Kepercayaan Publik terhadap Penegakan Hukum Masih Rendah
A
A
A
JAKARTA - Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dinilai masih rendah. Lemahnya profesionalisme penegak hukum dan pengawasan masih menjadi kendala.
Kondisi itu dinilai akibat masih diabaikannya lima prinsip dalam mewujudkan supremasi hukum.
Indonesia Legal Roundtable (ILR) menjelaskan lima prinsip tersebut. Pertama, pemerintahan yang berdasarkan hukum dan sistem pengawasan yang efektif dan keseimbangan legislatif dan eksekutif.
"Permasalahan mendasar dari prinsip ini adalah tidak adanya pengawasan yang efektif, baik oleh parlemen, pengadilan, pengawasan internal pemerintah maupun komisi negara independen," tutur Direktur ILR Todung Mulya Lubis di Hotel Manhattan, Jakarta Selatan, Jumat (19/9/2014).
Prinsip kedua adalah peraturan yang jelas, pasti dan jaminan partisipasi publik dalam pembentukan peraturan.
ILR menilai masih banyak masalah yang berhubungan dengan kejelasan materi peraturan yang dinilai multitafsir.
Prinsip ketiga, kekuasaan kehakiman yang merujuk pada independensi kekuasaan kehakiman dan akuntabilitas kekuasaan kehakiman.
Todung mengatakan independensi hakim masih bermasalah, terutama masih rentan terhadap suap.
Prinsip keempat, kata dia, akses terhadap keadilan yang terbagi dalam ketersediaan aturan, proses dan pemulihan hak warga negara.
ILR masih menemukan masih ada proses peradilan di Indonesia yang bermasalah karena tidak adanya jaminan atau pengaturan dalam larangan dari suap dan pungutan liar.
Prinsip kelima adalah tentang penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM).
Secara umum komitmen negara dalam menjamin HAM di tataran regulasi konstitusi serta perundang-undangan cukup memadai.
"Untuk jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan masih ada distorsi dalam bentuk peraturan daerah," tandasnya.
Hasil survei dan kajian ILR ini dipublikasi dalam sebuah buku berjudul "Indeks Negara Hukum Indonesia Tahun 2013."
Survei ini menggunakan 198 orang ahli yang tersebar di seluruh provinsi Indonesia, semuanya mendapat total 330 kuisioner.
Responden tersebut memiliki latar belakang profesi berbeda, seperti akademisi, aktivis, advokat, dan komisioner atau tenaga ahli komisi negara independen.
Kondisi itu dinilai akibat masih diabaikannya lima prinsip dalam mewujudkan supremasi hukum.
Indonesia Legal Roundtable (ILR) menjelaskan lima prinsip tersebut. Pertama, pemerintahan yang berdasarkan hukum dan sistem pengawasan yang efektif dan keseimbangan legislatif dan eksekutif.
"Permasalahan mendasar dari prinsip ini adalah tidak adanya pengawasan yang efektif, baik oleh parlemen, pengadilan, pengawasan internal pemerintah maupun komisi negara independen," tutur Direktur ILR Todung Mulya Lubis di Hotel Manhattan, Jakarta Selatan, Jumat (19/9/2014).
Prinsip kedua adalah peraturan yang jelas, pasti dan jaminan partisipasi publik dalam pembentukan peraturan.
ILR menilai masih banyak masalah yang berhubungan dengan kejelasan materi peraturan yang dinilai multitafsir.
Prinsip ketiga, kekuasaan kehakiman yang merujuk pada independensi kekuasaan kehakiman dan akuntabilitas kekuasaan kehakiman.
Todung mengatakan independensi hakim masih bermasalah, terutama masih rentan terhadap suap.
Prinsip keempat, kata dia, akses terhadap keadilan yang terbagi dalam ketersediaan aturan, proses dan pemulihan hak warga negara.
ILR masih menemukan masih ada proses peradilan di Indonesia yang bermasalah karena tidak adanya jaminan atau pengaturan dalam larangan dari suap dan pungutan liar.
Prinsip kelima adalah tentang penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM).
Secara umum komitmen negara dalam menjamin HAM di tataran regulasi konstitusi serta perundang-undangan cukup memadai.
"Untuk jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan masih ada distorsi dalam bentuk peraturan daerah," tandasnya.
Hasil survei dan kajian ILR ini dipublikasi dalam sebuah buku berjudul "Indeks Negara Hukum Indonesia Tahun 2013."
Survei ini menggunakan 198 orang ahli yang tersebar di seluruh provinsi Indonesia, semuanya mendapat total 330 kuisioner.
Responden tersebut memiliki latar belakang profesi berbeda, seperti akademisi, aktivis, advokat, dan komisioner atau tenaga ahli komisi negara independen.
(dam)