Komunisme Masih Mengancam
A
A
A
JAKARTA - Pancasila sebagai sebuah ideologi bangsa Indonesia masih rawan terhadap berbagai ancaman. Salah satunya dari paham komunisme yang bersembunyi di balik semboyan demokrasi.
Budayawan Taufik Ismail menuturkan, upaya sejumlah pihak untuk mengganti Pancasila dengan ideologi komunis telah berulangkali terjadi di Indonesia terhitung sejak 1926, 1946, 1948 dan 1965.
Beruntung setiap aksinya, Indonesia berhasil diselamatkan Tuhan YME dan keteguhan masyarakat menjalankan Pancasila sehingga upaya tersebut gagal.
Meski tidak lagi muncul sebagai sebuah partai karena tidak diperbolehkan lagi, kata Taufik, namun ideologi komunis hingga kini masih ada dan berkembang di Indonesia.
Bahkan, sampai saat ini ada beberapa tokoh yang masih gigih menghidupkan kembali paham tersebut.
"Masih ada, memang tidak muncul sebagai partai karena tidak diperbolehkan. Akan tetapi sebagai ide masih, dalam suasana yang liberalistis dan demokratis seperti sekarang," ujar Taufik saat menjadi pembicara dalam seminar Hari Kesaktian Pancasila dengan tema Menegakkan Pancasila di Universitas Mercu Buana, Rabu (1/10/2014).
Dalam penafsiran demokrasi misalnya, kelompok tersebut menganggap semua hal bisa dibentuk termasuk mewujudkan ideologi komunis.
"Semua cara mereka lakukan untuk itu, meski tidak seluruhnya nyata tapi sangat terasa keberadaannya. Karenanya, peran negara sangat penting dengan memegang teguh undang-undang," ujarnya.
Dia mengibaratkan paham komunisme seperti penyakit menular yang terus menyebarkan pengaruhnya.
Hal ini, lanjut dia, harus dicegah,bila tidak maka banyak yang akan menjadi korban.
Berdasarkan penelitian literatur yang dilakukannya, dalam kurun waktu 74 tahun, penyebaran paham komunis di 76 negara telah membunuh 120 juta manusia. Artinya, sebanyak 4.500 orang per hari dibunuh.
"Tidak ada ideologi di dunia seperti itu, Hitler saja kalah karena cuma 1/3. Ini bukan ideologi tapi penyakit menular. Kita menolak penyakit menular yang jahat. Makanya harus dicegah dan dilarang," katanya.
Pelarangan ini tidak bisa dikatakan melanggar hak asasi sebab, negara harus menjamin keselamatan rakyatnya.
Di Italia, partai fasis dilarang. Begitu juga di Jerman yang melarang paham nazi dan komunis.
Taufik menegaskan, negara punya tanggung jawab menjelaskan dampak dari paham komunis kepada generasi penerus bangsa. Salah satunya melalui pendidikan.
Kurangnya pemahaman generasi muda terhadap faham komunis, tambah Taufik, karena belum maksimalnya sistem pendidikan yang ada.
"Saya tidak menyalahkan anak muda, wong literatur dan pengajarnya terbatas, sejarah bukan tidak diajarkan, tetap diajarkan tapi hendaknya materi ini disempurnakan," kata penyair ini.
Pengamat politik Heri Budianto mengatakan, bukan hanya paham komunisme yang harus diwaspadai, tapi juga kapitalisme dan liberalisme.
Paham tersebut memengaruhi pola fikir dan perilaku masyarakat tanpa disadari. Hal itu dapat dilihat dari perubahan perilaku dan sikap nasionalisme.
"Ancaman terhadap ideologi Pancasila akan selalu datang dalam bentuk beragam. Kalau komunisme jadi ancaman maka kapitalis dan imprealisme juga musuh kita. Di era sekarang ini yang menjadi sasaran tembak adalah mind set kita. Ini bentuk penjajahan baru," kata dia.
Direktur PolcoMM Institute ini menyadari, kurangnya pemahaman generasi sekarang terhadap bahaya komunisme karena informasi yang mereka terima tidak bersifat faktual.
