Kelemahan Pemilukada Langsung dan DPRD versi Mahfud
A
A
A
JAKARTA - Mantan Ketua MK Mahfud MD angkat bicara terkait masalah yang ditimbulkan dari pemilukada langsung maupun oleh DPRD. Pasalnya, kedua model pelaksanaan pilkada tersebut sama-sama bermasalah.
Menurut Mahfud, pemilukada oleh DPRD berdampak pada terjadinya politik uang yang lebih tertutup, bisa tersembunyi dan dalam jumlah yang besar. Namun, praktik politik uang itu hanya terbatas pada orang-orang elite partai dan anggota DPRD.
"Ini berdasar pengalaman yang sudah-sudah ya. Yang itu bisa saja terjadi lagi saat kita memilih opsi pemilukada oleh DPRD. Itu harus diantisipasi," kata Mahfud di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka barat, Jakarta Pusat, Selasa (16/9/2014).
Sementara itu, lanjut Mahfud, begitu juga dengan pelaksanaan pemilukada langsung bukan tak memiliki kelemahan. Jika pada akhirnya pemerintah mimilih opsi ini, Mahfud mengimbau agar diciptakan mekanisme untuk membatasi biaya kampanye.
Hal ini, lanjut dia, dilakukan agar seseorang yang tidak memiliki uang, juga memiliki akses yang sama maju sebagai calon kepala daerah.
"Kemudian perlu juga dibuat ketentuan diskualifikasi. Kalau ada orang main uang, itu didiskualifikasi saja," kata Mahfud.
Pemilukada langsung juga jangan sampai menggunakan alat birokrasi. Mahfud mengaku, selama dirinya menjadi hakim konstitusi telah menangani lebih dari 390 perkara. Dalam perkara itu ada unsur penyalahgunaan birokrasi.
Mahfud memaparkan, dalam pemilukada langsung, birokrasi sering kali disalahgunakan oleh calon kepala daerah tertentu. Menurut dia, ada birokrasi yang dipaksa mendukung seseorang, jika tidak mendukung maka akan dipecat.
Sementara, ada juga orang mendukung seorang calo tapi ketika yang didukung kalah, yang menang datang lalu memecat.
"Itu birokrasi rusak. Bahkan di suatu daerah di Sumatera, ada 132 pejabat struktural PNS itu didemosi. Jabatannya dicabut semua hanya karena tidak mau mendukung calon tertentu. Itu semua yang harus diantisipasi," kata Mahfud.
Menurut Mahfud, pemilukada oleh DPRD berdampak pada terjadinya politik uang yang lebih tertutup, bisa tersembunyi dan dalam jumlah yang besar. Namun, praktik politik uang itu hanya terbatas pada orang-orang elite partai dan anggota DPRD.
"Ini berdasar pengalaman yang sudah-sudah ya. Yang itu bisa saja terjadi lagi saat kita memilih opsi pemilukada oleh DPRD. Itu harus diantisipasi," kata Mahfud di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka barat, Jakarta Pusat, Selasa (16/9/2014).
Sementara itu, lanjut Mahfud, begitu juga dengan pelaksanaan pemilukada langsung bukan tak memiliki kelemahan. Jika pada akhirnya pemerintah mimilih opsi ini, Mahfud mengimbau agar diciptakan mekanisme untuk membatasi biaya kampanye.
Hal ini, lanjut dia, dilakukan agar seseorang yang tidak memiliki uang, juga memiliki akses yang sama maju sebagai calon kepala daerah.
"Kemudian perlu juga dibuat ketentuan diskualifikasi. Kalau ada orang main uang, itu didiskualifikasi saja," kata Mahfud.
Pemilukada langsung juga jangan sampai menggunakan alat birokrasi. Mahfud mengaku, selama dirinya menjadi hakim konstitusi telah menangani lebih dari 390 perkara. Dalam perkara itu ada unsur penyalahgunaan birokrasi.
Mahfud memaparkan, dalam pemilukada langsung, birokrasi sering kali disalahgunakan oleh calon kepala daerah tertentu. Menurut dia, ada birokrasi yang dipaksa mendukung seseorang, jika tidak mendukung maka akan dipecat.
Sementara, ada juga orang mendukung seorang calo tapi ketika yang didukung kalah, yang menang datang lalu memecat.
"Itu birokrasi rusak. Bahkan di suatu daerah di Sumatera, ada 132 pejabat struktural PNS itu didemosi. Jabatannya dicabut semua hanya karena tidak mau mendukung calon tertentu. Itu semua yang harus diantisipasi," kata Mahfud.
(kri)