Menebak Keputusan Politik MK
A
A
A
DUA kali sudah MK telah melaksanakan sidang terkait sengketa pilpres 2014 yang digugat kubu Prabowo-Hatta sebagai pemohon. Pemohon mengklaim telah terjadi kecurangan yang dilakukan secara sistematis, terstruktur dan masif oleh penyelenggara pemilu.
Di antaranya adalah terkait coblos mandiri oleh panitia pemungutan di Papua dan juga terdapat beberapa kabupaten di Papua yang tidak terjadi pemilihan, namun terdapat hasil penghitungan suaranya. Seperti apa keputusan MK nanti menarik untuk dicermati bersama.
Apakah akan meloloskan gugatan kubu pemohon dan memutuskan penghitungan suara ulang atau bahkan pemungutan suara ulang (PSU), atau justru sebaliknya, MK menolak gugatan dan menegaskan kemenangan Jokowi-JK sebagai presiden terpilih.
Prediksi ini bagaimanapun akan menentukan masa depan Indonesia. Namun, tak ada salahnya kita coba berandai-andai untuk menebak keputusan politik MK terkait sengketa pilpres ini.
Pengandaian pertama, jika MK memutuskan menolak gugatan, apa konsekuensinya? Saya kira tidak ada. Artinya, suka atau tidak dengan keputusan itu, pada akhirnya memaksa kubu Prabowo-Hatta untuk bersikap legawa dan ikhlas menerima keputusan MK sebagai keputusan final menyelesaikan sengketa pilpres yang digugat.
Ini berarti pula jalan Jokowi-JK menjadi presiden dan wapres Indonesia berikutnya tinggal menunggu waktu untuk dilantik. Bahwa akan ada pansus pilpres yang nantinya dibentuk di DPR, itu sudah cerita lain.
Lalu pengandaian kedua, bagaimana jika MK memutuskan menerima gugatan kubu Prabowo- Hatta. Itu artinya, kemenangan Jokowi-JK sebagai presiden terpilih tertunda hingga keseluruhan rangkaian PSU atau pemilu ulang selesai dilaksanakan.
Keputusan MK jika menerima gugatan bisa membawa dua dampak pada hasil akhir, yakni menjadikan kemenangan milik Prabowo-Hatta atau tetap dimenangkan oleh Jokowi-JK.
Namun, jika keputusan MK menerima gugatan, berkonsekuensi pada konstelasi politik pasca-pilpres. Artinya, KPU sebagai penyelenggara berkewajiban melaksanakan keputusan MK untuk melaksanakan penghitungan atau pemilu ulang dan juga menarik kembali keputusan KPU tentang penetapan hasil pilpres 2014 yang dimenangkan oleh Jokowi-JK.
Dengan kata lain, Jokowi-JK belum bisa disebut sebagai presiden terpilih apabila dalam PSU atau pemilu ulang justru dimenangkan Prabowo-Hatta. Lalu apakah persoalan selesai jika MK menerima gugatan? Belum tentu.
Perubahan suara sangat mungkin terjadi dan tak menutup kemungkinan justru dimenangkan Prabowo-Hatta. Permasalahan baru pun akan timbul di mana pastinya kubu Jokowi-JK tidak akan sudi dianulir kemenangannya. Bila keadaan seperti ini, maka sengketa pilpres bisa berubah menjadi sengketa yang jauh lebih besar dan lebih kompleks.
Kekhawatiran paling krusial adalah situasi politik berubah menjadi konflik. Sebuah situasi yang tentu sangat tidak diinginkan oleh segenap warga negara dan akan membawa kerugian besar bagi prosesdemokrasiIndonesia.
Keputusan Adil dan Sederhana
Keputusan MK menjadi awal baru bagi kedua kubu. Mengapa? Keputusan MK ini akan menentukan masa depan 240-an juta rakyat Indonesia dan kelangsungan kepemimpinan Indonesia.
MK memiliki tanggung jawab untuk memutuskan sengketa dengan adil. Karena itu, bisa dibayangkan betapa besar tekanan politik yang ada di diri para hakim MK saat ini karena apa pun keputusan mereka akan berdampak besar pada konstelasi politik Indonesia ke depan.
Proses yang berlangsung di MK saat ini tentunya mungkin sarat dengan fakta hukum dan data. Namun, proses politik yang ada di dalamnya juga tak bisa dikesampingkan.
Proses politik yang dimaksud adalah bagaimana MK harus memutuskan kompleksitas persoalan politik pasca pilpres antara pemohon dan termohon dan menjadikan output berupa keputusan yang adil dan sederhana.
Adil dan sederhana menjadi sifat yang penting untuk dikedepankan. Sebab kedua kubu, bagaimanapun berupaya untuk memenangkan sengketa. Namun, keputusan yang adil dan sederhana juga tidak mudah. Adil bagi kubu satu belum tentu bagi kubu lainnya.
