Putusan MA Kasus TPI Tidak Bisa Dieksekusi
A
A
A
JAKARTA - Putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak peninjau kembali (PK) sengketa kepemilikan saham PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (CTPI) tidak bisa langsung dieksekusi.
Putusan itu dinilai menyalahi hukum acara dengan mendahului proses di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). MA pun dinilai tidak memiliki kekuatan eksekutorial hingga ada putusan BANI. Mantan Ketua MA Harifin Andi Tumpa mengatakan, MA tidak memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa jika dalam perjanjian awalnya PT Berkah Karya Bersama dan Siti Hardyanti Rukmana alias Tutut sudah menyepakati klausul menyelesaikan di BANI.
”Jadi kita harus lihat dulu perjanjiannya itu. Nah, kalau ada perjanjian seperti itu, harus diselesaikan di BANI, pengadilan tidak berwenang. Kalau begitu, MA menyalahi hukum acara,” kata Harifin di Jakarta tadi malam. Seharusnya, ujarnya, peradilan umum tidak boleh dan tidak berwenang untuk memeriksa perkara tersebut. Dengan kata lain, peradilan telah melampaui kewenangannya.
Mantan ketua muda perdata MA ini menyatakan, ada ketidaktelitian hakim dalam menangani perkara ini. Proses hukum sengketa ini sudah dimulai dari pengadilan negeri (PN), tingkat banding, kasasi, sampai ke PK. ”Sebab itu, tadi MA tidak memiliki kewenangan. Kewenangan itu milik BANI. Kalau BANI memutus lain dari putusan MA, yang berlaku putusan BANI,” ungkapnya.
Senada diungkapkan Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bahrain. Menurut dia, untuk menentukan MA berwenang atau tidak dalam menyelesaikan sengketa TPI, harus melihat perjanjian awal kedua belah pihak. Jika perjanjian menyebutkan penyelesaian sengketa di BANI, MA harus menghormati proses penyelesaian yang sedang dilakukan di badan arbitrase itu.
Badan arbitrase merupakan ruang hukum di luar pengadilan. ”Seharusnya itu dihormati dulu, proses awalkan harus dihormati sebelum ada proses pengadilan, tadi saya bilang pengadilan itu proses terakhir kalau memang tidak ada kesepakatan dalam mediasi dan negosiasi yang dilakukan di BANI,” ungkap Bahrain.
Dengan ada putusan yang dijatuhkan MA sebelum ada penyelesaian BANI, justru terkesan aneh. MA seharusnya melihat kasus ini tidak sepenggal, tapi secara general. Menurut dia, bisa dipertanyakan dan ditelusuri lebih lanjut atas putusan itu. Apalagi, waktu yang dibutuhkan MA dalam memutus perkara ini sangat cepat. ”Kalau dilakukan dengan terburuburu, di situ bisa dilihat ada tidak kecerobohan atau itu memang sengaja diciptakan,” paparnya.
Bahrain mengatakan, satusatunya cara yang harus dilakukan adalah menelusuri kembali apa yang melatarbelakangi sengketa tersebut hingga masuk gugatan ke pengadilan. Jika ditemukan kesalahan, bisa diajukan sebagai bukti.
”Karena putusan pengadilan tidak bisa dibatalkan tanpa putusan pengadilan juga. Persoalannya PK sudah terjadi. Kalau secara filosofi itu kondisi normal, tidak boleh diajukan PK lagi karena perdata. Tapi, kalau ada sesuatu yang harus dilakukan dalam konteks penegakan hukum, bisa saja dilakukan (PK lagi),” ungkapnya.
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman pun berpendapat sama. Menurut dia, MA seharusnya mempertimbangkan keberadaan BANI yang saat ini sedang menangani perkara itu. ”Mestinya (MA) hormati BANI,” katanya. Boyamin mengatakan, MA tidak boleh terburu-buru menolak peninjauan kembali (PK) perkara tersebut. ”Betul (tidak buru-buru), pending dulu,” ujar Boyamin.
Sedangkan Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin mengatakan, pemohon bisa melaporkan ketiga hakim agung tersebut ke Komisi Yudisial (KY) jika memang mencurigai ada kejanggalan dalam putusan PK itu. ”Silakan laporkan ke Komisi Yudisial, biar nanti diproses di sana,” ujarnya.
KY, lanjut Aziz, adalah lembaga yang berhak untuk menilai apakah para hakim tersebut melanggar atau tidak dalam memutuskan sengketa yang sudah berlangsung sejak 2005 itu. MA menjatuhkan putusan PK atas sengketa kepemilikan saham PT CTPI yang diajukan PT Berkah Karya Bersama saat proses penyelesaian masih berlangsung di BANI.
Penjatuhan putusan ini diduga melanggar hukum karena berdasarkan Undang–Undang (UU) 30/1999 tentang Arbitrase, pengadilan tidak bisa memproses perkara jika masih berlangsung di BANI.
