Langgar Kode Etik, Hakim Dapat Diberhentikan

Senin, 17 November 2014 - 11:03 WIB
Langgar Kode Etik, Hakim Dapat Diberhentikan
Langgar Kode Etik, Hakim Dapat Diberhentikan
A A A
JAKARTA - Langkah Mahkamah Agung (MA) yang memproses kasus sengketa TPI yang sedang ditangani Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) terus menuai kritikan tajam.

Para hakim yang memutus kasus sengketa antara PT Berkah Karya Bersama dan Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) dinilai melanggar kode etik yang bisa berujung pada pemberhentian. “Inibisadianggappelanggarankode etik. Hakim yang agung harus mengutamakan kode etik. Kalau KY (Komisi Yudisial) melihat ketidaksewenangan dapat mengusulkan pemberhentian,” kata pakar hukum acara Universitas Muhammadiyah Jakarta Saiful Bahri kemarin di Jakarta.

Dia mengatakan hakim diawasi KY. Dalam hal ini KY melakukan peninjauan dan pemantauan terhadap kode etik hakim. Menurut dia, PT Berkah sebagai entitas privat yang sedang melakukan pekerjaan bersama dengan Tutut telah bersepakat jika ada sengketa diselesaikan di arbitrase. Tapi kini kasusnya justru dibawa ke pengadilan negeri hingga MA. “Harusnya BANI didahulukan. Ini kekeliruan,” katanya.

Menurutnya jika BANI memenangkan PT Berkah, mereka dapat mengajukan PK kembali. Bahkan jika nantinya Tutut akan mengeksekusi, hal itu belum dapat dilakukan karena masih ada di BANI.

“PK lagi (bisa dilakukan) dengan memohon ditinjau dengan novum,” ujarnya. Pakar hukum Asep Warlan Yusuf menilai putusan yang dikeluarkan MA soal sengketa kepemilikan TPI aneh. Pasalnya, masalah tersebut sedang ditangani BANI. “Kan sudah jelas di Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, dikatakan bahwa kalau penyelesaian itu sudah melalui forum arbitrase maka tidak bisa diambil oleh MA,” kata Asep.

PT Berkah Karya Bersama, menurut dia, jika merasa dirugikan bisa mengajukan PK kembali karena putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap. “MA itu upaya terakhir, kecuali kalau ada novum,” jelasnya. Menurutnya, jika ada bukti awal hakim agung yang mengeluarkan putusan tersebut menerima suap, KY atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus bergerak.

Jadi Preseden Buruk

Wakil Ketua Komisi III DPR Desmon J Mahesa mengatakan tidak ada alasan pengadilan untuk menangani sengketa ini. Apalagi pihak yang bersengketa telah menyepakati perkaranya diselesaikan di BANI. “Kan sudah di BANI, (MA) harus menolak untuk menangani kasus ini. Ini harus dirapikan,” kata Desmon.

Dia mengatakan kalau hakim sudah tahu dan tetap memutus perkara ini sudah sepatutnya dicurigai. Menurutnya KY harus dapat melihat hal ini. “Ini preseden buruk dalam hal arbitrase. Tidak probisnis. Harusnya ini wilayah khusus. Mereka kan kesepakatannya selesaikan di BANI,” katanya.

Dia mendukung masalah ini harus diselesaikan dan berharap ke depan jangan sampai hal serupa terulang karena akan memberikan ketidakpastian hukum. Baginya masalah ini menjadi pembelajaran buruk yang dilakukan lembaga peradilan. “Ini (penyelesaiannya) harus sesuai dengan apa yang disepakati, jangan salah satu pihak menggunakan jaringan tidak mau di arbitrase dan menggunakan jalur hukum lain,” katanya.

Dia mengatakan hal ini bisa saja nanti dipertanyakan Komisi III DPR kepada pihak MA saat dilakukan pertemuan. Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bahrain mengharapkan KY dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) seharusnya bisa melakukan penelusuran sesuai dengan kewenangan dan tugas masing-masing guna mengungkap kejanggalan maupun pelanggaran yang diduga dilakukan hakim agung M Saleh dalam memutus perkara kepemilikan saham PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (CTPI).

Langkah penelusuran bisa saja dilakukan PPATK maupun KY untuk memperjelas dugaandugaan pelanggaran yang selama ini menyelimuti putusan Peninjauan Kembali (PK) yang kontroversial tersebut. Meski dalam ranah formal diharuskan adanya laporan terlebih dulu untuk menindaklanjuti dugaan tersebut, mengingat kepentingan untuk memperjelas persoalan yang ada, lebih baik kedua lembaga langsung melakukan penelusuran.

