Hitung Cepat Jangan Rusak Sistem Pemilu
A
A
A
JAKARTA - Sebagai produk ilmu pengetahuan, harus diakui hitung cepat besar manfaatnya bagi demokrasi. Tetapi kehadirannya dinilai tidak boleh sampai merusak sistem hukum pemilu.
"Kalau undang-undang sudah menyatakan hasil resmi pemilu adalah melalui penghitungan manual oleh KPU, maka hasil hitung manual itulah yang harus ditempatkan di atas hasil hitung cepat," ujar Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin ketika dihubungi Sindonews, Minggu (13/7/2014).
Menurutnya, hal itu tidak boleh dibolak-balik. Seolah hasil hitung manual harus mengikuti atau harus dicocok-cocokan dengan hasil hitung cepat lembaga survei.
"Jadi, kalau sekadar khawatir bahwa proses rekapitulasi penghitungan suara akan diwarnai kecurangan, itu masih wajar," ucap dia.
Ia menilai, memang selalu ada potensi kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu dalam pelaksanaan rekapitulasi penghitungan suara. Tetapi, lanjutnya, tidak boleh memastikan ada kecurangan sebelum ditemukan bukti.
Sebelumnya Direktur Eksekutif Indikator Burhanudin Muhtadi di media, merasa hasil quick count yang dilakukan lembaganya sudah benar. Bahkan dengan lantang, Burhanudin menuding KPU salah jika hasil real count nya berbeda dengan hasil quick count miliknya.
Dalam quick count yang dilakukan Burhanudin memenangkan pasangan calon presiden (capres) nomor urut 2 Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan perolehan 52.95 persen. Sementara pasangan capres nomor urut 1 Prabowo Subianto-Hatta Rajasa hanya memperoleh 47,05 persen.
"Kalau hasil hitungan resmi KPU nanti terjadi perbedaan dengan lembaga survei yang ada di sini, saya percaya KPU yang salah dan hasil hitung cepat kami tidak salah," kata Burhan dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis, 10 Juli 2014.
Dalam konferensi persnya itu juga hadir perwakilan survei yang memenangkan pasangan Jokowi-JK. Lembaga itu adalah Populi Center, Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Litbang Kompas, Radio Republik Indonesia (RRI), Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), dan Cyrus yang bekerja sama dengan Center for Strategic and International Studies (CSIS).
"Kalau undang-undang sudah menyatakan hasil resmi pemilu adalah melalui penghitungan manual oleh KPU, maka hasil hitung manual itulah yang harus ditempatkan di atas hasil hitung cepat," ujar Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin ketika dihubungi Sindonews, Minggu (13/7/2014).
Menurutnya, hal itu tidak boleh dibolak-balik. Seolah hasil hitung manual harus mengikuti atau harus dicocok-cocokan dengan hasil hitung cepat lembaga survei.
"Jadi, kalau sekadar khawatir bahwa proses rekapitulasi penghitungan suara akan diwarnai kecurangan, itu masih wajar," ucap dia.
Ia menilai, memang selalu ada potensi kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu dalam pelaksanaan rekapitulasi penghitungan suara. Tetapi, lanjutnya, tidak boleh memastikan ada kecurangan sebelum ditemukan bukti.
Sebelumnya Direktur Eksekutif Indikator Burhanudin Muhtadi di media, merasa hasil quick count yang dilakukan lembaganya sudah benar. Bahkan dengan lantang, Burhanudin menuding KPU salah jika hasil real count nya berbeda dengan hasil quick count miliknya.
Dalam quick count yang dilakukan Burhanudin memenangkan pasangan calon presiden (capres) nomor urut 2 Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan perolehan 52.95 persen. Sementara pasangan capres nomor urut 1 Prabowo Subianto-Hatta Rajasa hanya memperoleh 47,05 persen.
"Kalau hasil hitungan resmi KPU nanti terjadi perbedaan dengan lembaga survei yang ada di sini, saya percaya KPU yang salah dan hasil hitung cepat kami tidak salah," kata Burhan dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis, 10 Juli 2014.
Dalam konferensi persnya itu juga hadir perwakilan survei yang memenangkan pasangan Jokowi-JK. Lembaga itu adalah Populi Center, Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Litbang Kompas, Radio Republik Indonesia (RRI), Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), dan Cyrus yang bekerja sama dengan Center for Strategic and International Studies (CSIS).
(kri)