Nurul adriyana/Okezone/Sindonews
Putusan itu dinilai menyalahi hukum acara dengan mendahului proses di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). MA pun dinilai tidak memiliki kekuatan eksekutorial hingga ada putusan BANI. Mantan Ketua MA Harifin Andi Tumpa mengatakan, MA tidak memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa jika dalam perjanjian awalnya PT Berkah Karya Bersama dan Siti Hardyanti Rukmana alias Tutut sudah menyepakati klausul menyelesaikan di BANI.
”Jadi kita harus lihat dulu perjanjiannya itu. Nah, kalau ada perjanjian seperti itu, harus diselesaikan di BANI, pengadilan tidak berwenang. Kalau begitu, MA menyalahi hukum acara,” kata Harifin di Jakarta tadi malam. Seharusnya, ujarnya, peradilan umum tidak boleh dan tidak berwenang untuk memeriksa perkara tersebut. Dengan kata lain, peradilan telah melampaui kewenangannya.
Mantan ketua muda perdata MA ini menyatakan, ada ketidaktelitian hakim dalam menangani perkara ini. Proses hukum sengketa ini sudah dimulai dari pengadilan negeri (PN), tingkat banding, kasasi, sampai ke PK. ”Sebab itu, tadi MA tidak memiliki kewenangan. Kewenangan itu milik BANI. Kalau BANI memutus lain dari putusan MA, yang berlaku putusan BANI,” ungkapnya.
Senada diungkapkan Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bahrain. Menurut dia, untuk menentukan MA berwenang atau tidak dalam menyelesaikan sengketa TPI, harus melihat perjanjian awal kedua belah pihak. Jika perjanjian menyebutkan penyelesaian sengketa di BANI, MA harus menghormati proses penyelesaian yang sedang dilakukan di badan arbitrase itu.
Badan arbitrase merupakan ruang hukum di luar pengadilan. ”Seharusnya itu dihormati dulu, proses awalkan harus dihormati sebelum ada proses pengadilan, tadi saya bilang pengadilan itu proses terakhir kalau memang tidak ada kesepakatan dalam mediasi dan negosiasi yang dilakukan di BANI,” ungkap Bahrain.
Dengan ada putusan yang dijatuhkan MA sebelum ada penyelesaian BANI, justru terkesan aneh. MA seharusnya melihat kasus ini tidak sepenggal, tapi secara general. Menurut dia, bisa dipertanyakan dan ditelusuri lebih lanjut atas putusan itu. Apalagi, waktu yang dibutuhkan MA dalam memutus perkara ini sangat cepat. ”Kalau dilakukan dengan terburuburu, di situ bisa dilihat ada tidak kecerobohan atau itu memang sengaja diciptakan,” paparnya.
Bahrain mengatakan, satusatunya cara yang harus dilakukan adalah menelusuri kembali apa yang melatarbelakangi sengketa tersebut hingga masuk gugatan ke pengadilan. Jika ditemukan kesalahan, bisa diajukan sebagai bukti.
”Karena putusan pengadilan tidak bisa dibatalkan tanpa putusan pengadilan juga. Persoalannya PK sudah terjadi. Kalau secara filosofi itu kondisi normal, tidak boleh diajukan PK lagi karena perdata. Tapi, kalau ada sesuatu yang harus dilakukan dalam konteks penegakan hukum, bisa saja dilakukan (PK lagi),” ungkapnya.
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman pun berpendapat sama. Menurut dia, MA seharusnya mempertimbangkan keberadaan BANI yang saat ini sedang menangani perkara itu. ”Mestinya (MA) hormati BANI,” katanya. Boyamin mengatakan, MA tidak boleh terburu-buru menolak peninjauan kembali (PK) perkara tersebut. ”Betul (tidak buru-buru), pending dulu,” ujar Boyamin.
Sedangkan Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin mengatakan, pemohon bisa melaporkan ketiga hakim agung tersebut ke Komisi Yudisial (KY) jika memang mencurigai ada kejanggalan dalam putusan PK itu. ”Silakan laporkan ke Komisi Yudisial, biar nanti diproses di sana,” ujarnya.
KY, lanjut Aziz, adalah lembaga yang berhak untuk menilai apakah para hakim tersebut melanggar atau tidak dalam memutuskan sengketa yang sudah berlangsung sejak 2005 itu. MA menjatuhkan putusan PK atas sengketa kepemilikan saham PT CTPI yang diajukan PT Berkah Karya Bersama saat proses penyelesaian masih berlangsung di BANI.
Penjatuhan putusan ini diduga melanggar hukum karena berdasarkan Undang–Undang (UU) 30/1999 tentang Arbitrase, pengadilan tidak bisa memproses perkara jika masih berlangsung di BANI.
Nurul adriyana/Okezone/Sindonews
(bbg)