Para Srikandi yang Tak Letih Berjuang

Minggu, 09 November 2014 - 10:43 WIB
Para Srikandi yang Tak Letih Berjuang
Para Srikandi yang Tak Letih Berjuang
A A A
Mendampingi kaum terasing atau yang diasingkan masyarakat bukanlah hal mudah. Perlu ketabahan karena dunia mereka penuh kisah sedih yang menguras air mata.

Tapi semua itu adalah energi untuk terus berjuang agar orangorang yang belum merasakan kebahagiaan bisa kembali tersenyum. Kisah perjuangan inilah yang diperlihatkan Asia Pananrangi. Wanita kelahiran Sulawesi Selatan (Sulsel), 7 April 1967, ini telah merasakan pahit getirnya mendampingi para penderita kusta di Desa Lerang 2, Kabupaten Bone, Sulsel sejak 2002.

Desa Lerang 2 sengaja diperuntukkan bagi penderita kusta, sebuah penyakit yang dianggap sebagai kutukan oleh masyarakat Bone. Tidak ada orang normal yang mau bergaul dengan mereka. Akibatnya, jika ada orang yang baru menderita kusta, pihakkeluargaumumnya mengasingkan orang tersebut. “Jika di sebuah keluarga ada orang yang menderita kusta, mereka akan diasingkan.

Ada yang sengaja diantarkan ke Desa Lerang 2, ada juga yang dibuatkan gubuk kecil di tengah sawah agar tidak ada orang yang menemuinya,” ujar Asia kepada KORAN SINDO (4/10). Kala pertama kali datang ke Desa Lerang 2, penderita kusta tidak ada yang mau menemui Asia karena malu dan tidak mau diobati. Tapi perlahan dan penuh kesabaran, dibantu beberapa tenaga kesehatan asal Bone, Asia memberikan pengertian bahwa kusta bukanlah penyakit kutukan dan tetap bisa diobati.

Perjuangan selama lebih satu dekade kini berbuah manis, masyarakat Desa Lerang 2 mayoritas sudah sembuh. Asia kemudian membentuk kelompok perawatan diri yang anggota-anggotanya mantan penderita kusta. Selain mengobati, Asia juga mendirikan PAUD pada 2004 karena banyak anak penderita kusta yang tidak diterima sekolah di luar desa. Untuk peningkatan ekonomi, Asia menginisiasi terbentuknya koperasi. Lembaga kerakyatan ini terbukti mampu memberikan solusi pendanaan bagi sebagian masyarakat yang membuat usaha bata merah.

“Sebelum ada koperasi, masyarakat terpaksa meminjam melalui rentenir yang berbunga sangat tinggi,” kenang Asia. Walaupun mayoritas sudah sembuh, warga Desa Lerang 2 tetap belum diterima masyarakat. Ini tantangan terbesar yang dihadapi Asia dan warga Desa Lerang 2 saat ini.

Tapi, sejumlah mantan penderita kusta dari Desa Lerang 2 sudah ada yang berani tampil ikut memberikan penyuluhan bahwa kusta bukan penyakit menular, tetapi tetap saja tanggapan dari masyarakat umum masih negatif. Bahkan di wilayah ini banyak janda muda yang terpaksa dicerai karena diketahui berasal dari Desa Lerang 2, padahal mereka tidak pernah menderita kusta.

Penyakit ini juga dianggap penyakit keturunan sehingga dikhawatirkan akan menulari anak mereka. Saat ini Asia tidak pernah berhenti berjuang. Sekarang dia aktif mencari orangorang yang kemungkinan menderita kusta di luar Desa Lerang 2. Dalam menjalankan pendampingan, Asia mengaku senang karena didukung anaknya yang kini berusia 18 tahun walaupun ketika masih kecil sang anak protes karena sering ditinggal.

“Saya ingin anak saya menjadi dokter karena ini pekerjaan mulia, tetapi secara sembunyisembunyi dia mendaftar di jurusan hukum. Setelah saya tanya dia menjawab ingin seperti saya yang bergerak di bidang sosial,” ujar Asia. Ratnawati, adik Asia yang selama ini membantu sang kakak, bercerita banyak keluarga yang tidak mengaku dan berbohong kepada diri sendiri bahwa dia menderita kusta.

Mereka lebih senang menyebut menderita penyakit gula karena dianggap penyakit orang kaya. Padahal, jika tidak cepat diobati, penyakit ini bisa lebih parah dan menulari orang lain. “Suatu hari saya pernah melihat seorang yang mengalami gejala kusta yang seperti orang kena panu. Saya kemudian mencoba mencari asal sekolahnya dan jika sudah ketemu akan bilang kepada kepala sekolah untuk melakukan pemeriksaan,” papar Ratnawati.

Perjuangan tidak kenal lelah juga diperlihatkan Ai Dewi yang sukarela menjadi guru keliling di 60 kampung yang ada di permukiman Badui Banten sejak 1992. Memberikan materi pelajaran kepada suku pedalaman menurutnya bukan persoalan mudah. Banyak yang tidak mau belajar dan sejumlah kepala suku juga tidak menerima keberadaan orang asing. Akhirnya, Ai Dewi mengajar secara sembunyi-sembunyi.

“Ketika ada anak baru keluar dari hutan, saya ajak untuk belajar membaca. Cara lain adalah dengan mendatangi rumah- rumah, memberikan pelajaran, dan meminjamkan buku. Setelah seminggu, buku itu saya ambil kembali,” urai Ai Dewi.

Walaupun tidak dibayar, dia tetap membulatkan tekad untuk berbakti demi kemajuan pendidikan. Seiring perjalanan waktu, usahanya mulai berbuah hasil. Pada 2006 ia turut membangun MI (setara SD) dan MTs (setara SMP) di Desa Cicakal. Sejak itulah Ai Dewi mendapatkan honor Rp400.000 dari MI dan Rp150.000 dari MTs. Dalam mengabdi di pedalaman, Ai Dwi dibantu sang suami yang sama-sama membaktikan diri untuk pendidikan. Mereka bertemu dan menikah saat bersama-sama memberikan pelajaran kepada masyarakat.

“Ketika awal datang ke suku Badui, saya ketemu dengan (pria yang sekarang jadi) suami. Karena takut ada fitnah, kami memutuskan untuk menikah walaupun hanya bertemu sebentar. Bahkan saat mendaftarkan nikah di KUA, saya tidak mengetahui nama calon suami,” tutur Ai Dewi mengenang masa lalunya sambil tersenyum.

Semangat para Srikandi yang dicontohkan Asia dan Ai Dewi ini merupakan pelepas dahaga dari semakin keringnya sosok pengabdi di negeri ini. Wajar jika mereka termasuk sosok-sosok yang menjadi kandidat MNCTV Pahlawan untuk Indonesia 2014.

Islahuddin
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4595 seconds (0.1#10.140)