UN Tak Lagi Jadi Syarat Kelulusan
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah tahun depan tetap akan menggelar ujian nasional (UN). Hanya, ujian tersebut tidak lagi menjadi syarat kelulusan bagi siswa. Pemerintah menjadikan ujian sebagai pemetaan pendidikan semata.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan mengatakan, sudah banyak siswa yang mengeluhkan UN yang dijadikan alat penentu kelulusan.
Tekanan mendapat nilai tinggi supaya lulus ini yang menyebabkan proses belajar mengajar menyeramkan. Proses belajar pun hanya dibatasi agar bagaimana siswa dapat menjawab pertanyaan yang diujikan. “UN untuk alat ukur pemerataan pendidikan harus digunakan. Undang-undangnya juga menggarisbawahi bahwa yang krusial adalah pemerataan. Maka UN (tahun depan) harus menjawab kepentingan siswa saja,” katanya di Gedung Kemendikbud kemarin.
Anies menjelaskan, pendidikan itu seharusnya menjadi sesuatu yang menyenangkan dan bukan penderitaan. Karena itu, pihaknya akan melakukan evaluasi atas pelaksanaan UN tersebut. Anies mengaku sudah membentuk tim yang berisi para pakar yang kompeten di bidang pendidikan. Tim ini akan bekerja mulai kemarin agar penguatan UN sebagai alat uji atau alat ukur pemetaan dapat tercapai. Jika alat uji ini benar, anakanak didik bisa belajar dengan metode apa pun.
Menurut Anies, tim pada mulanya akan mengevaluasi soal pertanyaan UN. Pihaknya menilai selama 10 tahun keberadaan UN fungsinya sebagai alat uji belum tercapai optimal. Rektor Universitas Paramadina nonaktif ini menekankan kepada tim untuk segera bergerak cepat karena April UN sudah mulai berjalan. Anies mengatakan, tim sudah mengerti jika evaluasi akan diarahkan pada penajaman fungsi pemetaan.
Bagaimanapun, kata Anies, UN merupakan amanah dari undang-undang yang harus dijalankan. Seperti diketahui, UN adalah sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah yang dilakukan secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antardaerah yang dilakukan Kemendikbud. Kebijakan ini memiliki dasar hukum yakni UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
“Bagaimana bisa memetakan kualitas pendidikan kita kalau di mana-mana yang lulus 100%,” sebut Anies. Proses pemantauan evaluasi tersebut dilakukan secara terus- menerus dan berkesinambungan yang pada akhirnya diharapkan dapat membenahi mutu pendidikan. Namun, implementasi UN selama ini harus diselaraskan dengan semangat pendidikan sebagai sesuatu yang menyenangkan, bukan sebuah beban pembawa penderitaan bagi anak didik.
“Pendidikan itu harus menyenangkan. Alangkah bahayanya jika sebuah proses pendidikan membawa penderitaan bagi anak, UN juga harus menyenangkan,” ucapnya. Koordinator Divisi Monitoring Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri dengan tegas menyatakan, kebijakan UN tidak sesuai dengan nilai-nilai keadilan.
Setiap tahun permasalahan kecurangan dalam UN selalu terjadi karena sekolah-sekolah di Indonesia tidak memiliki standar yang sama, namun harus menggunakan materi ujian yang sama. Dampaknya, banyak sekolah dan daerah mencari berbagai cara agar peserta didiknya dapat lulus ujian di atas standar nasional yang telah ditentukan dan dapat melanjutkan ke sekolah dengan mutu yang baik. Febri menambahkan, UN bagi sebagian sekolah memiliki tingkat kesulitan jauh lebih tinggi dari kemampuan mereka.
Di lain pihak, sekolah dan murid harus lulus UN. Jika tidak lulus, nama daerah, nama sekolah, dan murid akan rusak di mata masyarakat. Publik juga akan mempertanyakan anggaran pendidikan jika ini yang memicu kecurangan massal, terstruktur, dan sistemik. “Adanya kunci jawaban yang dibuat rapi untuk seluruh tipe soal menandakan kecurangan UN ini sudah sedemikian sistemik,” ungkapnya.
Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina Mohammad Abduhzen juga berpendapat yang sama bahwa UN harus dihapus total. Dia menyatakan UN kurang bermanfaat jika digunakan sebagai alat pemetaan. Jika pemetaan pendidikan disandarkan kepada UN, mutu pendidikan tidak akan berubah secara revolusioner.
