Legitimasi Jokowi Kian Tergerus Jika Salah Pilih Menteri
A
A
A
JAKARTA - Pembentukan kabinet bersih dan profesional merupakan batu ujian utama dari integritas kepemimpinan dan legitimasi politik Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Menurut Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII) Raja Juli Antoni, dalam ilmu politik legitimasi itu tidak given tapi flexible, bisa surplus dan bisa pula defisit tergantung kemampuan mengelolanya. Ia melihat, sampai pelantikan kemarin yang diikuti pesta rakyat memperlihatkan Jokowi surplus legitimasi.
Namun, rencana pengumuman kabinet di Tanjung Priok yang batal mulai menjadi tanda tanya bagi publik tentang 'independesi dan otonomi' Jokowi sebagai presiden dari intervensi politik termasuk dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Tergerusnya legitimasi Jokowi juga bisa tejadi bila ia tidak mengindahkan rekomendasi KPK dan PPATK dengan memaksakan nama-nama kandidat menteri yang "distabilo" merah atau kuning.
"Kemungkinan tergerusnya legitimasi Jokowi bertambah ketika beredar isu bahwa Jokowi memakai nama-nama lama dan bukan profesional terbaik di bidangnya," jelas Raja Juli Antoni melalui rilisnya kepada Sindonews, Jumat (24/10/2014) malam.
Misalnya, Menteri Pertahanan yang sejak era reformasi dipercayakan kepada sipil, dikabarkan akan dipercayakan kepada Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu. Mantan KSAD tersebut memiliki gaya komunikasi yang kaku.
Menurutnya, munculnya nama Jenderal (Purn) Wiranto juga patut disayangkan. Selain terlalu senior, Wiranto diduga keras terlibat dalam panggaran HAM selama bertugas di ABRI.
"Padahal ada beberapa nama, profesional muda seperti Andi Widjajanto, Rizal Sukma atau Jaleswari Pramodhawardani, yang selama ini sudah berada di sekeliling Jokowi," jelasnya.
Begitu juga posisi Menteri Luar Negeri, kabarnya akan dipercayakan kepada Retno Marsudi ditengarai titipan dari Ketua Umum PDIP. Menurut informasi dari internal Kemenlu, Retno adalah diplomat karir yang prestasinya tidak mencolok.
Padahal, di internal Deplu, ada diplomat profesional berprestasi seperti Havaz Oegroseno, Andri Hadi (dubes Indonesia untuk Singapura) atau Umar Hadi (konjen Indonesia di LA).
"Atau bila melihat kompleksitas reformasi internal yang dihadapi Deplu serta tantangan ke depan (kemenlu sebagai 'marketing' ekonomi Indonesia) Jokowi mestinya bisa memilih calon menteri dari pejabat non-karir seperi Rizal Sukma, Direktur Eksekutif CSIS atau Hikmahanto Juwana (guru besar UI)," bebernya.
Lebih dari itu, pembentukan kabinet ini juga perlu memperhatikan aspek struktur sosiologis-kultural bangsa Indonesia. Kelompok minoritas mesti diakomodasi di kabinet. Begitu pula NU dan Muhammadiyah sebagai ormas terbesar di Indonesia mesti diakomodasi di jajaran kabinet.
Jokowi memerlukan dukungan politik dari kedua ormas itu, terutama dalam konteks Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia. Sekaligus guna melibatkan dukungan kedua kedua ormas itu dalam menangkal gerakan Islam radikal yang potensial merusak sendi-sendi kebangsaan Indonesia sebagai negara plural berbasiskan Pancasila.
"Secara konvensional NU wajar mendapatkan posisi Menteri Agama dan Muhammadiyah menduduki Menteri Pendidikan atau Kesehatan," tegas jebolan the University of Queensland, Brisbane, Australia ini.
Menurut Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII) Raja Juli Antoni, dalam ilmu politik legitimasi itu tidak given tapi flexible, bisa surplus dan bisa pula defisit tergantung kemampuan mengelolanya. Ia melihat, sampai pelantikan kemarin yang diikuti pesta rakyat memperlihatkan Jokowi surplus legitimasi.
Namun, rencana pengumuman kabinet di Tanjung Priok yang batal mulai menjadi tanda tanya bagi publik tentang 'independesi dan otonomi' Jokowi sebagai presiden dari intervensi politik termasuk dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Tergerusnya legitimasi Jokowi juga bisa tejadi bila ia tidak mengindahkan rekomendasi KPK dan PPATK dengan memaksakan nama-nama kandidat menteri yang "distabilo" merah atau kuning.
"Kemungkinan tergerusnya legitimasi Jokowi bertambah ketika beredar isu bahwa Jokowi memakai nama-nama lama dan bukan profesional terbaik di bidangnya," jelas Raja Juli Antoni melalui rilisnya kepada Sindonews, Jumat (24/10/2014) malam.
Misalnya, Menteri Pertahanan yang sejak era reformasi dipercayakan kepada sipil, dikabarkan akan dipercayakan kepada Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu. Mantan KSAD tersebut memiliki gaya komunikasi yang kaku.
Menurutnya, munculnya nama Jenderal (Purn) Wiranto juga patut disayangkan. Selain terlalu senior, Wiranto diduga keras terlibat dalam panggaran HAM selama bertugas di ABRI.
"Padahal ada beberapa nama, profesional muda seperti Andi Widjajanto, Rizal Sukma atau Jaleswari Pramodhawardani, yang selama ini sudah berada di sekeliling Jokowi," jelasnya.
Begitu juga posisi Menteri Luar Negeri, kabarnya akan dipercayakan kepada Retno Marsudi ditengarai titipan dari Ketua Umum PDIP. Menurut informasi dari internal Kemenlu, Retno adalah diplomat karir yang prestasinya tidak mencolok.
Padahal, di internal Deplu, ada diplomat profesional berprestasi seperti Havaz Oegroseno, Andri Hadi (dubes Indonesia untuk Singapura) atau Umar Hadi (konjen Indonesia di LA).
"Atau bila melihat kompleksitas reformasi internal yang dihadapi Deplu serta tantangan ke depan (kemenlu sebagai 'marketing' ekonomi Indonesia) Jokowi mestinya bisa memilih calon menteri dari pejabat non-karir seperi Rizal Sukma, Direktur Eksekutif CSIS atau Hikmahanto Juwana (guru besar UI)," bebernya.
Lebih dari itu, pembentukan kabinet ini juga perlu memperhatikan aspek struktur sosiologis-kultural bangsa Indonesia. Kelompok minoritas mesti diakomodasi di kabinet. Begitu pula NU dan Muhammadiyah sebagai ormas terbesar di Indonesia mesti diakomodasi di jajaran kabinet.
Jokowi memerlukan dukungan politik dari kedua ormas itu, terutama dalam konteks Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia. Sekaligus guna melibatkan dukungan kedua kedua ormas itu dalam menangkal gerakan Islam radikal yang potensial merusak sendi-sendi kebangsaan Indonesia sebagai negara plural berbasiskan Pancasila.
"Secara konvensional NU wajar mendapatkan posisi Menteri Agama dan Muhammadiyah menduduki Menteri Pendidikan atau Kesehatan," tegas jebolan the University of Queensland, Brisbane, Australia ini.
(kri)