Sifat sederhana juga penting dalam keputusan MK. Karena, proses politik selanjutnya bagaimana melaksanakan keputusan yang bisa dipahami dan dilaksanakan dengan baik dan benar. Itu artinya juga mengeliminasi kecurangan sebagai objek yang disengketakan.
Harapan Pasca Keputusan MK
Dengan segala keruwetan pada implementasi dan proses politik di KPU hingga menciptakan sengketa hasil yang digugat, Pilpres 2014 dipercaya menjadi pilpres paling keras dan paling kompleks.
Kerumitan ini sebetulnya bisa diminimalisasi apabila sejak awal KPU bisa mengakomodir gugatan pihak kubu Prabowo-Hatta untuk melaksanakan penghitungan ulang yang telah mendapatkan rekomendasi dari Bawaslu.
Pelimpahan gugatan ke MK hanya menjadikan KPU ”aman” untuk sementara waktu. Namun, itu tidak berarti KPU akan tetap aman dari gugatan nantinya apabila MK memutuskan menerima gugatan pemohon.
Dan, akan semakin runyam apabila sampai justru dimenangkan oleh Prabowo-Hatta dalam PSU atau pemilu ulang. Sangat mungkin pula kubu Jokowi- JK akan turut menggugat KPU atas kecurangan-kecurangan yang mungkin juga dialami oleh kubu mereka. Rumit bukan?
Tetapi, inilah wajah demokrasi yang sedang coba bangsa ini bangun, penuh dengan kompleksitas dan kerumitan. Integrasi politik sebagai tujuan bersama kerap tersandera oleh berbagai kepentingan, baik individu, kelompok sosial, maupun partai politik.
Perubahan fundamental terkait aturan pemilu dan pilpres nantinya sangat dibutuhkan untuk bisa meminimalisasi potensi-potensi konflik dan sengketa yang bakal terjadi. Bahkan jika memungkinkan, tidak menimbulkan ketidaklegawaan bagi pihak yang kalah dan menerima kemenangan pihak lain.
Harapan terbesar masyarakat Indonesia saat ini adalah agar sengketa pilpres bisa segera selesai dan dengan mantap menetapkan presiden Indonesia untuk lima tahun ke depan. Untuk itu, keputusan politik oleh MK ini akan menjadi keputusan penting yang ditunggu-tunggu para penentu kebijakan negara nanti untuk kehidupan rakyat Indonesia yang lebih baik dan sejahtera.
IDIL AKBAR
Staf Pengajar FISIP Unpad dan
Peneliti di Nusantara Institute
Di antaranya adalah terkait coblos mandiri oleh panitia pemungutan di Papua dan juga terdapat beberapa kabupaten di Papua yang tidak terjadi pemilihan, namun terdapat hasil penghitungan suaranya. Seperti apa keputusan MK nanti menarik untuk dicermati bersama.
Apakah akan meloloskan gugatan kubu pemohon dan memutuskan penghitungan suara ulang atau bahkan pemungutan suara ulang (PSU), atau justru sebaliknya, MK menolak gugatan dan menegaskan kemenangan Jokowi-JK sebagai presiden terpilih.
Prediksi ini bagaimanapun akan menentukan masa depan Indonesia. Namun, tak ada salahnya kita coba berandai-andai untuk menebak keputusan politik MK terkait sengketa pilpres ini.
Pengandaian pertama, jika MK memutuskan menolak gugatan, apa konsekuensinya? Saya kira tidak ada. Artinya, suka atau tidak dengan keputusan itu, pada akhirnya memaksa kubu Prabowo-Hatta untuk bersikap legawa dan ikhlas menerima keputusan MK sebagai keputusan final menyelesaikan sengketa pilpres yang digugat.
Ini berarti pula jalan Jokowi-JK menjadi presiden dan wapres Indonesia berikutnya tinggal menunggu waktu untuk dilantik. Bahwa akan ada pansus pilpres yang nantinya dibentuk di DPR, itu sudah cerita lain.
Lalu pengandaian kedua, bagaimana jika MK memutuskan menerima gugatan kubu Prabowo- Hatta. Itu artinya, kemenangan Jokowi-JK sebagai presiden terpilih tertunda hingga keseluruhan rangkaian PSU atau pemilu ulang selesai dilaksanakan.
Keputusan MK jika menerima gugatan bisa membawa dua dampak pada hasil akhir, yakni menjadikan kemenangan milik Prabowo-Hatta atau tetap dimenangkan oleh Jokowi-JK.
Namun, jika keputusan MK menerima gugatan, berkonsekuensi pada konstelasi politik pasca-pilpres. Artinya, KPU sebagai penyelenggara berkewajiban melaksanakan keputusan MK untuk melaksanakan penghitungan atau pemilu ulang dan juga menarik kembali keputusan KPU tentang penetapan hasil pilpres 2014 yang dimenangkan oleh Jokowi-JK.
