Kontroversi Politis Jaksa Agung Prasetyo
A
A
A
Sejak tahun 1945 Indonesia sudah mempunyai Jaksa Agung. Gatot Taroenamihardja merupakan Jaksa Agung pertama yang menjabat dari tahun 1945 kemudian dilanjutkan oleh Kasman Singodimedjo sampai tahun 1946.
Pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, Jaksa Agung dijabat oleh MA Rahman periode 2001-2004. Selama berkarier di Kejaksaan, Rahman pernah menjabat sebagai Jampidum.
Namun, semasa Kejagung dipimpin Marzuki Darusman, Rahman terlempar dan ditempatkan sebagai Staf Ahli Jaksa Agung. Jabatan Jampidum kembali digenggamnya ketika Kejagung dipimpin Baharuddin Lopa.
Rahman kemudian digantikan oleh Abdul Rahman Saleh pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Rahman pernah menjabat sebagai Ketua Muda Mahkamah Agung tahun 1999-2004. Setelah pensiun, dia sempat masuk bursan calon pemimpin KPK. Walaupun pada akhirnya tidak terpilih.
Masih dalam era SBY, sejak 9 Mei tahun 2007-24 September 2010 Jaksa Agung dijabat oleh Hendarman Supandji. Dia pernah menjabat menjadi Jampidsus. Setelah pensiun, Hendarman kemudian dipercaya mengisi posisi Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Posisinya lalu digantikan oleh Darmono sebagai pelaksana tugas dari 24 September hingga 26 November 2010 dan dilanjutkan oleh Basrief Arief sampai 20 Oktober 2014.
Sebelumnya, Basrief pensiun pada tahun 2005 dengan jabatan terakhir Wakil Jaksa Agung. Dia kemudian diangkat menjadi Jaksa Agung oleh Presiden SBY pada tahun 2010.
Suksesor jabatan Jaksa Agung berikutnya ternyata dari kalangan politikus. HM Prasetyo, politikus Partai Nasional Demokrat (Nasdem) ini ditunjuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memimpin Korps Adhyaksa.
Penunjukan ini sontak menuai kontroversi. Pasalnya, Prasetyo merupakan politikus, meski sebelumnya dia pernah berkarier di Kejaksaan Agung dengan karier terakhir sebagai Jaksa Agung Muda bidang Pidana Umum (Jampidum). Prasetyo pensiun dari Kejaksaan Agung pada 2006 silam, dan bergabung dengan Partai Nasdem.
Penunjukan Jaksa Agung yang berlatar belakang politikus oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat sejumlah pihak kecewa. Kehadiran kader Partai NasDem ini di korps Adhyaksa dikhawatirkan mengganggu independensi dan objektivitasnya.
Berbagai penolakan dan nada kecewa pun datang dari DPR, pemerhati hukum, LSM antikorupsi dengan keras menentang pilihan Jokowi tersebut. Penolakan ini bukan tanpa alasan. Selain berasal dari partai politik, Prasetyo dianggap pernah tersangkut kasus hukum dan dianggap tak memiliki prestasi yang memikat saat berkarier di Kejaksaan Agung.
"Memang cukup mengecewakan. Kalangan kejaksaan juga kecewa yang saya tahu. Kalangan aktivis juga kecewa," kata Pakar Hukum Pidana Chairul Huda kepada Sindonews, Sabtu (22/11/2014).
Pukat FH UGM Yogyakarta merasa heran karena janji Jakowi saat kampanye akan memilih Jaksa Agung bukan dari parpol. Bahkan, Zaenal mengaku bingung dengan cara berpikir Jokowi dalam menentukan pilihan pada setiap pos-pos jabatan tertentu.
"Saya bingung dengan Jokowi, kenapa memilih Prasetyo sebagai Jaksa Agung. Pada Zaman Pak Harto enggak ada Jaksa Agung orang politik, begitu juga saat Presiden SBY enggak ada," tegas Direktur Pukat FH UGM Zaenal Arifin Muchtar.
Bahkan, Indonesia Corruption Watch (ICW) yang tergabung dengan Koalisi Masyarakat Sipil menyampaikan turut berduka cita atas terpilihnya HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung.
