MK Beberkan Syarat Pemakzulan Presiden
A
A
A
JAKARTA - Kabar pemakzulan (impeachment) terhadap Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) semakin menguat setelah Koalisi Merah Putih (KMP) menguasai Parlemen. Lalu, apa saja syarat agar pemakzulan terhadap seorang Presiden itu bisa dikabulkan?
"Itu sangat-sangat normatif, sulit sekali sekarang. Jadi, kalau kita baca UUD, kalau dulu itu sangat politis, kalau sekarang tidak politis, tapi sangat yuridis," ujar Wakil Ketua MK Arief Hidayat di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (9/10/2014).
Dia mengatakan, permohonan pemakzulan itu meski diajukan oleh DPR ke MK. Dalam permohonannya, DPR menilai presiden itu telah melanggar UUD atau melanggar pidana yang berat.
"MK menilai apakah betul-betul melanggar UUD, atau melanggar pidana yang berat. Baru kemudian oleh MK diputus, ya atau tidak. Kalau diputus iya, dikembalikan ke DPR, DPR mengundang MPR untuk meresmikan, baru bisa MPR menyetujui," kata Arief.
Menurut dia, proses pemakzulan saat ini berbeda dengan zaman era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). "Kalau dulu kan cukup dari DPR, kemudian ke MPR, baru langsung. Bedanya itu. Coba baca UUD," tuturnya.
Dia berpendapat, proses pemakzulan presiden saat ini lebih rumit. "Karena sistem kita kan sekarang presidensial. Presiden itu dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga sangat susah. Beda dengan yang dulu, pada waktu jamannya Gus Dur. Dulu sangat politis. Kalau sekarang sangat yuridis," ucapnya.
Arief menambahkan saat Gus Dur jatuh dari kursi presiden, itu merupakan pemakzulan. Hanya saja, Gus Dur lengser karena kekuatan politis.
"Ya sama saja. Pemakzulan sebetulnya. Sama saja, tapi dulu politis. Ukurannya politis. Kalau sekarang perlu pendapat MK, pendapat MK bagaimana, itu pelanggaran hukum apa tidak, pelanggaran konstitusi apa tidak. Baru kirim kembali ke DPR, DPR panggil MPR bersidang, baru," pungkasnya.
"Itu sangat-sangat normatif, sulit sekali sekarang. Jadi, kalau kita baca UUD, kalau dulu itu sangat politis, kalau sekarang tidak politis, tapi sangat yuridis," ujar Wakil Ketua MK Arief Hidayat di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (9/10/2014).
Dia mengatakan, permohonan pemakzulan itu meski diajukan oleh DPR ke MK. Dalam permohonannya, DPR menilai presiden itu telah melanggar UUD atau melanggar pidana yang berat.
"MK menilai apakah betul-betul melanggar UUD, atau melanggar pidana yang berat. Baru kemudian oleh MK diputus, ya atau tidak. Kalau diputus iya, dikembalikan ke DPR, DPR mengundang MPR untuk meresmikan, baru bisa MPR menyetujui," kata Arief.
Menurut dia, proses pemakzulan saat ini berbeda dengan zaman era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). "Kalau dulu kan cukup dari DPR, kemudian ke MPR, baru langsung. Bedanya itu. Coba baca UUD," tuturnya.
Dia berpendapat, proses pemakzulan presiden saat ini lebih rumit. "Karena sistem kita kan sekarang presidensial. Presiden itu dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga sangat susah. Beda dengan yang dulu, pada waktu jamannya Gus Dur. Dulu sangat politis. Kalau sekarang sangat yuridis," ucapnya.
Arief menambahkan saat Gus Dur jatuh dari kursi presiden, itu merupakan pemakzulan. Hanya saja, Gus Dur lengser karena kekuatan politis.
"Ya sama saja. Pemakzulan sebetulnya. Sama saja, tapi dulu politis. Ukurannya politis. Kalau sekarang perlu pendapat MK, pendapat MK bagaimana, itu pelanggaran hukum apa tidak, pelanggaran konstitusi apa tidak. Baru kirim kembali ke DPR, DPR panggil MPR bersidang, baru," pungkasnya.
(kri)