Asing Selalu Intervensi Pilpres di Indonesia

Selasa, 22 Juli 2014 - 11:38 WIB
Asing Selalu Intervensi Pilpres di Indonesia
Asing Selalu Intervensi Pilpres di Indonesia
A A A
JAKARTA - Pengamat intelijen, John Helmi Mempie mengatakan, asing selalu berkepentingan terhadap pemilihan presiden (pilpres) di Indonesia. Karena itu, intervensi asing tidak bisa dielakkan dan terjadi sejak Pemilu 2004, 2009 dan 2014 ini.

Saat ini, kecurangan dilakukan secara terbuka dan sudah menjadi rahasia. Lama kelamaan semua kalangan mendiamkan seperti sudah maklum.

"Semua sudah disiapkan sejak Amandemen UUD 1945. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah instrumen yang bertugas mengamankan kepentingan asing. Semuanya ada di dalam Letter of Intent (LoI) pada Bank Dunia dan IMF (International Monetary Fund) saat awal reformasi," ujar John kepada wartawan, di Jakarta, Selasa (22/7/2014).

Menurut dia, Pemilu 2014 mencerminkan puncak kegagalan demokrasi dalam era reformasi, yang menyebabkan kontraksi dan konflik di mana-mana.

“Kecurangan dalam pemilu menjadi biasa. Namun, menerima kekalahan karena kecurangan dengan legowo adalah naif. Bangga karena menang dengan cara curang juga munafik. Lama kelamaan semua mendiamkan seperti sudah maklum,” paparnya.

Menurutnya, siapapun pemenang pilpres lewat pemilu liberal seperti ini, kata John, hanya akan menjadi boneka asing dalam hal ini Amerika Serikat (AS) dan pasti gagal membebaskan rakyat Indonesia dari penghisapan dan penindasan neo-kolonialisme-imperialisme (nekolim).

Sementara, pengamat hukum pidana, Taufik Budiman menambahkan, akan melakukan somasi kepada KPU apabila tetap mengumumkan hasil Pilpres 2014.

“Bagaimana mungkin kita memiliki presiden dari sebuah pemilihan presiden yang didasarkan pada pemilihan legislatif yang penuh dengan kecurangan," ucapnya.

"Ada 918 kasus Pileg masuk di MK dan 697 layak di proses. Dalam hukum pidana data palsu yang ditetapkan oleh KPU dapat dipidanakan dan bisa dituntut 8 tahun penjara,” imbuhnya.

Sedangkan, mantan Asisten Teritorial Mayjen (Purn) Saurip Kadi mengingatkan, demokrasi yang dijalankan saat ini adalah demokrasi transaksional yang hanya melahirkan berandal politik, bandit ekonomi dan hukum wanipiro. "Sementara keluarga prajurit untuk mendapatkan rumah tipe 36 harus mencicil 25 tahun,” urai Saurip.

Kemudian, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Poppy Dharsono mengatakan, pilpres seharusnya menjadi kemenangan rakyat Indonesia, bukan menjadi kemenangan elite politik atau kemenangan kepentingan asing atas Indonesia dengan cara-cara curang.

“Pemilu saat ini harus menjadi pembelajaran bagi semua orang bahwa, sistem demokrasi yang ada saat ini tidak bisa mengabdi pada kepentingan rakyat. Sudah waktunya untuk kembali ke Undang-undang Dasar 1945 yang asli,” terang Poppy.

Hal senada juga dilayangkan, Salamuddin Daeng dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Bahkan, dia menyangsikan independensi KPU dalam Pipres 2014 ini, sebab penyelenggara pemilu dan sejumlah lembaga survei telah lama dibina dan menerima dana asing.

Menurut peneliti kebijakan ekonomi politik global itu, KPU merupakan salah satu lembaga negara yang paling banyak menerima dana asing dalam rangka penyelenggaraan pemilu. "Itulah mengapa lembaga tersebut sulit dipercaya independensinya terhadap kandidat yang didukung asing," pungkas Salamuddin.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.1998 seconds (0.1#10.140)