Manuver SBY Tidak Teken UU Pilkada Penuh Risiko
A
A
A
JAKARTA - Politikus senior Partai Golkar, Slamet Effendi Yusuf mengatakan, niat Presiden SBY untuk tidak tanda tangan UU Pilkada akan berisiko.
Hal itu dikatakan Slamet Effendy di akun Facebooknya. Sedangkan dia kini tengah berada di kota suci Makkah.
"Pak Sby Yth. Saya sedang di Makkah. Dari tanah air saya membaca berita tentang niat Bpk (SBY)," ucap Slamet Effendy, Rabu 1 Oktober 2014.
"1. Tidak menandatangani RUU Pilkada yang sudah disahkan menjadi UU atau 2. Menandatangani RUU itu, lalu dilanjutkan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU," imbuhnya.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu menegaskan, dirinya mengetahui niat SBY tersebut merupakan hasil dari dengar pendapat dengan Yusril Ihza Mahendra dan Denny JA.
"Saya mendengar niat Bapak melakukan salah satu dari dua opsi itu setelah mendengar saran dan pendapat dari Prof Yusril IM dan Dr Denny JA," ungkapnya.
"Pak SBY Yth. Menurut saya dua langkah itu sama-sama mengandung risiko dari sudut ketatanegaraan dan politik. Karena dua cara itu sama-sana memuat subtansi yang tricky, akal-akalan," tambahnya.
Diakui Slamet, yang dilakukan tersebut bukanlah substansi penegakan tradisi ketatanegaraan yang benar serta praktika politik yang menghargai proses politik yang objektif.
"Padahal 10 tahun Bpk memerintah, dua hal itu selalu dipegang teguh. Oleh karena itu anjuran saya sebaiknya dua hal itu tidak ditempuh. Karena akan menimbulkan problem konstitusional yang membawa krisis serius pada kehidupan politik nasional kita," pungkasnya.
Hal itu dikatakan Slamet Effendy di akun Facebooknya. Sedangkan dia kini tengah berada di kota suci Makkah.
"Pak Sby Yth. Saya sedang di Makkah. Dari tanah air saya membaca berita tentang niat Bpk (SBY)," ucap Slamet Effendy, Rabu 1 Oktober 2014.
"1. Tidak menandatangani RUU Pilkada yang sudah disahkan menjadi UU atau 2. Menandatangani RUU itu, lalu dilanjutkan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU," imbuhnya.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu menegaskan, dirinya mengetahui niat SBY tersebut merupakan hasil dari dengar pendapat dengan Yusril Ihza Mahendra dan Denny JA.
"Saya mendengar niat Bapak melakukan salah satu dari dua opsi itu setelah mendengar saran dan pendapat dari Prof Yusril IM dan Dr Denny JA," ungkapnya.
"Pak SBY Yth. Menurut saya dua langkah itu sama-sama mengandung risiko dari sudut ketatanegaraan dan politik. Karena dua cara itu sama-sana memuat subtansi yang tricky, akal-akalan," tambahnya.
Diakui Slamet, yang dilakukan tersebut bukanlah substansi penegakan tradisi ketatanegaraan yang benar serta praktika politik yang menghargai proses politik yang objektif.
"Padahal 10 tahun Bpk memerintah, dua hal itu selalu dipegang teguh. Oleh karena itu anjuran saya sebaiknya dua hal itu tidak ditempuh. Karena akan menimbulkan problem konstitusional yang membawa krisis serius pada kehidupan politik nasional kita," pungkasnya.
(maf)