Pemilukada Langsung Buka Peluang Cukong Politik

Jum'at, 12 September 2014 - 08:37 WIB
Pemilukada Langsung...
Pemilukada Langsung Buka Peluang Cukong Politik
A A A
JAKARTA - Sembilan tahun pelaksanaan pemilukada langsung dinilai banyak membawa dampak negatif bagi kemajuan pembangunan Indonesia. Salah satunya, pemilukada langsung justru membuka lebar peluang bagi cukong politik yang memperjualbelikan demokrasi.

"Pemilukada langsung juga jadi ruang yang dapat dimanfaatkan investor politik untuk memainkan dan membeli demokrasi," kata Presiden Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Jusuf Rizal dalam siaran pers yang diterima oleh SINDO di Jakarta, Kamis 11 September 2014.

Jusuf mengatakan, selama sembilan tahun lebih pelaksanaan pemilukada langsung, banyak para pemodal atau yang sering disebut cukong politik ikut andil dalam proses demokrasi. Mereka hadir untuk mensponsori biaya pemilukada calon kepala daerah, dimana modal yang dibutuhkan tidak sedikit.

"Jika ini terjadi maka pemodal kuat akan mencari figur-figur boneka by design untuk menjadi gubernur, bupati dan wali kota yang disponsori," jelas Jusuf.

Menurut Jusuf, dengan kondisi yang demikian, jika dibiarkan maka Indonesia akan dikuasai asing lewat gubernur, wali kota dan bupati secara pelan-pelan. Bahkan, sebagian tokoh nasionalis sudah mulai menyadari bahaya penjajahan lewat penguasaan tokoh-tokoh boneka para investor politik.

"Pemilukada Langsung menyuburkan transaksi demokrasi atas nama hak demokrasi rakyat," terangnya.

Dia menilai, tentu hal ini akan membahayakan kelangsungan berbangsa dan bernegara. Menurutnya, pendiri bangsa ini yakni Soekarno dan Hatta telah memikirkan hal itu secara matang hingga, persoalan ini dikunci dalam Pancasila sila keempat yang berbunyi "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan".

"Terlalu beresiko jika demokrasi digunakan bagi yang awam," imbuhnya.

Oleh karena itu, lanjutnya, resiko politik dalam mekanisme pemilihan lewat DPRD lebih sedikit. Karena, liberalisasi demokrasi sesungguhnya baik jika pendidikan dan ekonomi rakyat sudah baik. Serta, manajemen pengelolaan pemilu baik. Tapi fakta di Indonesia saat ini, mulai dari PPS, PPK, KPU, Bawaslu dan bahkan lembaga survei ikut bermain.

"Sekarang demokrasi baru berharga Rp100 ribu. Belum lagi sejumlah mudharat pemilihan langsung seperti lahirnya raja-raja koruptor di daerah, potensi konflik, manipulasi, penyuburan kebohongan atas nama elektabilitas hasil survey, dan lain-lain," ujarnya.

Lebih jauh, ia menjelaskan, dari harga demokrasi yang mahal itu, outputnya belum tentu menghasilkan pemimpin yang baik, dan meskipun ada yang baik tapi belum signifikan dan sesuai dengan harapan.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0758 seconds (0.1#10.140)