China Menawarkan Traktat Damai

Jum'at, 14 November 2014 - 12:45 WIB
China Menawarkan Traktat...
China Menawarkan Traktat Damai
A A A
NAYPYITAW - China mulai berjalan satu langkah dalam upaya penyelesaian isu Laut China Selatan. Perdana Menteri (PM) Li Keqiang menawarkan perjanjian persahabatan dengan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di Naypyitaw, Myanmar, kemarin.

“China siap menjadi rekan dialog pertama untuk menandatangani perjanjian persahabatan dan kerja sama dengan ASEAN,” tegas Keqiang kepada para pemimpin ASEAN dalam kegiatan KTT ASEAN dan KTT Asia Timur, dikutip Reuters. Ini bukan pertama kali isu Laut China Selatan ingin diselesaikan secara langsung di atas kertas.

China dan ASEAN masing- masing juga pernah menawarkan solusi serupa beberapa tahun yang lalu. Namun, upaya tersebut terbengkalai dan hanya menjadi wacana politik. Faktanya, kondisi di lapangan tetap tidak berubah. China tidak berurusan dengan seluruh anggota ASEAN, tapi isu Laut China Selatan dapat memengaruhi hubungan dengan semua anggota.

Apa-lagi, empat anggota ASEAN yang bersitegang dengan China, yakni Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam, memiliki peran penting dalam wadah organisasi Asia Tenggara itu. Desakan penyelesaian persengketaan Laut China Selatan tidak hanya datang dari China, ASEAN, dan Taiwan, tapi juga pihak ketiga.

Pasalnya, sengketa yang disebut Filipina dan Vietnam sebagai agresi China itu dikhawatirkan memicu perang. Hubungan antarnegara pengklaim bahkan sempat memanas beberapa saat. China tidak main-main dalam isu Laut China Selatan. Sebagaimana ASEAN, China juga yakin isu itu dapat diselesaikan melalui jalur diskusi. Tahun ini China dan ASEAN meningkatkan kerja sama untuk membangun kepercayaan.

Keqiang juga berencana mengajak negara Asia untuk menandatangani dokumen legal tersebut. Langkah yang diambil China dinilai sudah baik dan perlu direspons positif. Namun, beberapa pakar menilai perjanjian persahabatan hanya menjadi alat untuk menegaskan isu Laut China Selatan bukan ancaman internasional.

Faktanya, Keqiang ingin Laut China Selatan diselesaikan secara langsung ketimbang melalui arbitrase. Artinya, China masih berupaya memastikan teritorial mereka yang mungkin dapat diambil beberapa anggota ASEAN jika ditentukan melalui arbitrase. Wilayah perairan China di Laut China Selatan tidaklah sedikit. Mereka mengklaim hampir 90%. Batas wilayah perairan China bahkan memotong zona ekonomi eksklusif Filipina.

Sebelumnya, Filipina berang dan meminta bantuan Amerika Serikat (AS) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menengahi persengketaan ini. Mereka juga meminta kesepakatan China untuk melakukan arbitrase. Namun, upaya mereka ditolak mentah-mentah China. Selain itu, dukungan dari ASEAN juga kecil.

Diplomat Filipina memperhitungkan isu Laut China Selatan tidak akan selesai dalam waktu dekat. Tentunya sebelum semua pihak merasa puas. Mereka bahkan menilai proposal perjanjian persahabatan dari China akan berakhir mirip proposal Manila yang ditolak Beijing pada 2012.

“Sebab substansinya kurang,” kata mereka. Sementara itu, masih kaitannya dengan ASEAN, Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama memperingatkan pemerintah Myanmar tentang kemungkinan kemunduran demokrasi di Myanmar.

Obama mengatakan adanya perlambatan reformasi di beberapa daerah sejak transisi pemerintahan empat tahun lalu. Myanmar disebut Obama telah mengalami langkah mundur. “Salah satunya diakibatkan karena adanya pembatasan kebebasan pers, pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran dasar di daerah etnis, termasuk juga laporan pembunuhan di luar hukum, pemerkosaan, dan kerja paksa,” jelas Obama, yang secara khusus juga hadir dalam kegiatan KTT ASEAN.

Keterlibatan Washington memberikan dampak positif bagi Myanmar menjadi negara yang demokratis. Sejak Obama turut campur, Myanmar mulai membebaskan tahanan politik dan melonggarkan sensor pers yang membuat negara ini menjadi target menarik yang diburu para investor.

Namun, lambat laun banyak aktivis merasa Myanmar mengalami kemunduran. Ini terbukti dengan banyaknya reporter yang ditembak dan dibunuh militer. Myanmar juga gagal menyelamatkan kaum Muslim Rohingya yang masih terjebak di kamp-kamp. Setidaknya ada sekitar 140.000 kaum Rohingya yang kini menderita di kamp pengungsian yang buruk.

Muh shamil/Rini agustina
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0826 seconds (0.1#10.140)