Minim Kontribusi, Online Asing Harus Diatur
A
A
A
JAKARTA - Indonesia merupakan pasar internet yang besar sehingga sangat menggiurkan bagi perusahaan-perusahaan teknologi informasi (TI).
Sayangnya pasar yang menjanjikan itu lebih banyak dinikmati perusahaan-perusahaan internet asing yang kontribusinya minim bagi Indonesia. Dalam beberapa aspek, keberadaan perusahaan asing penyedia layanan internet bahkan membawa banyak ancaman, terutama menyangkut kepentingan nasional.
Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq mengatakan, sudah saatnya Indonesia membuat regulasi untuk mengatur keberadaan layanan internet. Menurut dia, Indonesia harus mampu melindungi kepentingannya, baik dari sisi ekonomi, sosial maupun politik.
”Kami sudah lama memikirkan ancaman pada kepentingan yang bisa timbul akibat media sosial yang tidak memiliki batasan ini. Untuk itu kami akan menggunakan hak inisiatif DPR membuat undangundang yang mengatur soal ini,” ujarnya di Jakarta kemarin. Seperti diketahui, iklim yang begitu bebas bagi perusahaan internet asing menjadikan Indonesia ibarat surga bagi bisnis mereka. Padahal, kontribusi mereka sangat minim.
Selain pendapatan iklan mereka dibukukan di luar negeri, perusahaan-perusahaan asing itu tidak membayar pajak ke Indonesia. Masalah-masalah tersebut yang akhirnya membuat perusahaan TI lokal tidak bisa berkembang. Di negara-negara lain seperti China, pemerintah memberlakukan aturan ketat terhadap penggunaan media online asing. China, misalnya, menjadi salah satu negara yang sangat ketat memberlakukan aturan mengenai keberadaan media online asing.
Sejak 2010 lalu, China mengganggu layanan situs pencarian Google sehingga sering mengalami kegagalan saat melakukan pencarian data meski tidak sepenuhnya memblokirnya. Dampaknya, situs lokal berkembang karena semakin banyak penggunanya. Situs lokal seperti Baidu, Tencent, dan Sina Weibo bisa menjadi situs pencarian dan media sosial raksasa di China.
Dilaporkan situs Techinasia, China juga sudah memblokir Facebook sejak 2008 danTwitter pada 2009. Akibatnya, warga China berbondong-bondong memanfaatkan layanan media sosial lokal seperti Sina Weibo 1. Padahal jika Facebook tidak diblokir di China, pendiri Facebook Mark Zuckerberg berniat membuka kantor di Negeri Tirai Bambu itu. Pemerintah China memandang internet sebagai medan pertempuran, ladang bisnis, dan ancaman terhadap stabilitas sosial.
China sebagai negara dengan populasi terbesar di dunia—dan berharap bisa memimpin dunia—memandang informasi sebagai bagian sangat penting dan harus dikontrol secara ketat. Dengan aturan ketat yang diterapkan untuk media online asing, teknologi dalam negeri China berkembang pesat karena mereka tidak memiliki pesaing nyata dari luar. Perusahaan China memiliki pasar besar di dalam negeri karena tingginya populasi dan mereka diharuskan bersaing dengan perusahaan serupa dari dalam negeri sendiri.
Mahfudz Siddiq mengatakan, kehadiran layanan internet asing di tengah iklim yang begitu terbuka harus disikapi dengan cermat dan hati-hati. Dia melihat ada tiga alasan sehingga pembatasan harus dilakukan. Pertama, keberadaan media online asing itu bisa saja membawa misi tertentu. Kedua, melalui layanan internet berbagai transaksi bernilai ekonomis terjadi. Padahal, di saat bersamaan, di Indonesia tidak ada badan hukum yang mengaturnya.
Akibatnya, penyedia layanan meraup keuntungan besar, sedangkan Indonesia tidak mendapat apaapa kecuali menjadi konsumen. Ketiga, banyak modus kejahatan yang terjadi melalui perantara media sosial. Ini juga ancaman yang menurut dia tidak kalah mengkhawatirkan. ”Media sosial sudah begitu hebat mengubah masyarakat kita, sedangkan kita sama sekali kita tidak punya semacam pengaturannya, hanya karena atas nama kebebasan dunia maya,” ujarnya.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengakui sudah pernah mengingatkan pemerintah untuk tidak keasyikan mengembangkan infrastruktur telekomunikasi, termasuk menargetkan penyebarluasan internet ke seluruh penjuru Tanah Air, tetapi tidak memikirkan siapa pihak yang akhirnya paling menikmati itu. ”Kita berinvestasi besar, tapi kemudian siapa yang ambil keuntungan. Jaringan media yang memakai internet itu lebih banyak perusahaan luar negeri,” ujarnya.