Dengan kata lain, Jokowi-JK belum bisa disebut sebagai presiden terpilih apabila dalam PSU atau pemilu ulang justru dimenangkan Prabowo-Hatta. Lalu apakah persoalan selesai jika MK menerima gugatan? Belum tentu.
Perubahan suara sangat mungkin terjadi dan tak menutup kemungkinan justru dimenangkan Prabowo-Hatta. Permasalahan baru pun akan timbul di mana pastinya kubu Jokowi-JK tidak akan sudi dianulir kemenangannya. Bila keadaan seperti ini, maka sengketa pilpres bisa berubah menjadi sengketa yang jauh lebih besar dan lebih kompleks.
Kekhawatiran paling krusial adalah situasi politik berubah menjadi konflik. Sebuah situasi yang tentu sangat tidak diinginkan oleh segenap warga negara dan akan membawa kerugian besar bagi prosesdemokrasiIndonesia.
Keputusan Adil dan Sederhana
Keputusan MK menjadi awal baru bagi kedua kubu. Mengapa? Keputusan MK ini akan menentukan masa depan 240-an juta rakyat Indonesia dan kelangsungan kepemimpinan Indonesia.
MK memiliki tanggung jawab untuk memutuskan sengketa dengan adil. Karena itu, bisa dibayangkan betapa besar tekanan politik yang ada di diri para hakim MK saat ini karena apa pun keputusan mereka akan berdampak besar pada konstelasi politik Indonesia ke depan.
Proses yang berlangsung di MK saat ini tentunya mungkin sarat dengan fakta hukum dan data. Namun, proses politik yang ada di dalamnya juga tak bisa dikesampingkan.
Proses politik yang dimaksud adalah bagaimana MK harus memutuskan kompleksitas persoalan politik pasca pilpres antara pemohon dan termohon dan menjadikan output berupa keputusan yang adil dan sederhana.
Adil dan sederhana menjadi sifat yang penting untuk dikedepankan. Sebab kedua kubu, bagaimanapun berupaya untuk memenangkan sengketa. Namun, keputusan yang adil dan sederhana juga tidak mudah. Adil bagi kubu satu belum tentu bagi kubu lainnya.
Sifat sederhana juga penting dalam keputusan MK. Karena, proses politik selanjutnya bagaimana melaksanakan keputusan yang bisa dipahami dan dilaksanakan dengan baik dan benar. Itu artinya juga mengeliminasi kecurangan sebagai objek yang disengketakan.
Harapan Pasca Keputusan MK
Dengan segala keruwetan pada implementasi dan proses politik di KPU hingga menciptakan sengketa hasil yang digugat, Pilpres 2014 dipercaya menjadi pilpres paling keras dan paling kompleks.
Kerumitan ini sebetulnya bisa diminimalisasi apabila sejak awal KPU bisa mengakomodir gugatan pihak kubu Prabowo-Hatta untuk melaksanakan penghitungan ulang yang telah mendapatkan rekomendasi dari Bawaslu.
Pelimpahan gugatan ke MK hanya menjadikan KPU ”aman” untuk sementara waktu. Namun, itu tidak berarti KPU akan tetap aman dari gugatan nantinya apabila MK memutuskan menerima gugatan pemohon.
Dan, akan semakin runyam apabila sampai justru dimenangkan oleh Prabowo-Hatta dalam PSU atau pemilu ulang. Sangat mungkin pula kubu Jokowi- JK akan turut menggugat KPU atas kecurangan-kecurangan yang mungkin juga dialami oleh kubu mereka. Rumit bukan?
Tetapi, inilah wajah demokrasi yang sedang coba bangsa ini bangun, penuh dengan kompleksitas dan kerumitan. Integrasi politik sebagai tujuan bersama kerap tersandera oleh berbagai kepentingan, baik individu, kelompok sosial, maupun partai politik.
Perubahan fundamental terkait aturan pemilu dan pilpres nantinya sangat dibutuhkan untuk bisa meminimalisasi potensi-potensi konflik dan sengketa yang bakal terjadi. Bahkan jika memungkinkan, tidak menimbulkan ketidaklegawaan bagi pihak yang kalah dan menerima kemenangan pihak lain.
Harapan terbesar masyarakat Indonesia saat ini adalah agar sengketa pilpres bisa segera selesai dan dengan mantap menetapkan presiden Indonesia untuk lima tahun ke depan. Untuk itu, keputusan politik oleh MK ini akan menjadi keputusan penting yang ditunggu-tunggu para penentu kebijakan negara nanti untuk kehidupan rakyat Indonesia yang lebih baik dan sejahtera.
IDIL AKBAR
Staf Pengajar FISIP Unpad dan
Peneliti di Nusantara Institute
(hyk)