Lembaga Survei Diminta Pahami Sistem Koreksi Perolehan Suara
A
A
A
JAKARTA - Hasil quick count (hitung cepat) lembaga survei mengenai hasil Pilpres 2014 menjadi bola salju yang terus bergulir. Tak hanya membuat masyarakat bingung, lembaga survei juga membuka ruang terciptanya konflik.
Menurut Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin, setiap lembaga survei harus paham bahwa quick count (hitung cepat) diperoleh dari tempat pemungutan suara (TPS). Pertanyaannya, apakah hasil penghitungan di TPS akan persis sama secara nasional?
"Jawabannya tidak pasti. Kenapa? Karena sistem pemilu kita itu mengenal apa yang disebut sistem koreksi perolehan suara. Sistem itu menggunakan dua mekanisme, pertama pengajuan keberatan kepada penyelenggara pemilu, kedua pengajuan perselisihan ke MK," ujarnya ketika dihubungi Sindonews, Minggu (13/7/2014).
Ia melanjutkan, dalam sistem koreksi perolehan suara dimungkinkan terjadi perubahan perolehan suara. Misal, di suatu TPS pasangan Jokowi-JK menemukan ada kesalahan penghitungan yang dilakukan KPPS, sehingga menguntungkan kubu Prabowo-Hatta.
Maka, kata Said, kubu Jokowi-JK bisa mengajukan permohonan keberatan kepada penyelenggara pemilu. Apabila keberatan itu diterima maka angkanya dengan sendirinya akan terkoreksi.
"Kesalahan bisa terjadi mulai dari tahap penghitungan suara di TPS, tahap rekapitulasi di PPS, PPK, kabupaten/kota, provinsi hingga nasional bisa terjadi. Karena kemungkinan perubahan suara itu dimungkinkan undang-undang, maka dengan sendirinya terbuka kemungkinan hasil quick count itu tidak persis sama dengan hasil penghitungan manual," jelas Said.
Dijelaskannya, hasil hitung cepat itu sama sekali tidak pernah memperhitungkan kemungkinan adanya koreksi perolehan suara di tiap tingkatan berdasarkan hak peserta pemilu yang dijamin peraturan perundang-undangan. Jadi sangat mungkin hasil hitung manual KPU nantinya berbeda dengan hasil hitung cepat.
"Jadi saya peringatkan kepada lembaga survei yang hasil hitung cepatnya memenangkan Prabowo-Hatta maupun yang memenangkan Jokowi-JK agar tidak memprovokasi masyarakat dengan pernyataan-pernyataan yang menyesatkan," pungkasnya.
Menurut Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin, setiap lembaga survei harus paham bahwa quick count (hitung cepat) diperoleh dari tempat pemungutan suara (TPS). Pertanyaannya, apakah hasil penghitungan di TPS akan persis sama secara nasional?
"Jawabannya tidak pasti. Kenapa? Karena sistem pemilu kita itu mengenal apa yang disebut sistem koreksi perolehan suara. Sistem itu menggunakan dua mekanisme, pertama pengajuan keberatan kepada penyelenggara pemilu, kedua pengajuan perselisihan ke MK," ujarnya ketika dihubungi Sindonews, Minggu (13/7/2014).
Ia melanjutkan, dalam sistem koreksi perolehan suara dimungkinkan terjadi perubahan perolehan suara. Misal, di suatu TPS pasangan Jokowi-JK menemukan ada kesalahan penghitungan yang dilakukan KPPS, sehingga menguntungkan kubu Prabowo-Hatta.
Maka, kata Said, kubu Jokowi-JK bisa mengajukan permohonan keberatan kepada penyelenggara pemilu. Apabila keberatan itu diterima maka angkanya dengan sendirinya akan terkoreksi.
"Kesalahan bisa terjadi mulai dari tahap penghitungan suara di TPS, tahap rekapitulasi di PPS, PPK, kabupaten/kota, provinsi hingga nasional bisa terjadi. Karena kemungkinan perubahan suara itu dimungkinkan undang-undang, maka dengan sendirinya terbuka kemungkinan hasil quick count itu tidak persis sama dengan hasil penghitungan manual," jelas Said.
Dijelaskannya, hasil hitung cepat itu sama sekali tidak pernah memperhitungkan kemungkinan adanya koreksi perolehan suara di tiap tingkatan berdasarkan hak peserta pemilu yang dijamin peraturan perundang-undangan. Jadi sangat mungkin hasil hitung manual KPU nantinya berbeda dengan hasil hitung cepat.
"Jadi saya peringatkan kepada lembaga survei yang hasil hitung cepatnya memenangkan Prabowo-Hatta maupun yang memenangkan Jokowi-JK agar tidak memprovokasi masyarakat dengan pernyataan-pernyataan yang menyesatkan," pungkasnya.
(kri)