Perppu Pilkada Tidak Tepat Menurut Hukum
A
A
A
MAKASSAR - Perppu pengganti sementara UU Pilkada yang dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dinilai tidak tepat menurut kaidah hukum.
Hal itu dikatakan pakar hukum tata negara Universitas Andi Djemma Palopo, Sulsel, Prof Lauddin Marsuni. Menurutnya Perppu baru dikeluarkan jika dalam keadaan genting.
Lalu apa yang dimaksud dengan negara berada dalam keadaan kegentingan yang memaksa?.
"Menurut pandangan saya saat ini negara tidak dalam ikhwal kegentingan yang memaksa, karena warga negara yang dirugikan hak konstitusional dapat menggunakan prosedur judicial review ke MK," kata Lauddin di Makassar, Kamis 2 Oktober 2014.
Sehingga, lanjut dia, syarat materil untuk menetapkan Perppu tentang perubahan atau penundaan berlakunya UU Pilkada tidak terpenuhi.
Lauddin yang juga tenaga ahli bidang legislasi DPRD Sulsel mengemukakan, pemikiran presiden menerbitkan Perppu untuk memberi solusi yuridis atas penolakan sebagian warga negara terhadap UU Pilkada.
Dia menyebut, hingga kini, UU tersebut belum ditetapkan oleh presiden dan belum di undangkan dalam lembaran negara. Bagi Lauddin, UU Pilkada adalah produk hukum yang merupakan persetujuan bersama antar DPR dan Presiden.
Sehingga presiden (pemerintah) tidak memperhatikan azas-azas pembentukan peraturan perundang-undangan.
"Presiden mempermalukan lembaga sendiri, akibat kurang cermat dalam pembahasan dan persetujuan bersama. UU yang ditetapkan tanpa persujuan bersama, adalah produk hukum bersifat cacat prosedur, maka solusinya adalah perubahan," tuturnya.
Lauddin berharap, kejadian persetujuan DPR tentang UU Pilkada yang dilakukan melalui voting yang mengundang penolakan dari warga negara tidak terulang masa yang akan datang.
"Karena itu, DPR melalui pansus atau panja memperbanyak rapat dengar pendapat dengan pemangku kepentingan," pungkasnya.
Hal itu dikatakan pakar hukum tata negara Universitas Andi Djemma Palopo, Sulsel, Prof Lauddin Marsuni. Menurutnya Perppu baru dikeluarkan jika dalam keadaan genting.
Lalu apa yang dimaksud dengan negara berada dalam keadaan kegentingan yang memaksa?.
"Menurut pandangan saya saat ini negara tidak dalam ikhwal kegentingan yang memaksa, karena warga negara yang dirugikan hak konstitusional dapat menggunakan prosedur judicial review ke MK," kata Lauddin di Makassar, Kamis 2 Oktober 2014.
Sehingga, lanjut dia, syarat materil untuk menetapkan Perppu tentang perubahan atau penundaan berlakunya UU Pilkada tidak terpenuhi.
Lauddin yang juga tenaga ahli bidang legislasi DPRD Sulsel mengemukakan, pemikiran presiden menerbitkan Perppu untuk memberi solusi yuridis atas penolakan sebagian warga negara terhadap UU Pilkada.
Dia menyebut, hingga kini, UU tersebut belum ditetapkan oleh presiden dan belum di undangkan dalam lembaran negara. Bagi Lauddin, UU Pilkada adalah produk hukum yang merupakan persetujuan bersama antar DPR dan Presiden.
Sehingga presiden (pemerintah) tidak memperhatikan azas-azas pembentukan peraturan perundang-undangan.
"Presiden mempermalukan lembaga sendiri, akibat kurang cermat dalam pembahasan dan persetujuan bersama. UU yang ditetapkan tanpa persujuan bersama, adalah produk hukum bersifat cacat prosedur, maka solusinya adalah perubahan," tuturnya.
Lauddin berharap, kejadian persetujuan DPR tentang UU Pilkada yang dilakukan melalui voting yang mengundang penolakan dari warga negara tidak terulang masa yang akan datang.
"Karena itu, DPR melalui pansus atau panja memperbanyak rapat dengar pendapat dengan pemangku kepentingan," pungkasnya.
(maf)