Gunakan Hak Interpelasi

Minggu, 09 November 2014 - 12:54 WIB
Gunakan Hak Interpelasi
Gunakan Hak Interpelasi
A A A
JAKARTA - Sejumlah pakar hukum tata negara meminta kepada DPR untuk menggunakan hak interpelasi terkait tiga kartu sakti yang diluncurkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Landasan hukum dan sumber dana pada program ini juga masih dipertanyakan banyak pihak.

”DPR lebih bagus menggunakan hak interpelasinya agar Presiden segera memberikan penjelasan komprehensif di hadapan wakil rakyat,” ujar pakar hukum tata negara Andi Irmanputra Sidin di Jakarta kemarin. Pakar hukum tata negara Margarito Kamis menegaskan hal senada.

Secara legalitas peluncuran kartu sakti tersebut salah. Bila alasannya menggunakan dana APBN, pertanyaannya kapan dilakukan perubahan nomenklatur, kemudian rencana kerja anggaran, keppres anggaran dan peraturan pemerintah (PP) pelaksanaan APBN.

”Kalau KIP (Kartu Indonesia Pintar) anggarannya ada di Kemendikbud dan KIS (Kartu Indonesia Sehat) di Kemenkes, sekarang dialihkan harus diubah dulu nomenklaturnya pakai keppres dan sebagainya, tidak bisa begitu saja,” katanya.

Margarito menepis anggapan bahwa anggaran yang digunakan itu merupakan bagian dari BPJS. Kalau demikian, berarti bukan pemerintah yang menjalankan, melainkan BPJS itu sendiri. Begitu juga bila pengadaan kartu tersebut menggunakan dana cadangan sebesar Rp5 triliun, harusnya menggunakan peraturan pemerintah.

”Harus jelas juga kementerian mana yang bertanggung jawab. Pak Jokowi sudah ngeyel, menteri-menteri sebaiknya kasih masukan yang baik,” ujarnya. Menurut dia, alasan Jokowi enggan bermitra dengan DPR karena dianggap masih terpecah, bisa jadi hal itu dimanfaatkan oleh Presiden untuk tidak mempertanggungjawabkan programnya.

”Kalau Presiden mengakui DPR yang dibentuk KIH, itu jelas salah lagi. Sebab DPR tandingan itu dibentuk dengan cara yang tidak sah. Bila terus begini tidak ada perubahan, DPR akan menggunakan hak interpelasi,” sebutnya.

Margarito menyarankan, sebaiknya pemerintah menghentikan sementara program tersebut sebelum bertemu DPR. Bila DPR setuju, maka hendaknya diterbitkan PP tentang pelaksanaan anggaran APBN. Di situ dicantumkan bahwa anggaran-anggaran yang berada di Kemenkes dan Kemendikbud digeser untuk program tersebut. Selanjutnya, pemerintah membuat keppres mengenai perincian anggaran di kementerian.

”Menteri yang diusulkan menjalankan program tersebut buat Dipa dan rencana kerja anggaran,” katanya. Sementara itu, partai pendukung Jokowi, PDIP, akhirnya mengakui program kartu sakti merupakan kelanjutan dari kebijakan yang dicanangkan pemerintahan sebelumnya, namun telah disempurnakan.

”Betul kami memang melanjutkan, tapi ada perbaikan-perbaikan dan perluasan-perluasan pelayanan untuk perlindungannya,” ujar Juru Bicara PDIP Eva Kusuma Sundari dalam diskusi Polemik SINDO Trijaya ”Menguji Kartu Sakti” di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, kemarin.

Eva mencontohkan, program KIP merupakan penyempurnaan dari program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Beasiswa Miskin (BSM). Begitu juga dengan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) dan KIS yang merupakan penyempurnaan dari program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

”Itu disempurnakan semua dan tidak lebih buruk. Lah, apa gunanya kalau mengikuti dan tidak berubah dari sebelumnya. Ini hak pemerintah,” kata Eva. Mantan anggota Komisi III DPR itu mengklarifikasi, anggaran untuk program KIS berasal dari anggaran APBN 2014 yang telah disahkan, bukan dari luar APBN, apalagi dari anggaran corporate social responsibility (CSR) seperti yang disampaikan sebelumnya.

”Anggaran yang kita pakai berasal dari APBN yang ditentukan pada masa Pak SBY dan peta-petanya sudah ada, kan tidak mungkin menunggu pada fiskal atau anggaran yang dibuat langsung Jokowi sehingga yang bersangkutan menggunakan peta-peta yang sudah ada untuk kemudian dimodifikasi,” paparnya.

Eva menyadari, adanya perbedaan di pemerintah dalam memberikan penjelasan soal anggaran yang digunakan untuk KIS karena tidak ada persamaan pandangan dan kurangnya koordinasi internal. Terkait dengan dasar hukum dari program tersebut, Eva menegaskan, presiden merupakan pelaksana undang-undang (UU) yang meliputi UU Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Nomor 24/2011 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha menyatakan perlu ada keterbukaan dari pemerintah bahwa ideide tersebut merupakan kelanjutan dari program pemerintahan sebelumnya. DPR, menurut Satya, akan meminta pemerintah mengklarifikasi bahwa tiga kartu itu menggunakan program-program hasil peninggalan dari Pak SBY.

Satya juga mempertanyakan anggaran yang digunakan untuk ketiga kartu tersebut mengingat APBN pemerintahan sebelumnya hanya dana cadangan untuk pembangunan sosial sekitar Rp5 triliun. Apabila pemerintah menggunakan dana lebih dari Rp5 triliun, maka harus meminta persetujuan DPR dan dituangkan saat revisi APBNP 2015 mendatang.

”Sehingga kita perlu klarifikasi dari pemerintah kalau mereka menggunakan cadangan sosial tersebut,” desaknya. Politisi Partai Golkar ini menegaskan, pemerintah tidak boleh menggunakan program CSR karena dana itu tidak bisa dipakai untuk program-program yang dibiayai APBN.

Mengenai efektivitas program tersebut, Satya mengaku, tiga kartu sakti yang digunakan sebagai antisipasi kemungkinan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) akan sulit mencapai target. Satya mengimbau Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang dahulu bernama Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenko Kesra) bisa dengan cermat mengklasifikasikan masyarakat yang dianggap layak menerima program kartu Presiden Jokowi.

”Di Kemenko Kesra ada klasifikasi rakyat miskin, sangat miskin, menuju miskin, jadi identifikasi ini harus betulbetul teliti,” tekan Satya. Kepala Pokja UKM TNP2K Ari Perdana mengaku, anggaran yang digunakan untuk program tersebut sepenuhnya dari APBN yang sudah dialokasikan.

Sebab, memang pemerintah sebelumnya mengalokasikan anggaran bantuan sosial untuk antisipasi kenaikan BBM. ”Itu untuk biaya cetakan kartu dan bantuan dalam bentuk simpanan. Kalau untuk KIP diberikan kepada siswa yang sudah terdata dalam BSN, sedangkan KIS itu untuk rumah tangga yang menerima bantuan kesehatan nasional,” jelasnya.

Kepala Departemen Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia (UI) Fentiny Nugroho meminta pemerintah berpihak kepada masyarakat dan menjalankan program bantuan bagi masyarakat kurang mampu secara konsisten. Dengan demikian, program tiga kartu sakti yang dijalankan tidak sekadar pencitraan. ”Kalau konsisten, sungguh-sungguh, kemudian dievaluasi, diadakan perbaikan, rakyat bisa menilai ini bukan pencitraan,” katanya.

Sucipto/Khoirul muzakki
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8456 seconds (0.1#10.140)