Mereka Pahlawan Pemberdaya Sosial

Minggu, 09 November 2014 - 10:44 WIB
Mereka Pahlawan Pemberdaya Sosial
Mereka Pahlawan Pemberdaya Sosial
A A A
Kemiskinan merupakan salah satu problem klasik yang dialami negara berkembang, tak terkecuali bagi Indonesia. Meski berbagai program penanggulangan telah diupayakan pemerintah, namun masalah ini tetap tak berujung pada penyelesaian.

Akibat persoalan sosial ini banyak orang tua yang memaksa anak-anak mereka hidup di jalanan. Setiap hari mereka “dipaksa” mengemis, mengamen, berjualan koran, bahkan bertindak kriminal untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Bagi kebanyakan orang tentu keberadaan anak-anak jalanan sangat mengganggu, namun berbeda dengan Achmad Nuril, 47. Tak sedikit pun pria ini punya pandangan negatif terhadap anak-anak jalanan. Pilihan hidup di jalan bukan atas kehendak mereka, melainkan kondisi sosial-ekonomi yang memaksa mereka akrab dengan kerasnya kehidupan jalanan.

Nuril merasa miris menyaksikan anak-anak tersebut yang mestinya di usia itu mereka pergi ke sekolah dan menghabiskan masa kanak-kanak dengan teman sebaya, tapi akibat tekanan kemiskinan mereka dipaksa bergelut hidup di jalanan. Karena itu, dia prihatin dan bermaksud berperan serta mengurangi beban pemerintah dalam menyelesaikan kemiskinan.

Sejak 1989 Nuril mengajari anakanak jalanan mengenai keterampilan membuat tas, logo, dan kaos. Aksi pemberdayaan sosial ini bermaksud agar para generasi bangsa itu punya etos bekerja yang baik, terampil, dan yang terpenting bisa keluar dari tekanan ekonomi. Dengan begitu, mereka bisa menghasilkan uang dari pekerjaan yang layak dan diharapkan tidak menjalin keakraban lagi dengan hidup di jalanan. Mulanya aksi pemberdayaan ini hanya diikuti 10 anak jalanan saja.

Bertempat di rumah pribadinya di Pamulang Permai, Blok B10 Nomor 15, Tangerang Selatan, Banten. Tapi siapa sangka, lama- lama usahanya berkembang sehingga semakin menarik banyak anak jalanan untuk terlibat di dalamnya. Ada sekitar 50 anak jalanan yang kini ditampung dan terlibat dalam pengerjaan usaha ini. “Saya berprinsip bahwa 90% rezeki yang kami dapat adalah harta untuk kaum duafa,” kata Nuril kepada KORAN SINDO pekan lalu.

Dari hasil keuntungan usaha tas dan penjualan berbagai lukisan kaligrafi yang telah dirintisnya sejak usia 20 tahun, Nuril kini bertekad meluaskan aktivitas sosialnya dengan membuat perubahan bagi masyarakat. Tidak hanya menyelamatkan masa depan anak jalanan, tapi selama 25 tahun ini ternyata pria ini juga bergelut sebagai social entreprenur dalam berbagai hal. Dia tercatat telah berkontribusi bagi pembangunan 23 sumur dan 22 MCK, 2 madrasah, 3 TK dan PAUD, 5 musala dan masjid di sekitar Sragen, Jawa Tengah, hingga Ngawi, Jawa Timur.

Selain itu, pria kelahiran Lamongan, 3 Oktober 1967 ini juga memberikan pengobatan gratis dengan teknik bekam kepada 753 orang. Dia membina para pegiat kesehatan dengan ilmu kedokteran Timur (bekam) terhadap 1.400 orang. Dalam hal peningkatan ekonomi, Nuril memberikan bantuan ternak kambing kepada 39 warga kurang mampu.

Lewat kerja sosialnya tersebut, tak berlebihan jika dia mendapat pujian sebagai satu dari 10 kandidat penerima penghargaan “MNCTV Pahlawan untuk Indonesia 2014“. Di negeri ini banyak orang yang tergerak hatinya untuk turut serta menyelesaikan masalah-masalah bangsa. Bukan hanya Nuril yang mengabdikan diri sebagai social entreprenur. Hal serupa dilakukan To Suprapto, 57.

Pria asal Sleman, Yogyakarta, ini mendirikan Joglo Tani sebagai wahana pembelajaran pertanian organik. Suprapto berjiwa besar karena kontribusinya dalam pengembangan ekonomi pertanian dan pemberdayaan masyarakat. Dia adalah pelopor model pertanian berkelanjutan dan terpadu yang berpihak pada petani, menerapkan program bertani organik sebagai pilar kemandirian masyarakat, dan pengendalian hama terpadu.

“Kami juga melakukan regenerasi petani dengan melibatkan pemuda dalam setiap kegiatan. Kami menyiapkan SDM yang lebih baik dengan menyekolahkan remaja-remaja berpotensi ke perguruan tinggi fakultas pertanian, sehingga saat lulus nanti dapat kembali ke desa dan bersama-sama membangun desa,” ujar Suprapto. Selain Suprapto dan Nuril, social entrepreneur lain adalah I Made Sumasa.

Pria kelahiran Tuban, 30 September 1965, ini melakukan aktivitas sosial dengan menggerakkan masyarakat nelayan di daerahnya untuk menghidupkan kembali kawasan mangrove seluas 1.373 hektare dan memanfaatkannya sebagai lahan budi daya kepiting bakau. Kerja sosial yang berorientasi pada ekonomi kerakyatan ini dimulai I Made Sumasa pada 2009, dengan membentuk Kelompok Nelayan Warnasari.

Mulanya kegiatan ini hanya diikuti 95 orang, sekarang telah mencapai lebih dari 500 nelayan. Setiap musim panen para nelayan dapat menghasilkan dua ton kepiting bakau yang dijual Rp120.000 per kilogram, beberapa di antaranya diekspor ke luar negeri. Untuk memotivasi nelayan, dia juga membuat usaha simpan pinjam tanpa agunan dengan pinjaman maksimal Rp5 juta dan melibatkan bank desa sebagai pengontrol.

Kini, budi daya kepiting bakau ini juga berlanjut menjadi kawasan ekowisata dengan melibatkan istri dan anak para nelayan setempat. “Ketulusan, keikhlasan, dan kesungguhan dalam berkarya merupakan warisan berharga untuk generasi mendatang,” kata Sumasa. Sumasa adalah inspirator perubahan bagi masyarakat nelayan di sekitarnya.

Dengan adanya kegiatan budi daya kepiting bakau, para nelayankinitaklagi dipusingkan dengan musim ombak yang biasanya membuat mereka berhenti melaut. Mereka kini punya pekerjaan lain yang lebih produktif dan juga menghasilkan keuangan yang mencukupi.

Nafi Muthohirin
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5663 seconds (0.1#10.140)