memberikan peringatan soal implementasi sanksi berupa penghentian jabatan.
”Kami sudah berikan peringatan bahwa implementasi sanksi sesuai UU 25 itu yang berupa penghentian dari jabatan, akan kita implementasikan tahun 2015,” tandasnya. Sementara itu, Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemendikbud Ibnu Hamad menjelaskan tujuan utama dari revolusi mental jika dikaitkan dengan pelayanan birokrasi publik adalah pemerintahan yang terbuka. ”Kalau bicara revolusi mental, kita harus kaitkan dengan pelayanan publik di birokrasi yang disebut open goverment, yaitu pemerintahan terbuka,” ucapnya.
Dian ramdhani
(bbg)