ICW menilai Jokowi telah membuat kesalahan besar dengan memilih politikus Nasdem itu. Yang oleh banyak pihak diragukan soal keberanian, kebersihannya.
Pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, Jaksa Agung dijabat oleh MA Rahman periode 2001-2004. Selama berkarier di Kejaksaan, Rahman pernah menjabat sebagai Jampidum.
Namun, semasa Kejagung dipimpin Marzuki Darusman, Rahman terlempar dan ditempatkan sebagai Staf Ahli Jaksa Agung. Jabatan Jampidum kembali digenggamnya ketika Kejagung dipimpin Baharuddin Lopa.
Rahman kemudian digantikan oleh Abdul Rahman Saleh pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Rahman pernah menjabat sebagai Ketua Muda Mahkamah Agung tahun 1999-2004. Setelah pensiun, dia sempat masuk bursan calon pemimpin KPK. Walaupun pada akhirnya tidak terpilih.
Masih dalam era SBY, sejak 9 Mei tahun 2007-24 September 2010 Jaksa Agung dijabat oleh Hendarman Supandji. Dia pernah menjabat menjadi Jampidsus. Setelah pensiun, Hendarman kemudian dipercaya mengisi posisi Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Posisinya lalu digantikan oleh Darmono sebagai pelaksana tugas dari 24 September hingga 26 November 2010 dan dilanjutkan oleh Basrief Arief sampai 20 Oktober 2014.
Sebelumnya, Basrief pensiun pada tahun 2005 dengan jabatan terakhir Wakil Jaksa Agung. Dia kemudian diangkat menjadi Jaksa Agung oleh Presiden SBY pada tahun 2010.
Suksesor jabatan Jaksa Agung berikutnya ternyata dari kalangan politikus. HM Prasetyo, politikus Partai Nasional Demokrat (Nasdem) ini ditunjuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memimpin Korps Adhyaksa.
Penunjukan ini sontak menuai kontroversi. Pasalnya, Prasetyo merupakan politikus, meski sebelumnya dia pernah berkarier di Kejaksaan Agung dengan karier terakhir sebagai Jaksa Agung Muda bidang Pidana Umum (Jampidum). Prasetyo pensiun dari Kejaksaan Agung pada 2006 silam, dan bergabung dengan Partai Nasdem.
Penunjukan Jaksa Agung yang berlatar belakang politikus oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat sejumlah pihak kecewa. Kehadiran kader Partai NasDem ini di korps Adhyaksa dikhawatirkan mengganggu independensi dan objektivitasnya.
Berbagai penolakan dan nada kecewa pun datang dari DPR, pemerhati hukum, LSM antikorupsi dengan keras menentang pilihan Jokowi tersebut. Penolakan ini bukan tanpa alasan. Selain berasal dari partai politik, Prasetyo dianggap pernah tersangkut kasus hukum dan dianggap tak memiliki prestasi yang memikat saat berkarier di Kejaksaan Agung.
"Memang cukup mengecewakan. Kalangan kejaksaan juga kecewa yang saya tahu. Kalangan aktivis juga kecewa," kata Pakar Hukum Pidana Chairul Huda kepada Sindonews, Sabtu (22/11/2014).
Pukat FH UGM Yogyakarta merasa heran karena janji Jakowi saat kampanye akan memilih Jaksa Agung bukan dari parpol. Bahkan, Zaenal mengaku bingung dengan cara berpikir Jokowi dalam menentukan pilihan pada setiap pos-pos jabatan tertentu.
"Saya bingung dengan Jokowi, kenapa memilih Prasetyo sebagai Jaksa Agung. Pada Zaman Pak Harto enggak ada Jaksa Agung orang politik, begitu juga saat Presiden SBY enggak ada," tegas Direktur Pukat FH UGM Zaenal Arifin Muchtar.
Bahkan, Indonesia Corruption Watch (ICW) yang tergabung dengan Koalisi Masyarakat Sipil menyampaikan turut berduka cita atas terpilihnya HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung.
ICW menilai Jokowi telah membuat kesalahan besar dengan memilih politikus Nasdem itu. Yang oleh banyak pihak diragukan soal keberanian, kebersihannya.
(kri)