Pernyataan Burhanudin Paling Provokatif Sepanjang Sejarah Pemilu
A
A
A
JAKARTA - Membaca berita sebuah media nasional terkemuka tadi malam, Kamis 10 Juli 2014, dengan judul berita Jika KPU Menangkan Prabowo, Lembaga Survei Tuding KPU yang Salah, membuat kalangan akademik mengernyitkan dahi sebagai ekspresi keanehan.
Dalam berita tersebut Burhanudin mengemukakan, "Kalau hasil hitungan resmi KPU nanti terjadi perbedaan dengan lembaga survei yang ada di sini, saya percaya KPU yang salah dan hasil hitung cepat kami tidak salah," kata Burhanudin.
Menurut pandangan akademik, itu pernyataan paling provokatif dan paling absolut sepanjang sejarah pemilu Indonesia pasca Reformasi. Meragukan KPU sah sah saja tetapi kalau sampai mengganggap quick count sebagai kebenaran mutlak itu yang keliru.
"Secara akademik quick count itu hanya sampel, validitasnya tidak 100 persen," kata Direktur Puspol Indonesia Ubedilah Badrun lewat pers rilis kepada Sindonews, Jumat (11/7/2014).
Karena ada dua faktor penting yang menentukan validitas quick count yaitu, faktor penentuan sampel TPS yang harus memertimbangkan keragaman segmentasi pemilih dan keragaman afiliasi politik pemilih.
"Kedua, kejujuran entri data suara dari surveyor di TPS dan kejujuran pengolah data di pusat data quick count. Oleh karena itu tidak ada kebenaran mutlak dari quick count," ucapnya.
Ubedilah menjelaskan, selain itu data kekeliruan quick count juga pernah terjadi di Indonesia saat pemilukada di Jawa Timur tahun 2008 dan pemilukada di Bali tahun 2013.
"Langkah terbaik saat ini adalah menghargai kerja kerja KPU dan menghargai keputusan KPU yang akan mengumumkan hasil pilpres 22 Juli mendatang. Jika ada perbedaan data solusi terbaiknya sudah ada melalui mekanisme di Mahkamah Konstitusi (MK)," pungkasnya.
Dalam berita tersebut Burhanudin mengemukakan, "Kalau hasil hitungan resmi KPU nanti terjadi perbedaan dengan lembaga survei yang ada di sini, saya percaya KPU yang salah dan hasil hitung cepat kami tidak salah," kata Burhanudin.
Menurut pandangan akademik, itu pernyataan paling provokatif dan paling absolut sepanjang sejarah pemilu Indonesia pasca Reformasi. Meragukan KPU sah sah saja tetapi kalau sampai mengganggap quick count sebagai kebenaran mutlak itu yang keliru.
"Secara akademik quick count itu hanya sampel, validitasnya tidak 100 persen," kata Direktur Puspol Indonesia Ubedilah Badrun lewat pers rilis kepada Sindonews, Jumat (11/7/2014).
Karena ada dua faktor penting yang menentukan validitas quick count yaitu, faktor penentuan sampel TPS yang harus memertimbangkan keragaman segmentasi pemilih dan keragaman afiliasi politik pemilih.
"Kedua, kejujuran entri data suara dari surveyor di TPS dan kejujuran pengolah data di pusat data quick count. Oleh karena itu tidak ada kebenaran mutlak dari quick count," ucapnya.
Ubedilah menjelaskan, selain itu data kekeliruan quick count juga pernah terjadi di Indonesia saat pemilukada di Jawa Timur tahun 2008 dan pemilukada di Bali tahun 2013.
"Langkah terbaik saat ini adalah menghargai kerja kerja KPU dan menghargai keputusan KPU yang akan mengumumkan hasil pilpres 22 Juli mendatang. Jika ada perbedaan data solusi terbaiknya sudah ada melalui mekanisme di Mahkamah Konstitusi (MK)," pungkasnya.
(maf)