Pemerintah Akan Beri Gelar Pahlawan ke Komandan TKR
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah akan memberikan gelar pahlawan nasional kepada almarhum Mohamad Mangoendiprodjo. Gelar ini diberikan untuk memperingati Hari Pahlawan 10 November.
Mohamad merupakan pemimpin pertempuran di Surabaya pada 10 November 1945.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa pada Kamis 4 November 2014, mengumumkan adanya penghargaan gelar pahlawan nasional untuk empat WNI.
Salah satunya Mohamad Mangoendiprodjo. Almarhum adalah cicit Setjodiwirjo atau Kyai Ngali Muntoha, keturunan Sultan Demak dan Prabu Brawidjaja.
Berdasarkan keterangan pers keluarga almarhum, pada tahun 1944 Mohamad para usia 38 tahun bergabung dengan Tentara Pembela Tanah Air (PETA).
Setelah lulus pendidikan, ia kemudian ditugaskan sebagai Daidancho atau Komandan Batalyon di Sidoardjo.
Setelah Jepang menyerah dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, maka Bung Karno membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di seluruh Indonesia, termasuk Surabaya.
Saat tentara sekutu bersama pemerintah Sipil Belanda (NICA) ingin menjajah kembali Indonesia dan melakukan pendaratan di Surabaya pada 25 Oktober 1945, Mohamad bersama para pemimpin TKR lainnya yang telah dididik Peta, seperti Bung Tomo, Doel Arnowo, Abdul Wahab, Drg Moestopo, melakukan perlawanan terhadap para penjajah baru.
Pada akhir Oktober, pertempuran antara pemuda dan tentara Sekutu, terjadi di seluruh kota Surabaya. Pemimpin Sekutu meminta pertemuan untuk melakukan gencatan senjata dengan Bung Karno dan Bung Hatta pada 29 Oktober 1945, diSurabaya.
Pada pertemuan tersebut, Mohamad diangkat sebagai pemimpin seluruh TKR Jawa Timur dan sebagai kontak biro dengan pihak Sekutu.
Surat keputusan ini kemudian ditanda-tangani oleh Jendral Oerip Soemomihardjo, seperti juga surat keputusan pengangkatan pimpinan TKR Jawa Tengah, kepada Jendral Soedirman.
Pada hari yang sama, 29 Oktober 1945 di sore hari, Mohamad bersama Brigadir Mallaby berpatroli keliling kota Surabaya untuk melihat progres gencatan senjata. Rombongan ini berhenti di Jembatan merah depan Gedung Internatio.
Dalam gedung, tentara Inggris dari kesatuan Gurkha, sedang dikepung oleh pemuda-pemuda Indonesia di luar gedung, untuk diminta menyerah.
Mohamad masuk ke dalam gedung yang dikuasai Inggris untuk melakukan negosiasi. Tanpa disangka, Mohamad kemudian disandera oleh tentara Ghurka dan terjadilah tembak-menembak antara tentara Inggris dan pemuda Surabaya.
Mobil Mallaby meledak dan terbakar. Mallaby tewas di dalam mobil. Meninggalnya Mallaby, yang merupakan Jendral Inggris pertama yang mati berperang di Indonesia, membuat pihak Inggris marah dan menggemparkan dunia.
Inggris mengultimatum agar rakyat Surabaya yang mempunyai senjata, untuk menyerahkan senjata dengan mengangkat tangan setinggi-tingginya.
Ultimatum ini tentunya ditolak oleh Mohamad, serta jajaran TKR dan pemuda Surabaya, sehingga pada 10 November 1945, Surabaya dihancurkan Inggris melalui darat, laut dan udaradan pecahlah perang terbuka.
Pertempuran di Surabaya ini nantinya berlangsung selama 22 hari dengan korban TKR 6.315 pejuang. Mohamad walaupun terkena pecahan mortir di pelipisnya, tetap terus memimpin pertempuran melawan tentara Sekutu.
Pertempuran ini menandai awalnya Indonesia sebagai negara yang berdaulat yang tidak mudah untuk dijajah kembali.
Setelah pertempuran Surabaya, Mohamad dipromosikan menjadi Jendral Mayor dan menjadi Kepala Staff TNI, yang surat keputusannya ditanda-tangani oleh Presiden Soekarno.
Setelah mengakhiri karier militer, Mohammad menerima tugas Soekarno menjadi Bupati Ponorogo. Tugas Mohamad adalah untuk mengamankan daerah Madiun setelah pemberontakan PKI Muso.
Kemudian dia menerima tugas selanjutnya sebagai residen (gubernur) pertama Lampung, untuk juga mengendalikan keamanan di daerah ini.
Pada tanggal 13 Desember 1988, Mohamad meninggal dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di kota Bandar Lampung.
