Dirut PT Karsa Wirautama Kusmihardi Mangkir
A
A
A
JAKARTA - Direktur Utama (Dirut) PT Karsa Wirautama Kusmihardi Winata Cahyadi mangkir dari panggilan pemeriksaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemarin.
Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha mengatakan, kemarin penyidik menjadwalkan pemeriksaan empat saksi untuk kasus dugaan korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Dukcapil Kemendagri) tahun anggaran 2011-2012.
Mereka adalah Dirut PT Karatama Winata Cahyadi, Chief PT Astra Graphia IT/Biz Consultant Division Mayus Bangun, Arief Mulja Sapari (swasta), dan Kusmihardi (swasta). Keempatnya dijadwalkan diperiksa sebagai saksi bagi tersangka pejabat pembuat komitmen (PPK) pengadaan e-KTP yang juga Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan pada Ditjen Dukcapil Sugiharto.
Sayangnya, yang hadir dan sudah diperiksa hanya Kusmihardi dan Arief Mulja. “Winata Cahyadi dan Mayus Bangun saksi kasus e-KTP tidak hadir. Belum ada informasi ke humas (soal alasannya),” kata Priharsa saat dihubungi KORAN SINDO kemarin. Dia mengatakan akan memastikan dulu ke penyidik apa alasan Winata dan Mayus tidak hadir.
Menurut dia, kalau ada surat pemberitahuan, pemeriksaan keduanya akan dijadwalkan ulang. Tapi, kalau tanpa itu, KPK akan melayangkan surat panggilan kedua. Disinggung soal hubungan atau keterkaitan PT Karsa Wira Utama yang masyhur disebut PT Karatama dengan pengadaan e-KTP, Priharsa mengatakan tidak menerima informasi itu.
Berdasarkan penelusuran KORAN SINDO , dari laman PT Karsa Wira Utama (Karatama), http://www.karatama.com , diketahui perusahaan ini bergerak di bidang percetakan hologram dan dokumen sekuriti. Produk perusahaan ini antara lain sertifikat, paspor, e-KTP, kartu keluarga, akta kelahiran, kartu pembayaran elektronik dengan hologram sekuriti, dan dokumen sekuriti.
Perusahaan itu berdiri dan beroperasi sejak 1985. PT Karatama resmi didirikan oleh beberapa pimpinan Perum Percetakan Uang RI (Peruri) sebagai perusahaan percetakan dokumen sekuriti milik Yayasan Pensiun dan Jaminan Hari Tua Pegawai Perum Peruri (Yapetri). Pada 2001, investor berperan dan memberi dukungan terhadap Yapetri dalam pengembangan perusahaan.
Tender pengadaan e-KTP dimenangi konsorsium Perum Percetakan Negara RI (PNRI) yang terdiri atas Perum PNRI, PT Quadra Solution, PT Len Industri, PT Sucofindo, dan PT Sandipala Arthaput. Dalam kasus ini, Sugiharto sebagai PPK dianggap bertanggung jawab dalam kontrak dengan perusahaan rekanan atas proyek pengadaan.
Diduga ada pemenang tender tidak sesuai dengan aturan perundang- undangan atau penunjukan langsung dan harga perkiraan sementara maupun rancangan anggaran belanja disusun rekanan, bukan panitia/ PPK. Perusahaan konsorsium yang memenangi tender juga menunjuk perusahaan subkontraktor dalam pengadaannya.
Sugiharo disangkakan dengan Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) jo Pasal 64 KUHP. Selaku PPK, Sugiharto dianggap menyalahgunakan kewenangannya secara melawan hukum dalam proyek tersebut. Tujuannya untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Akibatnya, dari proyek bernilai total Rp6 triliun ini terjadi kerugian negara. KPK sudah menghitung kerugian negara. Hasilnya dari pengadaan 2011 (lebih dari Rp2 triliun) dan 2012 (lebih dari Rp3 triliun) negara mengalami kerugian sekitar Rp1,12 triliun. Kerugian negara itu terjadi karena ada beberapa dugaan mark-up atau penggelembungan harga satuan dalam konteks pengadaan e-KTP.
Sebelumnya, penyidik sudah memeriksa Manajer Pemasaran Perum PNRI Tuti Nurbaiti, Direktur Keuangan Umum dan SDM Perum PNRI Deddy Soepriadhi, Direktur Produksi Perum PNRI Yuniarto, Kadis Pemasaran Perum PNRI Agus Eko Priadi, Direktur Keuangan Umum dan SDM Perum Peruri Satrijo Sigit Wirjawan.