Mahfudz mengatakan, pembuatan regulasi tidak bertujuan membatasi kebebasan warga untuk berpendapat dan berekspresi. Peraturan perlu dibuat semata untuk memberikan jaminan perlindungan kepada negara, termasuk ekonomi dan politik. Mantan anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Iswandi Syahputra mengatakan, ada beberapa hal yang harus dipikirkan ketika berbicara masalah media berbasis online .
Pertama, kebebasan menyampaikan pendapat harus dijaga karena ini paling mahal. Kedua , prinsip ekonomi, yakni bagaimana teknologi itu bisa berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat, dalam hal ini negara bisa diberi keuntungan. Ketiga, bagaimana mengatur tata hubungan pengguna teknologi agar penggunaannya tidak membawa masalah.
”Ketiga faktor ini harus bisa diselaraskan. Bagaimana kita diberi rasa aman menggunakan media sosial, tapi di saat yang sama ada keuntungan bagi bangsa dan negara. Di sisi lain, etika dalam proses penggunaannya juga harus dijaga,” ujar dia. Iswandi melihat Indonesia memang tidak memiliki perangkat untuk mengawasi media sosial ini. Padahal, kata dia, negara maju seperti Prancis dan Jerman justru membuat aturan ketat. ”Di Prancis media massa bahkan dilarang mengutip informasi dari media sosial. Apalagi pada akun yang bersifat anonim. Ini jauh berbeda dengan kita yang begitu bebas,” ujarnya.
Iswandi mengatakan, demokrasi yang dibawa oleh kebebasan dalam penggunaan teknologi ini di sisi lain berdampak kurang baik bagi bangsa. Demokrasi yang dibawa tersebut dinilainya tidak membawa kesejahteraan, baik kesejahteraan ekonomi, politik maupun sosial. ”Kita malah semakin demokratis semakin tidak teratur. Tidak memiliki batasan etika,” ujarnya.
Bakti munir/ Abdul rochim
Sayangnya pasar yang menjanjikan itu lebih banyak dinikmati perusahaan-perusahaan internet asing yang kontribusinya minim bagi Indonesia. Dalam beberapa aspek, keberadaan perusahaan asing penyedia layanan internet bahkan membawa banyak ancaman, terutama menyangkut kepentingan nasional.
Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq mengatakan, sudah saatnya Indonesia membuat regulasi untuk mengatur keberadaan layanan internet. Menurut dia, Indonesia harus mampu melindungi kepentingannya, baik dari sisi ekonomi, sosial maupun politik.
”Kami sudah lama memikirkan ancaman pada kepentingan yang bisa timbul akibat media sosial yang tidak memiliki batasan ini. Untuk itu kami akan menggunakan hak inisiatif DPR membuat undangundang yang mengatur soal ini,” ujarnya di Jakarta kemarin. Seperti diketahui, iklim yang begitu bebas bagi perusahaan internet asing menjadikan Indonesia ibarat surga bagi bisnis mereka. Padahal, kontribusi mereka sangat minim.
Selain pendapatan iklan mereka dibukukan di luar negeri, perusahaan-perusahaan asing itu tidak membayar pajak ke Indonesia. Masalah-masalah tersebut yang akhirnya membuat perusahaan TI lokal tidak bisa berkembang. Di negara-negara lain seperti China, pemerintah memberlakukan aturan ketat terhadap penggunaan media online asing. China, misalnya, menjadi salah satu negara yang sangat ketat memberlakukan aturan mengenai keberadaan media online asing.
Sejak 2010 lalu, China mengganggu layanan situs pencarian Google sehingga sering mengalami kegagalan saat melakukan pencarian data meski tidak sepenuhnya memblokirnya. Dampaknya, situs lokal berkembang karena semakin banyak penggunanya. Situs lokal seperti Baidu, Tencent, dan Sina Weibo bisa menjadi situs pencarian dan media sosial raksasa di China.
