Pengamat Nilai Hukum Pidana Berperan Lindungi Pemilu
A
A
A
JAKARTA - Pakar hukum pidana pemilu sekaligus Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Topo Santoso mengatakan, penerapan hukum pidana pada pemilu perlu diterapkan dengan penuh kehati-hatian.
Pasalnya, hukum pemilu mengacu terhadap tindakan yang bersifat pelanggaran administratif maupun pelanggaran pidana.
Menurut Topo, dari pengalaman beberapa kasus, proses penindakan terhadap pelanggar pemilu cenderung campur aduk, sehingga sulit membedakan mana pelanggaran pidana dan mana pelanggaran administratif.
Dia berpendapat, hukum dan sanksi pidana bisa diterapkan bagi pelanggaran pemilu. Meski begitu, kata Topo, menyitir pendapat hukum pidana Jan Remmelink, hukum pidana tersebut bisa diartikan secara sempit.
Hal itu sekaligus agar terintegrasi dengan hukum pidana yang ada dalam Undang-undang (UU) pemilu terakhir, yaitu UU Nomor 8 Tahun 2012.
"Hukum pidana dapat berperan dalam melindungi demokrasi, khususnya pemilu dari berbagai penyimpangan," kata Topo, saat diskusi 'penegakan hukum pemilu dan pemilihan kepala daerah kedepan' di Hotel Akmani, Jakarta, Kamis (13/11/2014).
Menurutnya, kajian hukum pidana terkait proses pemilu masih belum banyak diperdalam di Indonesia. Padahal kata dia, setiap pemilu, pelanggaran bersifat pidana terbilang banyak.
Ditambahkan Topo, dari segi para penegak hukum, misalnya, penerapan hukum pidana tidak menjadi siap, lantaran para pemangku kepentingan seperti pengawas pemilu, Polri dan Jaksa, serta hakim masih berdebat soal penerapan hukum pidana.
Di antara institusi itu, kata dia, kerap menafsirkan secara sempit terhadap kasus pidana pemilu.
"Maka sudah menjadi sangat mendesak pembahasan berbagai ketentuan pidana pemilu secara lebih mendalam untuk dapat hasilkan ketentuan yang lebih jelas, tidak ambigu, tidak ganda dan mudah dipahami semua pihak," pungkasnya.
Pasalnya, hukum pemilu mengacu terhadap tindakan yang bersifat pelanggaran administratif maupun pelanggaran pidana.
Menurut Topo, dari pengalaman beberapa kasus, proses penindakan terhadap pelanggar pemilu cenderung campur aduk, sehingga sulit membedakan mana pelanggaran pidana dan mana pelanggaran administratif.
Dia berpendapat, hukum dan sanksi pidana bisa diterapkan bagi pelanggaran pemilu. Meski begitu, kata Topo, menyitir pendapat hukum pidana Jan Remmelink, hukum pidana tersebut bisa diartikan secara sempit.
Hal itu sekaligus agar terintegrasi dengan hukum pidana yang ada dalam Undang-undang (UU) pemilu terakhir, yaitu UU Nomor 8 Tahun 2012.
"Hukum pidana dapat berperan dalam melindungi demokrasi, khususnya pemilu dari berbagai penyimpangan," kata Topo, saat diskusi 'penegakan hukum pemilu dan pemilihan kepala daerah kedepan' di Hotel Akmani, Jakarta, Kamis (13/11/2014).
Menurutnya, kajian hukum pidana terkait proses pemilu masih belum banyak diperdalam di Indonesia. Padahal kata dia, setiap pemilu, pelanggaran bersifat pidana terbilang banyak.
Ditambahkan Topo, dari segi para penegak hukum, misalnya, penerapan hukum pidana tidak menjadi siap, lantaran para pemangku kepentingan seperti pengawas pemilu, Polri dan Jaksa, serta hakim masih berdebat soal penerapan hukum pidana.
Di antara institusi itu, kata dia, kerap menafsirkan secara sempit terhadap kasus pidana pemilu.
"Maka sudah menjadi sangat mendesak pembahasan berbagai ketentuan pidana pemilu secara lebih mendalam untuk dapat hasilkan ketentuan yang lebih jelas, tidak ambigu, tidak ganda dan mudah dipahami semua pihak," pungkasnya.
(maf)