Sabir laluhu
Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha mengatakan, kemarin penyidik menjadwalkan pemeriksaan empat saksi untuk kasus dugaan korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Dukcapil Kemendagri) tahun anggaran 2011-2012.
Mereka adalah Dirut PT Karatama Winata Cahyadi, Chief PT Astra Graphia IT/Biz Consultant Division Mayus Bangun, Arief Mulja Sapari (swasta), dan Kusmihardi (swasta). Keempatnya dijadwalkan diperiksa sebagai saksi bagi tersangka pejabat pembuat komitmen (PPK) pengadaan e-KTP yang juga Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan pada Ditjen Dukcapil Sugiharto.
Sayangnya, yang hadir dan sudah diperiksa hanya Kusmihardi dan Arief Mulja. “Winata Cahyadi dan Mayus Bangun saksi kasus e-KTP tidak hadir. Belum ada informasi ke humas (soal alasannya),” kata Priharsa saat dihubungi KORAN SINDO kemarin. Dia mengatakan akan memastikan dulu ke penyidik apa alasan Winata dan Mayus tidak hadir.
Menurut dia, kalau ada surat pemberitahuan, pemeriksaan keduanya akan dijadwalkan ulang. Tapi, kalau tanpa itu, KPK akan melayangkan surat panggilan kedua. Disinggung soal hubungan atau keterkaitan PT Karsa Wira Utama yang masyhur disebut PT Karatama dengan pengadaan e-KTP, Priharsa mengatakan tidak menerima informasi itu.
Berdasarkan penelusuran KORAN SINDO , dari laman PT Karsa Wira Utama (Karatama), http://www.karatama.com , diketahui perusahaan ini bergerak di bidang percetakan hologram dan dokumen sekuriti. Produk perusahaan ini antara lain sertifikat, paspor, e-KTP, kartu keluarga, akta kelahiran, kartu pembayaran elektronik dengan hologram sekuriti, dan dokumen sekuriti.
Perusahaan itu berdiri dan beroperasi sejak 1985. PT Karatama resmi didirikan oleh beberapa pimpinan Perum Percetakan Uang RI (Peruri) sebagai perusahaan percetakan dokumen sekuriti milik Yayasan Pensiun dan Jaminan Hari Tua Pegawai Perum Peruri (Yapetri). Pada 2001, investor berperan dan memberi dukungan terhadap Yapetri dalam pengembangan perusahaan.
Tender pengadaan e-KTP dimenangi konsorsium Perum Percetakan Negara RI (PNRI) yang terdiri atas Perum PNRI, PT Quadra Solution, PT Len Industri, PT Sucofindo, dan PT Sandipala Arthaput. Dalam kasus ini, Sugiharto sebagai PPK dianggap bertanggung jawab dalam kontrak dengan perusahaan rekanan atas proyek pengadaan.
Diduga ada pemenang tender tidak sesuai dengan aturan perundang- undangan atau penunjukan langsung dan harga perkiraan sementara maupun rancangan anggaran belanja disusun rekanan, bukan panitia/ PPK. Perusahaan konsorsium yang memenangi tender juga menunjuk perusahaan subkontraktor dalam pengadaannya.
Sugiharo disangkakan dengan Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) jo Pasal 64 KUHP. Selaku PPK, Sugiharto dianggap menyalahgunakan kewenangannya secara melawan hukum dalam proyek tersebut. Tujuannya untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Akibatnya, dari proyek bernilai total Rp6 triliun ini terjadi kerugian negara. KPK sudah menghitung kerugian negara. Hasilnya dari pengadaan 2011 (lebih dari Rp2 triliun) dan 2012 (lebih dari Rp3 triliun) negara mengalami kerugian sekitar Rp1,12 triliun. Kerugian negara itu terjadi karena ada beberapa dugaan mark-up atau penggelembungan harga satuan dalam konteks pengadaan e-KTP.
Sebelumnya, penyidik sudah memeriksa Manajer Pemasaran Perum PNRI Tuti Nurbaiti, Direktur Keuangan Umum dan SDM Perum PNRI Deddy Soepriadhi, Direktur Produksi Perum PNRI Yuniarto, Kadis Pemasaran Perum PNRI Agus Eko Priadi, Direktur Keuangan Umum dan SDM Perum Peruri Satrijo Sigit Wirjawan.
Sabir laluhu
(bbg)