Pemerintah Harus Serius Cegah Ebola
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah harus merespons serius dugaan kasus ebola dengan mengoordinasi seluruh jajaran untuk mengantisipasi kemungkinan penyebaran virus mematikan itu. Pemerintah juga perlu membuat prosedur standar operasional menangani kasus tersebut.
Harapan itu disampaikan Direktur Eksekutif Indonesian Hospital Watch Fikri Suadu dan Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf atas dugaan adanya warga negara Indonesia, yakni di Kabupaten Madiun dan Kediri, terjangkit virus yang berasal dari Afrika tersebut.
Menurut mereka, langkah itu perlu diambil karena menyangkut keamanan dan ketahanan nasional. ”Dibutuhkan juga tim khusus. Tim harus mengedukasi pencegahan dan penanganan dini jika ada orang yang memiliki gejala menyerupai ebola. Tim ini menjadi garda terdepan untuk mengantisipasi masuknya virus ebola di Indonesia,” ujar Fikri di Jakarta kemarin.
Menurut dia, langkah antisipasi bisa dilakukan dengan memperketat pengawasan di terminal, pelabuhan, dan bandara di seluruh Indonesia untuk mengawasi pendatang, terutama yang mempunyai riwayat berkunjung ke wilayah Afrika. Selain itu pemerintah harus memobilisasi seluruh rumah sakit dan puskesmas, termasuk menyiapkan infrastrukturnya, agar siap siaga merespons kemungkinan adanya kasus baru ebola di Indonesia.
”Karena jika diabaikan, bukan hal mustahil apa yang dialami masyarakat di wilayah Afrika juga akan terjadi di wilayah Asia. Kita sudah harus waspada karena Indonesia kini dikejutkan dengan adanya penemuan kasus baru pada seorang pasien yang terindikasi menderita penyakit tersebut,” katanya. Dede Yusuf mengingatkan pentingnya prosedur standar operasional, termasuk hingga ke tingkat pemerintah daerah, agar ada langkah yang pasti jika menghadapi kemungkinan kasus ebola.
Termasuk dalam prosedur itu adalah berapa lama masa inkubasi hingga pemerintah bisa mengumumkan ada tidaknya kasus ebola dan masyarakat bisa mendapatkan kepastian informasi. ”Saya sudah mengikuti perkembangan masalah ini, termasuk pernyataan dari pejabat terkait dan dari pihak rumah sakit yang intinya belum ada kepastian. Nah, ini perlu ada penjelasan sebenarnya berapa hari pemerintah bisa ambil keputusan soal informasi tersebut,” jelasnya.
Lebih jauh politikus Partai Demokrat itu juga mendorong pemerintah untuk berperan aktif mencegah persebaran virus ebola melalui berbagai cara, termasuk bekerja sama dengan negara tetangga. Sementara itu, RSU dr Soetomo menyiapkan tim khusus untuk menangani pasien ebola. Direktur Utama RSU dr Soetomo, Dodo Anondo, menuturkan, tim itu berjumlah 50 orang terdiri atas tenaga medis dan paramedis.
Selain itu, rumah sakit milik Pemprov Jatim ini sudah menyiapkan tempat khusus, yakni ruang isolasi dengan kapasitas enam tempat tidur. Ruang perawatan tersebut juga dilengkapi dengan peralatan medis memadai. Menurut Dodo, langkah tersebut diambil untuk mengantisipasi kemungkinan masuknya pasien ebola ke RSU dr Soetomo. Apalagi, RSU ini telah ditunjuk sebagai rumah sakit rujukan untuk jenis penyakit mematikan itu.
”Sudah kami siapkan semuanya. Termasuk tim medis yang akan menangani sehingga begitu sewaktu-waktu ada pasien masuk, sudah langsung bisa ditangani,” tuturnya. Dodo mengaku pihaknya sudah berkoordinasi dengan seluruh rumah sakit di kabupaten/ kota, terutama rumah sakit milik Pemprov Jatim. Harapannya, begitu ada pasien yang terdeteksi terserang virus ebola bisa langsung dirujuk.
