Pembentukan DPR Tandingan Dinilai Langgar Hukum
A
A
A
JAKARTA - Tidak hanya tanpa landasan perundang-undangan, pembentukan DPR tandingan dinilai sebagai sebuah pelanggaran hukum.
"Ini bisa disebut melanggar hukum, karena DPR tandingan. Tidak ada itu mekanismenya. Undang-undang yang digunakan hanyalah UU MD3 (MPR, DPR, DPD, DPRD)," ujar ahli hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Oce Madril kepada Sindonews, Sabtu (1/11/2014).
Oce menyarankan anggota DPR yang bergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) untuk menerima DPR yang sudah terbentuk, termasuk komposisi anggota pemimpin alat kelengkapan Dewan (AKD).
"Secara hukum, mereka harusnya menerima itu (keputusan DPR) karena ini sudah konstutisional, tidak ada alasan untuk tidak menerima hal tersebut," papar Oce.
Menurut Oce jika KIH ingin mendapatkan kursi di DPR, seharusnya koalisi pendukung pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) itu melakukan lobi politik yang baik.
"Jika memang menurut KIH pemilihannya alat kelengkapan Dewan tidak proporsional, mereka harusnya bisa bicarakan di internal politik mereka," tandasnya.
"Ini bisa disebut melanggar hukum, karena DPR tandingan. Tidak ada itu mekanismenya. Undang-undang yang digunakan hanyalah UU MD3 (MPR, DPR, DPD, DPRD)," ujar ahli hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Oce Madril kepada Sindonews, Sabtu (1/11/2014).
Oce menyarankan anggota DPR yang bergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) untuk menerima DPR yang sudah terbentuk, termasuk komposisi anggota pemimpin alat kelengkapan Dewan (AKD).
"Secara hukum, mereka harusnya menerima itu (keputusan DPR) karena ini sudah konstutisional, tidak ada alasan untuk tidak menerima hal tersebut," papar Oce.
Menurut Oce jika KIH ingin mendapatkan kursi di DPR, seharusnya koalisi pendukung pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) itu melakukan lobi politik yang baik.
"Jika memang menurut KIH pemilihannya alat kelengkapan Dewan tidak proporsional, mereka harusnya bisa bicarakan di internal politik mereka," tandasnya.
(dam)