Vonis MA Kasus TPI Ancam Investasi

Senin, 17 November 2014 - 14:32 WIB
Vonis MA Kasus TPI Ancam Investasi
Vonis MA Kasus TPI Ancam Investasi
A A A
JAKARTA - Putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak peninjauan kembali (PK) sengketa kepemilikan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dinilai mengancam investasi bisnis di Indonesia.

Putusan itu sudah menunjukkan tidak tertibnya hukum yang ada di Indonesia. Pakar hukum bisnis Frans Hendra Winarta menyatakan, dalam bisnis bertransaksi atau kerja sama ada proyek tidak mungkin tidak terjadi sengketa. Sengketa bisnis adalah sesuatu yang lumrah terjadi di mana-;mana. Apalagi, sekarang sudah lintas negara.

”Jadi sekarang itu sengketa bisnis bukan hanya antarwarga negara atau perusahaan dalam negeri di suatu negara, tapi sudah lintas negara. Jadi arbitrase itu ada arbitrase perdagangan internasional, bukan arbitrase nasional saja,” ungkap Frans di Jakarta kemarin. Karena itu, ujarnya, kalau ditanya betapa pentingnya ini (arbitrase dalam bisnis), sangat penting. Frans mengatakan, pentingnya putusan arbitrase ini kalau para pihak sudah memilih suatu lembaga arbitrase baik nasional maupun internasional untuk menyelesaikan sengketa.

”Maka sebetulnya secara mutlak sudah tertutup bagi pengadilan negeri untuk mengadili perkara itu. Itu sudah diatur dalam UU Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999. Tidak peduli apakah alasan gugatan itu wanprestasi atau perbuatan melawan hukum,” paparnya. Frans menyatakan, putusan MA ini sudah bertentangan dengan ketentuan UU Arbitrase.

Kalau para pihak dalam bisnis itu setuju dan sepakat untuk memilih lembaga arbitrase sebagai forum untuk menyelesaikan sengketa bisnisnya, sudah tertutup sama sekali untuk peradilan mengadili dan memproses di pengadilan sengketa.

”Apakah alasannya itu karena wanprestasi yaitu melanggar kontraknya, di mana kontraknya sudah memilih lembaga arbitrase untuk menyelesaikan sengketa para pihak. Demikian pula kalau itu didasarkan perbuatan melanggar hukum, sama saja, mutlak harus ke badan arbitrase,” ucapnya. Dalam perjanjian arbitrase atau klausul arbitrase sudah jelas yang harus disepakati oleh kedua pihak untuk menyelesaikan sengketa.

Karena itu, mutlak keputusan arbitrase ini mengikat kepada para pihak dan tidak bisa berubah begitu saja kecuali atas persetujuan kedua belah pihak. Atas putusan MA ini, ungkap Frans, berimbas, pertama, pada reputasi hakim atau majelis hakim yang memutuskan. Hakim sudah membuat kesalahan yang bertentangan dengan undang-undang.

Di mana undang-undang menyatakan pengadilan tidak punya yurisdiksi untuk mengadili sengketa bisnis yang sudah dipilih para pihak untuk dijadikan forum menyelesaikan sengketanya. Kedua, saat ini khususnya pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sedang gencar- gencarnya mengundang investor untuk membangun pelabuhan, jalan, airport , tapi tahu-tahu sengketa bisnis diselesaikan oleh pengadilan.

”Karena itu, selama ini di forumforum internasional kita selalu dinamakan unfriendly state , jadi negara yang tidak bersahabat dalam arbitrase perdagangan baik nasional maupun internasional,” paparnya. Ini, ungkap Frans, akan berdampak luas terhadap iklim investasi di Indonesia dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Ini akan menjadi preseden yang buruk sekali untuk investor masuk ke Indonesia.

Menurut Frans, proses di arbitrase tetap bisa jalan terus. Jika memang percaya ada supremasi hukum, keputusan arbitrase yang harus diambil, bukan keputusan pengadilan. Bagaimana dengan aparat penegak hukum? Frans mengatakan bahwa penegak hukumnya mengetahui bahwa sebuah perkara ini tidak bagian dari yurisdiksi yang dimiliki, tapi mereka tetap memberikan suatu keputusan.

”Lantas, apakah aparat hukum itu dapat dikatakan perbuatan melawan hukum? Bukan itu yang paling penting sekarang. Yang penting sekarang adalah betapa para pejabat atau pengadilan tidak mengerti prinsip-prinsip dari perdagangan arbitrase,” tuturnya.

Di sini para hakim tidak mengerti asas atau kompetensikompetensi yang artinya ketika di challenge arbitrase itu kewenangannya atau yurisdiksinya, dia harusnya jalan terus dan diakui keputusannya ketimbang putusan pengadilan. Karena itu, arbitrase ini harus jalan terus dan keputusannya diakui baik secara nasional maupun internasional. ”Kalau kita tidak mengakui itu, kita akan terus terlempar dari suatu negara yang sama sekali tidak ramah dan kepastian hukum, dan terutama dalam arbitrase perdagangan itu tadi,” ungkapnya.

Arbitrase, lanjutnya, bersifat rahasia, tertutup, dan final/ mengikat, tidak bisa banding dan kasasi. Arbitrase ini selambat-lambatnya enam bulan jangka waktu untuk menyelesaikan sengketa. Hal senada diungkapkan praktisi hukum Andi Muhammad Asrun. Menurut dia, MA tidak bisa memutus sebuah perkara yang masih ditangani Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

”Jika perselisihan diselesaikan dengan cara perdamaian di BANI, keputusan perdamaian itu yang digunakan. Kalau berdamai di BANI, yang dipakai putusan di BANI,” kata Andi. Menurut dia, semestinya para pihak yang bersengketa menyampaikan ke MA bahwa BANI masih memproses perkara itu. Ketika di BANI sedang memproses, lalu ada pihak yang mengajukan PK ke MA, seharusnya MA menghentikan.

Mantan Ketua Mahkamah Agung Harifin A Tumpa menilai, bila dalam perjanjian dicantumkan klausul arbitrase, pengadilan lain tidak berwenang untuk mengadili sengketa yang dimaksud. ”Artinya, kalau perjanjiannya menyatakan bahwa apabila terjadi sengketa harus dibawa ke BANI, pengadilan lain tidak berwenang, harus dibawa ke BANI,” tuturnya.

Terkait hal ini, Komisioner Komisi Yudisial Taufiqurrahman Syahuri berpendapat, bila terbukti terjadi pelanggaran oleh hakim agung Muhammad Saleh, Hamdi, dan Abdul Manan, pihak yang dirugikan dapat merujuk Pasal 9 Undang - Undang Kekuasaan Kehakiman. Pasal tersebut memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk menuntut ganti rugi dan rehabilitasi apabila terjadi kesalahan selama proses peradilan.

”Hakim itu meski bebas memutus harus hati-hati, dia tidak boleh suka-suka menerapkan hukum. Kalau salah, bisa bahaya,” ucapnya. Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 9 ayat 1 menyatakan: ”Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undangundang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.

” Selanjutnya dalam ayat dua dijelaskan: ”Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. ”Itulah sebabnya, banyak pihak mengapresiasi upaya PT Berkah Karya Bersama dalam memperjuangkan haknya.

”Itu agar ‘kecelakaan’ hukum yang dialami PT Berkah menjadi pelajaran bagi hakim-hakim lainnya sehingga setiap hakim akan lebih hati-hati dalam menerapkan hukum dalam suatu perkara,” ujarnya.

Dita angga/Sindonews
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4481 seconds (0.1#10.140)