"Perlu ada pembenahan sistem pendidikan utamanya kurikulum agar pemahaman terhadap sesuatu itu utuh," paparnya.
Budayawan Taufik Ismail menuturkan, upaya sejumlah pihak untuk mengganti Pancasila dengan ideologi komunis telah berulangkali terjadi di Indonesia terhitung sejak 1926, 1946, 1948 dan 1965.
Beruntung setiap aksinya, Indonesia berhasil diselamatkan Tuhan YME dan keteguhan masyarakat menjalankan Pancasila sehingga upaya tersebut gagal.
Meski tidak lagi muncul sebagai sebuah partai karena tidak diperbolehkan lagi, kata Taufik, namun ideologi komunis hingga kini masih ada dan berkembang di Indonesia.
Bahkan, sampai saat ini ada beberapa tokoh yang masih gigih menghidupkan kembali paham tersebut.
"Masih ada, memang tidak muncul sebagai partai karena tidak diperbolehkan. Akan tetapi sebagai ide masih, dalam suasana yang liberalistis dan demokratis seperti sekarang," ujar Taufik saat menjadi pembicara dalam seminar Hari Kesaktian Pancasila dengan tema Menegakkan Pancasila di Universitas Mercu Buana, Rabu (1/10/2014).
Dalam penafsiran demokrasi misalnya, kelompok tersebut menganggap semua hal bisa dibentuk termasuk mewujudkan ideologi komunis.
"Semua cara mereka lakukan untuk itu, meski tidak seluruhnya nyata tapi sangat terasa keberadaannya. Karenanya, peran negara sangat penting dengan memegang teguh undang-undang," ujarnya.
Dia mengibaratkan paham komunisme seperti penyakit menular yang terus menyebarkan pengaruhnya.
Hal ini, lanjut dia, harus dicegah,bila tidak maka banyak yang akan menjadi korban.
Berdasarkan penelitian literatur yang dilakukannya, dalam kurun waktu 74 tahun, penyebaran paham komunis di 76 negara telah membunuh 120 juta manusia. Artinya, sebanyak 4.500 orang per hari dibunuh.
"Tidak ada ideologi di dunia seperti itu, Hitler saja kalah karena cuma 1/3. Ini bukan ideologi tapi penyakit menular. Kita menolak penyakit menular yang jahat. Makanya harus dicegah dan dilarang," katanya.
Pelarangan ini tidak bisa dikatakan melanggar hak asasi sebab, negara harus menjamin keselamatan rakyatnya.
Di Italia, partai fasis dilarang. Begitu juga di Jerman yang melarang paham nazi dan komunis.
Taufik menegaskan, negara punya tanggung jawab menjelaskan dampak dari paham komunis kepada generasi penerus bangsa. Salah satunya melalui pendidikan.
Kurangnya pemahaman generasi muda terhadap faham komunis, tambah Taufik, karena belum maksimalnya sistem pendidikan yang ada.
"Saya tidak menyalahkan anak muda, wong literatur dan pengajarnya terbatas, sejarah bukan tidak diajarkan, tetap diajarkan tapi hendaknya materi ini disempurnakan," kata penyair ini.
Pengamat politik Heri Budianto mengatakan, bukan hanya paham komunisme yang harus diwaspadai, tapi juga kapitalisme dan liberalisme.
Paham tersebut memengaruhi pola fikir dan perilaku masyarakat tanpa disadari. Hal itu dapat dilihat dari perubahan perilaku dan sikap nasionalisme.
"Ancaman terhadap ideologi Pancasila akan selalu datang dalam bentuk beragam. Kalau komunisme jadi ancaman maka kapitalis dan imprealisme juga musuh kita. Di era sekarang ini yang menjadi sasaran tembak adalah mind set kita. Ini bentuk penjajahan baru," kata dia.
Direktur PolcoMM Institute ini menyadari, kurangnya pemahaman generasi sekarang terhadap bahaya komunisme karena informasi yang mereka terima tidak bersifat faktual.
"Perlu ada pembenahan sistem pendidikan utamanya kurikulum agar pemahaman terhadap sesuatu itu utuh," paparnya.
(dam)