Dengan demikian mereka, khususnya KY, bisa memulai proses penelusuran dugaan pelanggaran tanpa adanya laporan para pihak yang dirugikan. “Bisa saja dilakukan (penelusuran tanpa laporan ) kalau memang lebih membantu, kan diungkap lebih baik. Paling tidak tugas dan tanggung jawab KY itu kan menjaga moral hakim, jadi ada cerita apa pun harusnya dia (KY) langsung tanggap,” ungkap Bahrain di Jakarta kemarin.

Dengan demikian, KY bisa melihat apakah dugaan pelanggaran yang selama ini berkembang memang benar menjadi sumber masalah atau tidak. Jika ditemukan, masalah itu harus bisa diselesaikan. Kendati demikian, dirinya mengingatkan KY maupun PPATK memang tidak bisa mengambil langkah sembarangan untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran tersebut.

“Tapi mengambil sikap untuk menyikapi itu (dugaan pelanggaran) perlu, jadi isunya tidak berkembang jauh dan jadi konsumsi publik, kan bisa dipanggil juga yang bersangkutan (hakim terlapor) kalau indikasi ke sana,” lanjutnya. Sementara itu, Koordinator Bidang Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menyatakan proses penelusuran memang bisa saja langsung dilakukan, tapi harus dipastikan dulu informasi yang datang itu dari mana sehingga kendati memiliki kewenangan untuk melakukan penelusuran dugaan pelanggaran maupun rekening, tetap harus ada asal yang jelas.

Namun dirinya menekankan jika memang mencurigai adanya kejanggalan berupa dugaan suap dalam putusan PK TPI, dia memita agar melaporkan langsung ke KPK. Nantinya, biar PPATK yang bekerja sama langsung dengan KPK untuk mengungkap kejanggalan tersebut. Dengan demikian, akan lebih tepat sasaran ketimbang PPATK bekerja sendiri.

“Mendingan kalau memang ingin menelusuri ada yang janggal, arahkan saja langsung ke KPK, biar mereka yang menelusuri jadi kerja sama PPATK dengan KPK,” ungkap Emerson di Jakarta kemarin. Diketahui, MA menjatuhkan putusan PK atas sengketa kepemilikan saham TPI yang diajukan PT Berkah Karya Bersama saat proses penyelesaian masih berlangsung di BANI. Penjatuhan putusan ini diduga melanggar hukum karena berdasarkan UU Arbitrase, pengadilan tidak bisa memproses perkara jika masih berlangsung di BANI.

Duduk sebagai Ketua Majelis M Saleh bersama dengan hakim anggota Hamdi dan Abdul Manan. Ketua majelis hakim yang menangani perkara sengketa kepemilikan sahamTPI M Saleh belum bisa ditemui. Saat didatangi, rumah dinas Saleh dikawasan Jalan Denpasar, Kuningan, Jakarta Selatan, terlihat sepi. Gerbang besi warna hitam dengan ujung keemasan tampak tertutup rapat. Di halaman rumah terparkir sebuah mobil Suzuki Swift berwarna silver.

Sementara di depan gerbang rumah terparkir sebuah Kijang Innova berwarna hitam. Di bagian dalam gerbang, terdapat sebuah pos jaga. Lima orang satpam berseragam hitam tampak berjaga-jaga sambil menonton televisi. Menurut salah satu satpam, M Saleh sudah seminggu initidak pulang ke rumah. Saat ditanya keberadaannya, dia mengatakan, MSalehsedangadakegiatan di Bandung, Jawa Barat.

“Bapak tidak ada, sudah seminggu belum pulang. Ada seminar di Bandung. Memang kalau seminar biasanya lama,” kata satpam yang enggan disebut namanya ini. Menurut informasi, M Saleh tinggal di rumah dinas ini bersama keluarganya. Dia tidak bersedia merinci siapa saja anggota keluarga tersebut. Dia pun menyarankan untuk menemui M Saleh di kantor. “Kalau mau temui, di kantor aja hari Senin (hari ini),” kata dia.

Nama M Saleh yang kini juga menjabat sebagai wakil ketua MA bidang Yuidisial mencuat pascaputusan peninjauan kembali (PK) perkara sengketa kepemilikan TPI. M Saleh merupakan ketua hakim yang mengadili perkara tersebut. Sejumlah kalangan mempertanyakan putusan tersebut karena perkara itu sedang ditangani BANI.

Dita angga/ Nurul adriyana/ Sindonews/Okezone
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6302 seconds (0.1#10.140)