Pejabat-Lurah Harus Laporkan Kekayaan

Sabtu, 01 November 2014 - 12:55 WIB
Pejabat-Lurah Harus...
Pejabat-Lurah Harus Laporkan Kekayaan
A A A
JAKARTA - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menangani Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) mulai eselon I-IV hingga lurah.

Pernyataan itu disampaikan Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) seusai berdiskusi dengan pimpinan KPK beserta jajarannya di Gedung KPK, Jakarta, kemarin. Ahok didampingi beberapa jajaran dan direksi BUMD PD Dharma Jaya.

Sementara dari KPK yang turut serta adalah Wakil Ketua KPK M Busyro Muqoddas dan Adnan Pandu Praja, Deputi Pencegahan KPK Johan Budi SP, serta tim Litbang KPK. Pertemuan berlangsung hampir dua jam. Ahok mengatakan, pihaknya berdiskusi dengan jajaran KPK mengenai, pertama, soal PD Dharma Jaya yang berkaitan dengan perdagangan sapi. Kedua, pendaftaran dan pelaporan LHKPN seluruh pejabat eselon di Pemprov DKI. Nanti seluruh pejabat struktural harus melaporkan kekayaan ke KPK.

Sebelumnya banyak pejabat eselon II yang tidak melaporkan kekayaan. Dia juga mewajibkan sampai pejabat bawah, yakni camat dan lurah. “Yang pasti KPK mendukung semua program pemberantasan korupsi di Pemprov DKI. Kita akan membuat sistem dobel seperti sesitim.com. Itu kalau kita klik lurah akan keluar LHKPNnya, jadi masyarakat bisa ikut mengawasi gaya hidup camat, cocok atau enggak. Karena lurah dan camat kan di depan, orang terdepan,” ujar Ahok.

Mantan Bupati Belitung Timur itu mengaku tidak mengetahui alasan mengapa banyak eselon II tidak menyampaikan LHKPN ke KPK. Para pejabat mulai eselon I hingga camat dan lurah yang tidak melaporkan kekayaan akan menerima konsekuensinya. Untuk pejabat eselon bakal diberi sanksi berupa penurunan jabatan menjadi staf biasa. “Jadi pokoknya kalau enggak lapor LHKPN kita pecat jadi staf,” ucapnya.

Menurut dia, LHKPN ini berkaitan dengan transaksi pejabat DKI. Tujuan melaporkan LHKPN yang diperluas hingga eselon IV, camat, dan lurah karena pemprov ingin mempromosikan cashless society dan e-money . Tahun 2015, pejabat DKI Jakarta tidak bisa menarik uang tunai dan cek lagi di atas Rp25 juta. Semua uang harus ditransfer melalui bank atau antarbank/rekening. Jadi kalau pejabat bertransaksi lewat bank, PPATK termasuk KPK mudah memonitornya.

“Kita harap ICW juga membantu dan mengawasi gaya hidup pejabat. Enggak mungkin dong Anda punya jam tangan miliaran gitu . Bayar pajaknya berapa? LHKPN itu bisa ngontrol. Dengan cara transparan seperti ini korupsi dapat ditekan,” ujar Ahok. Poin kedua yang dibahas Ahok beserta KPK adalah soal PD Dharma Jaya dan perdagangan sapi. Pemprov DKI berkeinginan dan berusaha mengamankan kebutuhan daging di Ibu Kota. Menurutnya, dari KPK semua bahan yang diperlukan dan masukannya bisa memperkuat langkah pemprov.

Dia mengungkapkan, di PD Dharma Jaya diduga ada indikasi korupsi karena selama ini hasil pengelolaannya tidak masuk kas daerah. Di PD Dharma Jaya akan ada pergantian direksi. Meski demikian Ahok tidak berencana melebur Dharma Jaya dengan perusahaan lain. Pemprov DKI akan menggunakannya sebagai agen untuk melakukan penjaminan suplai daging sapi lokal. Deputi Pencegahan KPK Johan Budi SP membenarkan KPK berdiskusi dengan Ahok dan jajarannya mengenai dua hal pokok.