Dilaporkan situs Techinasia, China juga sudah memblokir Facebook sejak 2008 danTwitter pada 2009. Akibatnya, warga China berbondong-bondong memanfaatkan layanan media sosial lokal seperti Sina Weibo 1. Padahal jika Facebook tidak diblokir di China, pendiri Facebook Mark Zuckerberg berniat membuka kantor di Negeri Tirai Bambu itu. Pemerintah China memandang internet sebagai medan pertempuran, ladang bisnis, dan ancaman terhadap stabilitas sosial.
China sebagai negara dengan populasi terbesar di dunia—dan berharap bisa memimpin dunia—memandang informasi sebagai bagian sangat penting dan harus dikontrol secara ketat. Dengan aturan ketat yang diterapkan untuk media online asing, teknologi dalam negeri China berkembang pesat karena mereka tidak memiliki pesaing nyata dari luar. Perusahaan China memiliki pasar besar di dalam negeri karena tingginya populasi dan mereka diharuskan bersaing dengan perusahaan serupa dari dalam negeri sendiri.
Mahfudz Siddiq mengatakan, kehadiran layanan internet asing di tengah iklim yang begitu terbuka harus disikapi dengan cermat dan hati-hati. Dia melihat ada tiga alasan sehingga pembatasan harus dilakukan. Pertama, keberadaan media online asing itu bisa saja membawa misi tertentu. Kedua, melalui layanan internet berbagai transaksi bernilai ekonomis terjadi. Padahal, di saat bersamaan, di Indonesia tidak ada badan hukum yang mengaturnya.
Akibatnya, penyedia layanan meraup keuntungan besar, sedangkan Indonesia tidak mendapat apaapa kecuali menjadi konsumen. Ketiga, banyak modus kejahatan yang terjadi melalui perantara media sosial. Ini juga ancaman yang menurut dia tidak kalah mengkhawatirkan. ”Media sosial sudah begitu hebat mengubah masyarakat kita, sedangkan kita sama sekali kita tidak punya semacam pengaturannya, hanya karena atas nama kebebasan dunia maya,” ujarnya.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengakui sudah pernah mengingatkan pemerintah untuk tidak keasyikan mengembangkan infrastruktur telekomunikasi, termasuk menargetkan penyebarluasan internet ke seluruh penjuru Tanah Air, tetapi tidak memikirkan siapa pihak yang akhirnya paling menikmati itu. ”Kita berinvestasi besar, tapi kemudian siapa yang ambil keuntungan. Jaringan media yang memakai internet itu lebih banyak perusahaan luar negeri,” ujarnya.
Mahfudz mengatakan, pembuatan regulasi tidak bertujuan membatasi kebebasan warga untuk berpendapat dan berekspresi. Peraturan perlu dibuat semata untuk memberikan jaminan perlindungan kepada negara, termasuk ekonomi dan politik. Mantan anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Iswandi Syahputra mengatakan, ada beberapa hal yang harus dipikirkan ketika berbicara masalah media berbasis online .
Pertama, kebebasan menyampaikan pendapat harus dijaga karena ini paling mahal. Kedua , prinsip ekonomi, yakni bagaimana teknologi itu bisa berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat, dalam hal ini negara bisa diberi keuntungan. Ketiga, bagaimana mengatur tata hubungan pengguna teknologi agar penggunaannya tidak membawa masalah.
”Ketiga faktor ini harus bisa diselaraskan. Bagaimana kita diberi rasa aman menggunakan media sosial, tapi di saat yang sama ada keuntungan bagi bangsa dan negara. Di sisi lain, etika dalam proses penggunaannya juga harus dijaga,” ujar dia. Iswandi melihat Indonesia memang tidak memiliki perangkat untuk mengawasi media sosial ini. Padahal, kata dia, negara maju seperti Prancis dan Jerman justru membuat aturan ketat. ”Di Prancis media massa bahkan dilarang mengutip informasi dari media sosial. Apalagi pada akun yang bersifat anonim. Ini jauh berbeda dengan kita yang begitu bebas,” ujarnya.
Iswandi mengatakan, demokrasi yang dibawa oleh kebebasan dalam penggunaan teknologi ini di sisi lain berdampak kurang baik bagi bangsa. Demokrasi yang dibawa tersebut dinilainya tidak membawa kesejahteraan, baik kesejahteraan ekonomi, politik maupun sosial. ”Kita malah semakin demokratis semakin tidak teratur. Tidak memiliki batasan etika,” ujarnya.
Bakti munir/ Abdul rochim
(ars)