Kesetaraan Gender Baru Akan Tercipta pada 2095
A
A
A
Major Mariam al-Mansouri, 35, pilot perempuan pertama yang bergabung dalam Angkatan Udara Uni Emirat Arab, duduk di kokpit jet tempur F-16. Laporan World Economic Forum (WEF) menyebutkan kesetaraan gender baru akan tercipta pada 2095 mendatang.( AFP)
Di tengah perjuangan kaum perempuan menutup kesenjangan gender dengan laki-laki, World Economic Forum (WEF) menerbitkan laporan yang menyebutkan bahwa kesetaraan gender baru akan tercipta pada 2095.Itu pun jika perempuan konsisten membangun dirinya dalam bidang ekonomi.
Perempuan memang berhasil mengatasi kesenjangan dengan laki-laki dalam bidang kesehatan dan pendidikan, namun masih kalah produktif ketika berada di tempat kerja. Menurut WEF, kaum hawa baru bisa mengejar ketertinggalannya dari adam 81 tahun lagi. Kendati masih harus melalui perjuangan panjang, WEF mengemukakan bahwa usaha perempuan untuk meraih kesetaraan gender terus mengalami peningkatan.
Selama sembilan tahun terakhir, WEF menemukan banyak perempuan yang kini terlibat dalam jabatanjabatan penting baik dalam politik maupun pekerjaan. Sejak 2006, ketika WEF pertama kalinya mengeluarkan laporan Gender Gap Global tahunan, WEF sudah melihat ada partisipasi aktif perempuan terhadap bidang ekonomi. Keterlibatan perempuan dalam pembangunan yang semula hanya berjumlah 56%, kini sudah meningkat menjadi 60%. Menurut pendiri WEF Klaus Schwab, kesenjangan antara laki-laki dan perempuan baru bisa tertutup secara total ketika dunia mau mengakomodasi perkembangan perempuan.
”Kesetaraan gender diperlukan karena alasan ekonomi. Hanya mereka yang memiliki akses penuh terhadap semua bakat yang akan tetap kompetitif dan beruntung,” kata Schwab, dilansir Channel NewsAsia. Laporan WEF keluar setelah melakukan penelitian yang melibatkan 142 negara. WEF meneliti bagaimana setiap negara mendistribusikan akses layanan kesehatan, pendidikan, partisipasi politik dan sumber daya, serta kesempatan kerja antara perempuan dan laki-laki. Hasil penelitian menunjukkan hampir semua negara membuat kemajuan dalam menutup kesenjangan.
Sebanyak 35 negara sudah menutup kesenjangan secara penuh, sementara 25 negara baru mampu menutup kesenjangan dalam bidang pendidikan, dan 82 lainnya masih berjuang untuk mengatasi kesenjangan. Dari seluruh hasil penelitian, partisipasi dalam bidang politik menjadi poin paling kecil. Tercatat rata-rata hanya ada 21% anggota parlemen perempuan dalam setiap negara. Namun, angka perempuan yang menjadi menteri sudah mulai merangkak ke angka 50%.
Yang mengejutkan dari laporan ini adalah pergerakan perempuan di negara-negara yang dianggap tertinggal. Rwanda dan Kuba misalnya dua negara yang kerap dilanda peperangan ini ternyata memiliki banyak wakil perempuan di kursi parlemen. Jumlahnya bahkan sudah mengalahkan laki-laki. Untuk jabatan menteri perempuan terbanyak dipegang Nikaragua, disusul Swedia, Finlandia, dan Prancis. Negara-negara besar seperti Inggris dan Amerika Serikat (AS) justru tak mampu menembus 10 besar. Inggris turun delapan peringkat ke-26, sementara AS hanya berada di posisi ke-20.
Kegagalan negara besar dalam memperbaiki kesetaraan gender disebabkan ledakan jumlah penduduk. Di negaranegara kecil seperti Rwanda atau Finlandia, jumlah perempuan dan laki-laki relatif sama sehingga lapangan kerja yang tersedia pun dapat menampung hampir semua orang. Ini sangat berbeda dengan Inggris dan AS yang masih mengalami ketimpangan dalam jumlah jam kerja dan gaji. Selain pekerjaan, faktor kekuatan sosial juga mengambil andil dalam kesetaraan gender.
Di India misalnya posisi perempuan dalam memegang jabatan publik cukup banyak. Ini terjadi karena masyarakat India lebih mempercayai perempuan dalam membangun kehidupan yang lebih baik. Terlepas dari gagalnya negara besar dalam mengatasi ketimpangan gender, WEF menyimpulkan dunia sudah berhasil naik tingkat dalam mengatasi diskriminasi gender. Namun, untuk mewujudkan kesetaraan total dibutuhkan upaya lebih keras dan cepat untuk mewujudkannya terutama dalam bidang ekonomi.