”Termasuk satu pasien suspect di Madiun, kami juga sudah berkoordinasi. Namun, karena RSUD dr Sadono Madiun masih bisa menangani, pasien tidak dirujuk ke RSU dr Soetomo,” katanya. Dia berharap ebola tidak masuk ke Tanah Air. Sebab, selain penanganannya berat, jenis penyakit tersebut juga sangat mematikan. ”Tingkat kematian pasien ebola ini sampai 90% sehingga begitu terserang, sulit sekali disembuhkan,” urainya
Pasien Membaik
Pasien yang diduga terjangkit virus ebola, baik di Kediri maupun Madiun, berangsur membaik kondisinya. Namun pihak rumah sakit belum berani memastikan apakah mereka menderita ebola atau tidak karena masih menunggu hasil pemeriksaan laboratorium Kementerian Kesehatan (Kemenkes). ”Kondisi sudah bagus. Ya sudah turunlah suhu tubuhnya. Kondisinya juga tidak kritis. Tapi masih diisolasi,” ujar Kepala Bidang Pelayanan Medik RSUD dr Soedono Madiun, Sjaiful Anwar, saat menerangkan kondisi Mukhlis Sugiarto, 29, warga Desa Nampu, Kecamatan Gemarang, Kabupaten Madiun, yang masih tergolek di Ruang Isolasi B-6.
Saat pertama masuk, kondisi Mukhlis mengalami penurunan trombosit, demam tinggi, dan mengalami gangguan fungsi ginjal. Berdasarkan hasil pemeriksaan medis, pasien yang baru pulang dari Liberia (bukan Nigeria seperti tertulis sebelumnya) sebagai tenaga kerja Indonesia itu positif menderita malaria. Namun karena riwayatnya baru datang dari negara yang ditetapkan sebagai daerah endemis ebola, pihak RSUD menetapkan statusnya sebagai suspect atau terduga terjangkit penyakit tersebut.
Untuk memastikan penyakit yang diderita, Sabtu (1/11) malam lalu sebuah tim dari Kemenkes yang dipimpin Direktur Surveilans Imunisasi Karantina dan Kesehatan Matra (Simkarkesma) Ditjen PP dan PL Kemenkes, Wiendra Woworuntu, sudah turun langsung melihat kondisi pasien dan mengambil sampel darah. ”Kalau soal positif atau tidak terhadap ebola, kita masih menunggu hasil tes laboratorium Kementerian Kesehatan. Besok (hari ini) hasilnya akan turun dan diinformasikan ke kami di Madiun,” ungkap Sjaiful.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Madiun Soelistyono Widyantono mengungkapkan, Mukhlis baru pulang dari Liberia pada 26 Oktober lalu. Di negara tersebut dia bekerja sebagai penebang kayu di hutan selama delapan bulan. Selain Mukhlis, Dinkes juga memantau 21 warga Kabupaten Madiun lainnya yang juga baru pulang dari Liberia. Sebanyak 3 di antaranya warga Kecamatan Pilangkenceng, 1 orang dari Kecamatan Mejayan, 10 dari Kecamatan Saradan, dan 7 asal Kecamatan Gemarang.
”Kami sempat mendatangi rumah mereka satu per satu dan hasilnya diketahui hanya Mukhlis yang mengalami sakit hingga jadi suspect ebola,” ujar Sulis. Secara nasional, jumlah kasus suspect ebola hingga saat ini telah mencapai 5 pasien, yaitu 2 pasien di Jakarta, 1 di Medan, 1 di Kediri, dan 1 lagi di Madiun. Dari Kediri, kondisi pasien terduga ebola yang menjalani perawatan di RSUD Pare juga membaik. Nyeri tenggorokan yang dikeluhkan pria berusia 45 tahun itu telah berkurang.
Begitu juga dengan suhu tubuh yang sebelumnya mencapai 38 derajat Celsius turun menjadi 37 derajat Celsius. Perkembangan positif tersebut juga diikuti kembalinya fungsi liver dan ginjal yang mendekati normal. Namun pihak rumah sakit belum berani berspekulasi tentang kondisi pasien karena menunggu hasil tes laboratorium. Untuk diketahui, tim kesehatan Provinsi Jawa Timur melakukan pengambilan sampel darah dan urine pada Jumat (31/19) dan Sabtu lalu (1/11).
”Pengambilan sampel dilakukan empat petugas. Hasil uji lab langsung dikirim ke Jakarta. Secara umum kondisi pasien berangsur baik,” ujar Kepala Bidang Pelayanan RSUD Pare Kediri dr Widiastomo kepada wartawan. Hingga kemarin pihak rumah sakit masih merahasiakan identitas pasien. Track record yang bisa diketahui hanya catatan perjalanan pasien yang pernah bekerja di Liberia selama tujuh bulan. Pasien pulang ke Tanah Air pada 6 Oktober 2014.
