Syahwat Kalangan Nonparpol Ingin Masuk Kabinet Semakin Nyata

Senin, 11 Agustus 2014 - 18:59 WIB
Syahwat Kalangan Nonparpol Ingin Masuk Kabinet Semakin Nyata
Syahwat Kalangan Nonparpol Ingin Masuk Kabinet Semakin Nyata
A A A
JAKARTA - Upaya deparpolisasi di kabinet Jokowi Widodo-Jusuf Kalla terus menuai polemik. Wacana ini dinilai akan melemahkan pemerintahan Jokowi ke depan. Alasannya, meski Indonesia menganut sistem presidensiil, namun praktiknya semi parlementer.

Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN), Jakarta, Zakki Mubarok mengatakan, sangat berbahaya di alam demokrasi, di mana parpol tumbuh dengan baik, namun diberangus oleh orang-orang yang mengatasnamakan profesionalisme.

"Banyak ketua dan pengurus parpol yang bagus dan profesional, disamping juga mengetahui medan politik di parlemen. Misalnya, mantan anggota DPR atau anggota DPR lebih mengerti suasana kebatinan di parlemen dan lebih mengerti medan di parlemen daripada orang-orang nonparpol. Bisa program pemerintah diganjal di parlemen," ujar Zakki ketika berbincang melalui sambungan telepon, Minggu (10/8/2014).

Zakki mencurigai ada gerakan sistematis, masif, dan terstruktur yang dilakukan orang-orang nonparpol untuk merebut jabatan di kabinet meski tanpa keringat. "Seperti penumpang gelap atau penumpang angkot," ucapnya.

Menurutnya, mereka akan menjadi beban tersendiri bagi presiden terpilih ketika ada kebuntuan politik di parlemen. "Perlu diingat bahwa parlemen menentukan jabatan-jabtan strategis, termasuk jabatan yudikatif dan eksekutif. Misalnya pemilihan hakim agung, BPK, KY, KPU, Bawslu, LPSK, Komnas HAM, KPI, dan lain-lain," jelasnya.

Dia mengingatkan Jokowi-JK mewaspadai orang-orang nonparpol yang syahwat politiknya tinggi dengan sengaja melakukan agenda deparpolisasi kabinet. "Patut dicurigai penumpang gelap itu syahwat politiknya luar biasa dan tidak terbendung untuk merebut kekuasaan di kabinet dan badan-badan strategis pemerintahan," tegasnya.

Menurut dia, partai politik secara konstitusional sah untuk memegang dan merebut kekuasaan politik. Tidak ada pengharaman orang-orang parpol merebut jabatan politik termasuk di kabninet.

"Soal tidak fokus itu tidak tepat dan tidak masuk akal, karena di parpol sudah ada tugas masing-masing, bisa dilakukan siapapun. Hari libur kan bisa ngurus partai, tidak di hari kerja. Dan perlu diingat bahwa menteri adalah jabatan politik, bukan jabatan birokratis," tandasnya.

Sebaliknya, Dia berpendapat, masuknya ketua dan pengurus partai masuk kabinet, justru akan menopang dukungan parlemen terhadap pemerintah. Alasannya, ketua dan pengurus partai punya arah instruksi yang jelas kepada fraksi anggota kadernya di parlemen.

"Ketua dan pengurus partai akan memperkuat stabilitas pemerintahan, sekaligus melancarkan program pemerintah di parlemen, termasuk melancarkan penyusunan APBN dan memasukkan program unggulan pemerintah di masing-masing komisi," tukasnya.

Justru orang nonparpol, misalnya dosen yang dijadikan anggota kabinet akan kesulitan untuk melakukan komunikasi politik dengan parlemen. Bahkan, kata Zakki bisa jadi program-programnya dihambat oleh parlemen.

"Ini bisa menimbulkan kekisruhan politik di parlemen. Di samping itu orang-orang nonparpol akan menjadi benalu bagi presiden terpilih karena tidak punya kekuatan politik apapun, dibanding orang parpol yang pernah duduk di parlemen lebih menguasai politik parlemen," katanya.

Zaki menduga, wacana menggusur pengurus parpol di kabinet itu sengaja digelindingkan oleh orang-orang nonparpol yang mengitari Jokowi agar mereka bisa menduduki kabinet dan badan strategis badan pemerintah yang lain.

"Jokowi diprovokasi terus-menerus, padahal mereka tidak punya kapasitas politik apapun, apalagi profesionalistas mereka juga dipertanyakan," tutupnya.
(kur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6374 seconds (0.1#10.140)