Muara Amburadul Pilpres di DPT
A
A
A
JAKARTA - Amburadulnya daftar pemilih pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 lalu, dinilai sejumlah kalangan merupakan salah satu bentuk kejahatan pemilu yang sistematis.
Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Chusnul Mariyah mengaku, sangat mengkhawatirkan terjadinya the liberal machiavelli ellection atau pemilu terbuka yang penuh dengan tipu muslihat.
Di mana pemilu yang terlihat demokratis karena berada di bawah payung hukum, tapi kenyataannya tidaklah demikian.
"Saya takut sekarang masuk pada terminologi yang disebut pemilu demokratis tapi sebetulnya masyarakat tidak menyadari telah terjadi kejahatan pemilu dari mulai tahapan semuanya," kata Chusnul dalam sebuah diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Senin 18 Agustus 2014.
Menurut Chusnul, tahapan yang dimaksud di antaranya, terkait Daftar Pemilih Tetap (DPT). Diakuinya, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tidak sepenuhnya disalahkan, karena telah memberikan anggaran cukup besar ke KPU untuk memerbaiki data penduduk.
"Masalahnya adalah kepada siapa KPU memberikan uang dan hak kewenangan untuk memerbaiki data pemilih itu," jelasnya.
Melalui DPT itu, kata dia, potensi pelanggaran sangat besar yakni, muncul yang namanya DPT oplosan seperti yang terjadi sekarang.
Dosen Universitas Indonesia (UI) ini menjelaskan, saat ini data DPT yang ada sangat amburadul ditambah keterlibatan asing dalam proses perbaikannya.
"Yang seperti ini harus disiapkan secara detail bagaimana sistem itu dibangun. Siapa yang membangunnya menjadi masalah sekarang," ungkapnya.
"Makanya saya dari dulu tidak setuju hal-hal yang berkaitan pemilu mengacu pada IT namun IT nya ada asing di dalamnya seperti International Foundation for Electoral System (IFES). Itu yang saya
enggak suka," pungkasnya.
Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Chusnul Mariyah mengaku, sangat mengkhawatirkan terjadinya the liberal machiavelli ellection atau pemilu terbuka yang penuh dengan tipu muslihat.
Di mana pemilu yang terlihat demokratis karena berada di bawah payung hukum, tapi kenyataannya tidaklah demikian.
"Saya takut sekarang masuk pada terminologi yang disebut pemilu demokratis tapi sebetulnya masyarakat tidak menyadari telah terjadi kejahatan pemilu dari mulai tahapan semuanya," kata Chusnul dalam sebuah diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Senin 18 Agustus 2014.
Menurut Chusnul, tahapan yang dimaksud di antaranya, terkait Daftar Pemilih Tetap (DPT). Diakuinya, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tidak sepenuhnya disalahkan, karena telah memberikan anggaran cukup besar ke KPU untuk memerbaiki data penduduk.
"Masalahnya adalah kepada siapa KPU memberikan uang dan hak kewenangan untuk memerbaiki data pemilih itu," jelasnya.
Melalui DPT itu, kata dia, potensi pelanggaran sangat besar yakni, muncul yang namanya DPT oplosan seperti yang terjadi sekarang.
Dosen Universitas Indonesia (UI) ini menjelaskan, saat ini data DPT yang ada sangat amburadul ditambah keterlibatan asing dalam proses perbaikannya.
"Yang seperti ini harus disiapkan secara detail bagaimana sistem itu dibangun. Siapa yang membangunnya menjadi masalah sekarang," ungkapnya.
"Makanya saya dari dulu tidak setuju hal-hal yang berkaitan pemilu mengacu pada IT namun IT nya ada asing di dalamnya seperti International Foundation for Electoral System (IFES). Itu yang saya
enggak suka," pungkasnya.
(maf)