Pertama , Pemprov DKI membuka peluang pelaporan LHKPN pejabat di luar ketentuan undang-undang. Artinya, selain gubernur, wakil gubernur, wali kota, pejabat eselon I dan II akan dikembangkan sampai eselon III dan IV. Bahkan, Ahok berencana melebarkan sampai tingkat lurah. “Ini upaya yang bagus, perlu diapresiasi. Langkah ini perlu ditiru. Kalau ini tentu harus ada political will. Akan kita sampaikan juga ke pemprov-pemprov lain. Dalam konteks LHKPN ini perlu diikuti langkah Pak Ahok,” ungkap Johan.

Menurut dia, sebenarnya baru Pemprov DKI yang punya ide pelebaran pelaporan LHKPN ini ke KPK. Di kementerian dan BUMN sudah banyak yang melebar hingga tingkatan bawah (eselon IV) menyangkut seleksi dan promosi jabatan, salah satunya di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Kemudian diterbitkan peraturan Menteri Keuangan (permenkeu). Langkah pelaporan yang diinisiasi Pemprov DKI ini jelas untuk akuntabilitas dan transparansi.

Karena itu, KPK menyarankan tindak lanjutnya harus ada keputusan Gubernur DKI. “Ada kewajiban melaporkan kekayaan. Kerja sama dilakukan dengan KPK karena KPK satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan memeriksa LHKPN,” tuturnya. KPK juga mengapresiasi langkah Ahok membuat kebijakan untuk membatasi transaksi nontunai yang maksimal Rp25 juta. Transaksi di atas nominal itu harus secara online dan rekening.

Hal ini agar transaksi pejabat bisa termonitor jelas. Ini kaitannya dengan LHKPN untuk mendeteksi keluar masuk harta kekayaan. Bila nanti ada transaksi dan harta kekayaan mencurigakan, KPK akan masuk. “Kalau ada temuan pasti ditindaklanjuti,” imbuhnya. Selain itu, KPK masih memikirkan lebih dalam ide dan usulan Ahok mengenai penempatan orang KPK di Pemprov DKI.

Johan dan jajaran kedeputian pencegahan mengusulkan di Pemprov DKI ada program pengendalian gratifikasi (PPG). Ini bertujuan agar kesadaran melaporkan gratifikasi pejabat meningkat. Sebelumnya, PPG pernah ada dan dilakukan penandatanganan nota kesepahaman (MoU ) dengan 37 instansi, termasuk BUMN. “Nanti di DKI kita kerja sama dengan Inspektorat,” kata Johan.

Poin kedua yang didiskusikan adalah hasil kajian KPK mengenai perdagangan sapi di DKI, NTT, dan Jawa timur, termasuk tata kelola daging impor, daging lokal, serta rumah pemotongan hewan (RPH). Pembahasannya dititikberatkan soal tindak lanjut hasil kajian tersebut. Sementara itu, pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia (UI) Roy Valiant Salomo mengapresiasi kebijakan mewajibkan pelaporan harta kekayaan untuk pejabat eselon I sampai IV di lingkungan Pemprov DKI.

Dia mendorong langkah tersebut juga diwajibkan untuk pejabat nonstruktural. Menurut dia, selama ini memang pejabat struktural atau eselon lebih sering bersentuhan dengan keuangan dan pelayanan terutama eselon III karena mereka bisa berhubungan langsung ke bawah dan ke atasnya. Pelayanan di DKI berhubungan dengan perizinan. Tak ayal kondisi itu rentan terjadi penyalahgunaan wewenang sehingga diperlukan pengawasan yang ketat. Apalagi uang beredar di Jakarta sangat banyak yang dapat dilihat dari jumlah nilai APBD sebesar Rp72 triliun.

“Kita berharap pelaporan harta kekayaan itu diwajibkan juga untuk anggota DPRD,” katanya. Diamenambahkan, semangat pelaporan harta kekayaan itu harus diawali dengan semangat akuntabilitas dan transparansi.

Sabir laluhu/ Ilham safutra
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5558 seconds (0.1#10.140)