Dia menyarankan UN harus dihapus, sedangkan untuk penilaian siswa diserahkan ke guru atau sekolah. Menurut dia, penilaian internal sekolah ini yang tercantum di UU Sisdiknas.
Neneng zubaidah
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan mengatakan, sudah banyak siswa yang mengeluhkan UN yang dijadikan alat penentu kelulusan.
Tekanan mendapat nilai tinggi supaya lulus ini yang menyebabkan proses belajar mengajar menyeramkan. Proses belajar pun hanya dibatasi agar bagaimana siswa dapat menjawab pertanyaan yang diujikan. “UN untuk alat ukur pemerataan pendidikan harus digunakan. Undang-undangnya juga menggarisbawahi bahwa yang krusial adalah pemerataan. Maka UN (tahun depan) harus menjawab kepentingan siswa saja,” katanya di Gedung Kemendikbud kemarin.
Anies menjelaskan, pendidikan itu seharusnya menjadi sesuatu yang menyenangkan dan bukan penderitaan. Karena itu, pihaknya akan melakukan evaluasi atas pelaksanaan UN tersebut. Anies mengaku sudah membentuk tim yang berisi para pakar yang kompeten di bidang pendidikan. Tim ini akan bekerja mulai kemarin agar penguatan UN sebagai alat uji atau alat ukur pemetaan dapat tercapai. Jika alat uji ini benar, anakanak didik bisa belajar dengan metode apa pun.
Menurut Anies, tim pada mulanya akan mengevaluasi soal pertanyaan UN. Pihaknya menilai selama 10 tahun keberadaan UN fungsinya sebagai alat uji belum tercapai optimal. Rektor Universitas Paramadina nonaktif ini menekankan kepada tim untuk segera bergerak cepat karena April UN sudah mulai berjalan. Anies mengatakan, tim sudah mengerti jika evaluasi akan diarahkan pada penajaman fungsi pemetaan.
Bagaimanapun, kata Anies, UN merupakan amanah dari undang-undang yang harus dijalankan. Seperti diketahui, UN adalah sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah yang dilakukan secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antardaerah yang dilakukan Kemendikbud. Kebijakan ini memiliki dasar hukum yakni UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
“Bagaimana bisa memetakan kualitas pendidikan kita kalau di mana-mana yang lulus 100%,” sebut Anies. Proses pemantauan evaluasi tersebut dilakukan secara terus- menerus dan berkesinambungan yang pada akhirnya diharapkan dapat membenahi mutu pendidikan. Namun, implementasi UN selama ini harus diselaraskan dengan semangat pendidikan sebagai sesuatu yang menyenangkan, bukan sebuah beban pembawa penderitaan bagi anak didik.
“Pendidikan itu harus menyenangkan. Alangkah bahayanya jika sebuah proses pendidikan membawa penderitaan bagi anak, UN juga harus menyenangkan,” ucapnya. Koordinator Divisi Monitoring Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri dengan tegas menyatakan, kebijakan UN tidak sesuai dengan nilai-nilai keadilan.
Setiap tahun permasalahan kecurangan dalam UN selalu terjadi karena sekolah-sekolah di Indonesia tidak memiliki standar yang sama, namun harus menggunakan materi ujian yang sama. Dampaknya, banyak sekolah dan daerah mencari berbagai cara agar peserta didiknya dapat lulus ujian di atas standar nasional yang telah ditentukan dan dapat melanjutkan ke sekolah dengan mutu yang baik. Febri menambahkan, UN bagi sebagian sekolah memiliki tingkat kesulitan jauh lebih tinggi dari kemampuan mereka.
Di lain pihak, sekolah dan murid harus lulus UN. Jika tidak lulus, nama daerah, nama sekolah, dan murid akan rusak di mata masyarakat. Publik juga akan mempertanyakan anggaran pendidikan jika ini yang memicu kecurangan massal, terstruktur, dan sistemik. “Adanya kunci jawaban yang dibuat rapi untuk seluruh tipe soal menandakan kecurangan UN ini sudah sedemikian sistemik,” ungkapnya.
Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina Mohammad Abduhzen juga berpendapat yang sama bahwa UN harus dihapus total. Dia menyatakan UN kurang bermanfaat jika digunakan sebagai alat pemetaan. Jika pemetaan pendidikan disandarkan kepada UN, mutu pendidikan tidak akan berubah secara revolusioner.
Dia menyarankan UN harus dihapus, sedangkan untuk penilaian siswa diserahkan ke guru atau sekolah. Menurut dia, penilaian internal sekolah ini yang tercantum di UU Sisdiknas.
Neneng zubaidah
(ars)