Kepala Balitbangkes Kemenkes Tjandra Yoga Aditama memastikan petugas laboratorium Balitbangkes Kemenkes telah selesai memeriksa sampel kasus suspect ebola di Madiun dan Kediri. Ada delapan sampel darah EDTA dan serum yang diperiksa. Dari pembacaan PCR dengan elektroforesis, petugas menyimpulkan pasien yang terduga terkena virus ebola ternyata negatif.
”Laporannya no band. Artinya semua sampel dari kasus Madiun dan Kediri hasilnya negatif ebola. Bukan sakit ebola,” terangnya. Kemarin, Tjandra juga memastikan sampai hari ini, Sabtu (1/11), belum pernah ada kasus ebola maupun MERSCoV di Indonesia. ”Bila ada yang baru datang dari negara terjangkit ebola, lalu dia demam, belum tentu demam tersebut diakibatkan virus ebola, bisa saja dikarenakan penyakit lain. Namun, memang, waspada dan kehati-hatian kita perlukan,” ujar Tjandra.
Dia menuturkan, terdapat empat gejala yang menjadi indikasi kuat seseorang terjangkit penyakit ebola, khususnya bagi mereka yang baru saja pulang dari negara-negara terjangkit. Gejala dimaksud, (1) demam yang tidak diketahui penyebabnya, (2) nyeri otot hebat, (3) gangguan saluran pencernaan, dan (4) manifestasi perdarahan. Menurut dia, gejala demam tersebut belum tentu ebola.
Bisa saja penyakit malaria atau penyakit lain. Memang, demi kewaspadaan dan kehati-hatian, pihak RS mengambil tindakan dengan merawat pasien suspect ebola di ruang isolasi. Selain pemeriksaan dan pemantauan gejala klinis, pasien suspect ebola juga akan diambil spesimen darahnya untuk dikirimkan ke laboratorium Balitbangkes Kemenkes di Jakarta. Untuk mengetahui disebabkan ebola atau bukan, hasil pemeriksaan akan keluar paling lambat 48 jam setelah sampel diterima laboratorium.
”Seluruh sampel memang harus diperiksa di laboratorium kami karena minimal harus memenuhi persyaratan BSL-3 dengan ekstraksi virus di BSC- 3,” urainya.
Neneng zubaedah/ Rahmat sahid/ Ihya’ ulumuddin/ Solichan arif/ Dilieyato/ Sugeng wahyudi
Harapan itu disampaikan Direktur Eksekutif Indonesian Hospital Watch Fikri Suadu dan Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf atas dugaan adanya warga negara Indonesia, yakni di Kabupaten Madiun dan Kediri, terjangkit virus yang berasal dari Afrika tersebut.
Menurut mereka, langkah itu perlu diambil karena menyangkut keamanan dan ketahanan nasional. ”Dibutuhkan juga tim khusus. Tim harus mengedukasi pencegahan dan penanganan dini jika ada orang yang memiliki gejala menyerupai ebola. Tim ini menjadi garda terdepan untuk mengantisipasi masuknya virus ebola di Indonesia,” ujar Fikri di Jakarta kemarin.
Menurut dia, langkah antisipasi bisa dilakukan dengan memperketat pengawasan di terminal, pelabuhan, dan bandara di seluruh Indonesia untuk mengawasi pendatang, terutama yang mempunyai riwayat berkunjung ke wilayah Afrika. Selain itu pemerintah harus memobilisasi seluruh rumah sakit dan puskesmas, termasuk menyiapkan infrastrukturnya, agar siap siaga merespons kemungkinan adanya kasus baru ebola di Indonesia.
”Karena jika diabaikan, bukan hal mustahil apa yang dialami masyarakat di wilayah Afrika juga akan terjadi di wilayah Asia. Kita sudah harus waspada karena Indonesia kini dikejutkan dengan adanya penemuan kasus baru pada seorang pasien yang terindikasi menderita penyakit tersebut,” katanya. Dede Yusuf mengingatkan pentingnya prosedur standar operasional, termasuk hingga ke tingkat pemerintah daerah, agar ada langkah yang pasti jika menghadapi kemungkinan kasus ebola.
Termasuk dalam prosedur itu adalah berapa lama masa inkubasi hingga pemerintah bisa mengumumkan ada tidaknya kasus ebola dan masyarakat bisa mendapatkan kepastian informasi. ”Saya sudah mengikuti perkembangan masalah ini, termasuk pernyataan dari pejabat terkait dan dari pihak rumah sakit yang intinya belum ada kepastian. Nah, ini perlu ada penjelasan sebenarnya berapa hari pemerintah bisa ambil keputusan soal informasi tersebut,” jelasnya.