Mohamad adalah ayah dari Letjen Himawan Soetanto, mertua dari Menko Polkam Soesilo Soedarman, Eyang dari Menko Maritim Indroyono Soesilo, dan Eyang dari anggota DPR Aroem Hadiati.
Mohamad merupakan pemimpin pertempuran di Surabaya pada 10 November 1945.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa pada Kamis 4 November 2014, mengumumkan adanya penghargaan gelar pahlawan nasional untuk empat WNI.
Salah satunya Mohamad Mangoendiprodjo. Almarhum adalah cicit Setjodiwirjo atau Kyai Ngali Muntoha, keturunan Sultan Demak dan Prabu Brawidjaja.
Berdasarkan keterangan pers keluarga almarhum, pada tahun 1944 Mohamad para usia 38 tahun bergabung dengan Tentara Pembela Tanah Air (PETA).
Setelah lulus pendidikan, ia kemudian ditugaskan sebagai Daidancho atau Komandan Batalyon di Sidoardjo.
Setelah Jepang menyerah dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, maka Bung Karno membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di seluruh Indonesia, termasuk Surabaya.
Saat tentara sekutu bersama pemerintah Sipil Belanda (NICA) ingin menjajah kembali Indonesia dan melakukan pendaratan di Surabaya pada 25 Oktober 1945, Mohamad bersama para pemimpin TKR lainnya yang telah dididik Peta, seperti Bung Tomo, Doel Arnowo, Abdul Wahab, Drg Moestopo, melakukan perlawanan terhadap para penjajah baru.
Pada akhir Oktober, pertempuran antara pemuda dan tentara Sekutu, terjadi di seluruh kota Surabaya. Pemimpin Sekutu meminta pertemuan untuk melakukan gencatan senjata dengan Bung Karno dan Bung Hatta pada 29 Oktober 1945, diSurabaya.
Pada pertemuan tersebut, Mohamad diangkat sebagai pemimpin seluruh TKR Jawa Timur dan sebagai kontak biro dengan pihak Sekutu.
Surat keputusan ini kemudian ditanda-tangani oleh Jendral Oerip Soemomihardjo, seperti juga surat keputusan pengangkatan pimpinan TKR Jawa Tengah, kepada Jendral Soedirman.
Pada hari yang sama, 29 Oktober 1945 di sore hari, Mohamad bersama Brigadir Mallaby berpatroli keliling kota Surabaya untuk melihat progres gencatan senjata. Rombongan ini berhenti di Jembatan merah depan Gedung Internatio.
Dalam gedung, tentara Inggris dari kesatuan Gurkha, sedang dikepung oleh pemuda-pemuda Indonesia di luar gedung, untuk diminta menyerah.
Mohamad masuk ke dalam gedung yang dikuasai Inggris untuk melakukan negosiasi. Tanpa disangka, Mohamad kemudian disandera oleh tentara Ghurka dan terjadilah tembak-menembak antara tentara Inggris dan pemuda Surabaya.
Mobil Mallaby meledak dan terbakar. Mallaby tewas di dalam mobil. Meninggalnya Mallaby, yang merupakan Jendral Inggris pertama yang mati berperang di Indonesia, membuat pihak Inggris marah dan menggemparkan dunia.
Inggris mengultimatum agar rakyat Surabaya yang mempunyai senjata, untuk menyerahkan senjata dengan mengangkat tangan setinggi-tingginya.
Ultimatum ini tentunya ditolak oleh Mohamad, serta jajaran TKR dan pemuda Surabaya, sehingga pada 10 November 1945, Surabaya dihancurkan Inggris melalui darat, laut dan udaradan pecahlah perang terbuka.
Pertempuran di Surabaya ini nantinya berlangsung selama 22 hari dengan korban TKR 6.315 pejuang. Mohamad walaupun terkena pecahan mortir di pelipisnya, tetap terus memimpin pertempuran melawan tentara Sekutu.
Pertempuran ini menandai awalnya Indonesia sebagai negara yang berdaulat yang tidak mudah untuk dijajah kembali.
Setelah pertempuran Surabaya, Mohamad dipromosikan menjadi Jendral Mayor dan menjadi Kepala Staff TNI, yang surat keputusannya ditanda-tangani oleh Presiden Soekarno.
Setelah mengakhiri karier militer, Mohammad menerima tugas Soekarno menjadi Bupati Ponorogo. Tugas Mohamad adalah untuk mengamankan daerah Madiun setelah pemberontakan PKI Muso.
Kemudian dia menerima tugas selanjutnya sebagai residen (gubernur) pertama Lampung, untuk juga mengendalikan keamanan di daerah ini.
Pada tanggal 13 Desember 1988, Mohamad meninggal dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di kota Bandar Lampung.
Mohamad adalah ayah dari Letjen Himawan Soetanto, mertua dari Menko Polkam Soesilo Soedarman, Eyang dari Menko Maritim Indroyono Soesilo, dan Eyang dari anggota DPR Aroem Hadiati.
(dam)