”Dibanding sembilan tahun lalu, hasil tahun ini menunjukkan ada perubahan besar dalam dunia kesetaraan gender, namun itu tidak cukup. Di beberapa daerah laju perubahan masih membutuhkan penganan yang cepat,” ungkap sang penulis laporan, Saadia Zahidi.
RINI AGUSTINA
Di tengah perjuangan kaum perempuan menutup kesenjangan gender dengan laki-laki, World Economic Forum (WEF) menerbitkan laporan yang menyebutkan bahwa kesetaraan gender baru akan tercipta pada 2095.Itu pun jika perempuan konsisten membangun dirinya dalam bidang ekonomi.
Perempuan memang berhasil mengatasi kesenjangan dengan laki-laki dalam bidang kesehatan dan pendidikan, namun masih kalah produktif ketika berada di tempat kerja. Menurut WEF, kaum hawa baru bisa mengejar ketertinggalannya dari adam 81 tahun lagi. Kendati masih harus melalui perjuangan panjang, WEF mengemukakan bahwa usaha perempuan untuk meraih kesetaraan gender terus mengalami peningkatan.
Selama sembilan tahun terakhir, WEF menemukan banyak perempuan yang kini terlibat dalam jabatanjabatan penting baik dalam politik maupun pekerjaan. Sejak 2006, ketika WEF pertama kalinya mengeluarkan laporan Gender Gap Global tahunan, WEF sudah melihat ada partisipasi aktif perempuan terhadap bidang ekonomi. Keterlibatan perempuan dalam pembangunan yang semula hanya berjumlah 56%, kini sudah meningkat menjadi 60%. Menurut pendiri WEF Klaus Schwab, kesenjangan antara laki-laki dan perempuan baru bisa tertutup secara total ketika dunia mau mengakomodasi perkembangan perempuan.
”Kesetaraan gender diperlukan karena alasan ekonomi. Hanya mereka yang memiliki akses penuh terhadap semua bakat yang akan tetap kompetitif dan beruntung,” kata Schwab, dilansir Channel NewsAsia. Laporan WEF keluar setelah melakukan penelitian yang melibatkan 142 negara. WEF meneliti bagaimana setiap negara mendistribusikan akses layanan kesehatan, pendidikan, partisipasi politik dan sumber daya, serta kesempatan kerja antara perempuan dan laki-laki. Hasil penelitian menunjukkan hampir semua negara membuat kemajuan dalam menutup kesenjangan.
Sebanyak 35 negara sudah menutup kesenjangan secara penuh, sementara 25 negara baru mampu menutup kesenjangan dalam bidang pendidikan, dan 82 lainnya masih berjuang untuk mengatasi kesenjangan. Dari seluruh hasil penelitian, partisipasi dalam bidang politik menjadi poin paling kecil. Tercatat rata-rata hanya ada 21% anggota parlemen perempuan dalam setiap negara. Namun, angka perempuan yang menjadi menteri sudah mulai merangkak ke angka 50%.
Yang mengejutkan dari laporan ini adalah pergerakan perempuan di negara-negara yang dianggap tertinggal. Rwanda dan Kuba misalnya dua negara yang kerap dilanda peperangan ini ternyata memiliki banyak wakil perempuan di kursi parlemen. Jumlahnya bahkan sudah mengalahkan laki-laki. Untuk jabatan menteri perempuan terbanyak dipegang Nikaragua, disusul Swedia, Finlandia, dan Prancis. Negara-negara besar seperti Inggris dan Amerika Serikat (AS) justru tak mampu menembus 10 besar. Inggris turun delapan peringkat ke-26, sementara AS hanya berada di posisi ke-20.
Kegagalan negara besar dalam memperbaiki kesetaraan gender disebabkan ledakan jumlah penduduk. Di negaranegara kecil seperti Rwanda atau Finlandia, jumlah perempuan dan laki-laki relatif sama sehingga lapangan kerja yang tersedia pun dapat menampung hampir semua orang. Ini sangat berbeda dengan Inggris dan AS yang masih mengalami ketimpangan dalam jumlah jam kerja dan gaji. Selain pekerjaan, faktor kekuatan sosial juga mengambil andil dalam kesetaraan gender.
Di India misalnya posisi perempuan dalam memegang jabatan publik cukup banyak. Ini terjadi karena masyarakat India lebih mempercayai perempuan dalam membangun kehidupan yang lebih baik. Terlepas dari gagalnya negara besar dalam mengatasi ketimpangan gender, WEF menyimpulkan dunia sudah berhasil naik tingkat dalam mengatasi diskriminasi gender. Namun, untuk mewujudkan kesetaraan total dibutuhkan upaya lebih keras dan cepat untuk mewujudkannya terutama dalam bidang ekonomi.
”Dibanding sembilan tahun lalu, hasil tahun ini menunjukkan ada perubahan besar dalam dunia kesetaraan gender, namun itu tidak cukup. Di beberapa daerah laju perubahan masih membutuhkan penganan yang cepat,” ungkap sang penulis laporan, Saadia Zahidi.
RINI AGUSTINA
(ars)