Lebih jauh politikus Partai Demokrat itu juga mendorong pemerintah untuk berperan aktif mencegah persebaran virus ebola melalui berbagai cara, termasuk bekerja sama dengan negara tetangga. Sementara itu, RSU dr Soetomo menyiapkan tim khusus untuk menangani pasien ebola. Direktur Utama RSU dr Soetomo, Dodo Anondo, menuturkan, tim itu berjumlah 50 orang terdiri atas tenaga medis dan paramedis.
Selain itu, rumah sakit milik Pemprov Jatim ini sudah menyiapkan tempat khusus, yakni ruang isolasi dengan kapasitas enam tempat tidur. Ruang perawatan tersebut juga dilengkapi dengan peralatan medis memadai. Menurut Dodo, langkah tersebut diambil untuk mengantisipasi kemungkinan masuknya pasien ebola ke RSU dr Soetomo. Apalagi, RSU ini telah ditunjuk sebagai rumah sakit rujukan untuk jenis penyakit mematikan itu.
”Sudah kami siapkan semuanya. Termasuk tim medis yang akan menangani sehingga begitu sewaktu-waktu ada pasien masuk, sudah langsung bisa ditangani,” tuturnya. Dodo mengaku pihaknya sudah berkoordinasi dengan seluruh rumah sakit di kabupaten/ kota, terutama rumah sakit milik Pemprov Jatim. Harapannya, begitu ada pasien yang terdeteksi terserang virus ebola bisa langsung dirujuk.
”Termasuk satu pasien suspect di Madiun, kami juga sudah berkoordinasi. Namun, karena RSUD dr Sadono Madiun masih bisa menangani, pasien tidak dirujuk ke RSU dr Soetomo,” katanya. Dia berharap ebola tidak masuk ke Tanah Air. Sebab, selain penanganannya berat, jenis penyakit tersebut juga sangat mematikan. ”Tingkat kematian pasien ebola ini sampai 90% sehingga begitu terserang, sulit sekali disembuhkan,” urainya
Pasien Membaik
Pasien yang diduga terjangkit virus ebola, baik di Kediri maupun Madiun, berangsur membaik kondisinya. Namun pihak rumah sakit belum berani memastikan apakah mereka menderita ebola atau tidak karena masih menunggu hasil pemeriksaan laboratorium Kementerian Kesehatan (Kemenkes). ”Kondisi sudah bagus. Ya sudah turunlah suhu tubuhnya. Kondisinya juga tidak kritis. Tapi masih diisolasi,” ujar Kepala Bidang Pelayanan Medik RSUD dr Soedono Madiun, Sjaiful Anwar, saat menerangkan kondisi Mukhlis Sugiarto, 29, warga Desa Nampu, Kecamatan Gemarang, Kabupaten Madiun, yang masih tergolek di Ruang Isolasi B-6.
Saat pertama masuk, kondisi Mukhlis mengalami penurunan trombosit, demam tinggi, dan mengalami gangguan fungsi ginjal. Berdasarkan hasil pemeriksaan medis, pasien yang baru pulang dari Liberia (bukan Nigeria seperti tertulis sebelumnya) sebagai tenaga kerja Indonesia itu positif menderita malaria. Namun karena riwayatnya baru datang dari negara yang ditetapkan sebagai daerah endemis ebola, pihak RSUD menetapkan statusnya sebagai suspect atau terduga terjangkit penyakit tersebut.
Untuk memastikan penyakit yang diderita, Sabtu (1/11) malam lalu sebuah tim dari Kemenkes yang dipimpin Direktur Surveilans Imunisasi Karantina dan Kesehatan Matra (Simkarkesma) Ditjen PP dan PL Kemenkes, Wiendra Woworuntu, sudah turun langsung melihat kondisi pasien dan mengambil sampel darah. ”Kalau soal positif atau tidak terhadap ebola, kita masih menunggu hasil tes laboratorium Kementerian Kesehatan. Besok (hari ini) hasilnya akan turun dan diinformasikan ke kami di Madiun,” ungkap Sjaiful.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Madiun Soelistyono Widyantono mengungkapkan, Mukhlis baru pulang dari Liberia pada 26 Oktober lalu. Di negara tersebut dia bekerja sebagai penebang kayu di hutan selama delapan bulan. Selain Mukhlis, Dinkes juga memantau 21 warga Kabupaten Madiun lainnya yang juga baru pulang dari Liberia. Sebanyak 3 di antaranya warga Kecamatan Pilangkenceng, 1 orang dari Kecamatan Mejayan, 10 dari Kecamatan Saradan, dan 7 asal Kecamatan Gemarang.
”Kami sempat mendatangi rumah mereka satu per satu dan hasilnya diketahui hanya Mukhlis yang mengalami sakit hingga jadi suspect ebola,” ujar Sulis. Secara nasional, jumlah kasus suspect ebola hingga saat ini telah mencapai 5 pasien, yaitu 2 pasien di Jakarta, 1 di Medan, 1 di Kediri, dan 1 lagi di Madiun. Dari Kediri, kondisi pasien terduga ebola yang menjalani perawatan di RSUD Pare juga membaik. Nyeri tenggorokan yang dikeluhkan pria berusia 45 tahun itu telah berkurang.
Begitu juga dengan suhu tubuh yang sebelumnya mencapai 38 derajat Celsius turun menjadi 37 derajat Celsius. Perkembangan positif tersebut juga diikuti kembalinya fungsi liver dan ginjal yang mendekati normal. Namun pihak rumah sakit belum berani berspekulasi tentang kondisi pasien karena menunggu hasil tes laboratorium. Untuk diketahui, tim kesehatan Provinsi Jawa Timur melakukan pengambilan sampel darah dan urine pada Jumat (31/19) dan Sabtu lalu (1/11).
”Pengambilan sampel dilakukan empat petugas. Hasil uji lab langsung dikirim ke Jakarta. Secara umum kondisi pasien berangsur baik,” ujar Kepala Bidang Pelayanan RSUD Pare Kediri dr Widiastomo kepada wartawan. Hingga kemarin pihak rumah sakit masih merahasiakan identitas pasien. Track record yang bisa diketahui hanya catatan perjalanan pasien yang pernah bekerja di Liberia selama tujuh bulan. Pasien pulang ke Tanah Air pada 6 Oktober 2014.
Kepala Balitbangkes Kemenkes Tjandra Yoga Aditama memastikan petugas laboratorium Balitbangkes Kemenkes telah selesai memeriksa sampel kasus suspect ebola di Madiun dan Kediri. Ada delapan sampel darah EDTA dan serum yang diperiksa. Dari pembacaan PCR dengan elektroforesis, petugas menyimpulkan pasien yang terduga terkena virus ebola ternyata negatif.
”Laporannya no band. Artinya semua sampel dari kasus Madiun dan Kediri hasilnya negatif ebola. Bukan sakit ebola,” terangnya. Kemarin, Tjandra juga memastikan sampai hari ini, Sabtu (1/11), belum pernah ada kasus ebola maupun MERSCoV di Indonesia. ”Bila ada yang baru datang dari negara terjangkit ebola, lalu dia demam, belum tentu demam tersebut diakibatkan virus ebola, bisa saja dikarenakan penyakit lain. Namun, memang, waspada dan kehati-hatian kita perlukan,” ujar Tjandra.
Dia menuturkan, terdapat empat gejala yang menjadi indikasi kuat seseorang terjangkit penyakit ebola, khususnya bagi mereka yang baru saja pulang dari negara-negara terjangkit. Gejala dimaksud, (1) demam yang tidak diketahui penyebabnya, (2) nyeri otot hebat, (3) gangguan saluran pencernaan, dan (4) manifestasi perdarahan. Menurut dia, gejala demam tersebut belum tentu ebola.
Bisa saja penyakit malaria atau penyakit lain. Memang, demi kewaspadaan dan kehati-hatian, pihak RS mengambil tindakan dengan merawat pasien suspect ebola di ruang isolasi. Selain pemeriksaan dan pemantauan gejala klinis, pasien suspect ebola juga akan diambil spesimen darahnya untuk dikirimkan ke laboratorium Balitbangkes Kemenkes di Jakarta. Untuk mengetahui disebabkan ebola atau bukan, hasil pemeriksaan akan keluar paling lambat 48 jam setelah sampel diterima laboratorium.
”Seluruh sampel memang harus diperiksa di laboratorium kami karena minimal harus memenuhi persyaratan BSL-3 dengan ekstraksi virus di BSC- 3,” urainya.
Neneng zubaedah/ Rahmat sahid/ Ihya’ ulumuddin/ Solichan arif/ Dilieyato/ Sugeng wahyudi
(ars)