Empat Potensi Kecurangan yang Harus Diantisipasi
A
A
A
JAKARTA - Dosen Politik dan Pemerintahan Unpad Bandung Muradi mengajak publik dan tim sukses untuk mengatisipasi potensi kecurangan yang kemungkinan terjadi menjelang pelaksanaan Pilpres pada 9 Juli nanti.
“Tiga hari menjelang pilpres ada empat potensi kecurangan yang harus diantisipasi oleh publik dan juga timses,” kata Muradi ketika dihubungi SINDO, Minggu 6 Juli 2014.
Empat potensi kecurangan tersebut yakni pertama, kesiapan dan profesionalitas penyelengara pemilu. Berkaca dari penyelenggaraan pileg lalu, kata dia, maka potensi kecurangan diprediksi akan lebih masif. Hal ini disebabkan oleh semua struktur penyelenggara sulit untuk tetap netral.
“Pada kondisi ini kecenderungan terjadi simbiosis mutualisme, antara timses dengan penyelenggara pemilu di semua tingkatan,” jelasnya.
Kedua, struktur birokrasi yang dibawahi oleh timses capres di tingkat provinsi hingga struktur terkecil di tingkat RT/RW. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu capres mengkondisikan ketua timses di provinsi hingga kabupaten/kota adalah kepala daerah yang berasal dari partai koalisinya.
Ketiga, kata Muradi, manuver oknum institusi keamanan dari tiga institusi terkait yakni TNI, Polri, dan BIN. Langkah ini, kata dia, dilakukan baik sistematis maupun tidak sistematis dengan mengikuti irama politik yang terjadi dan terkondisikan.
“Sampai saat ini, institusi keamanan nampak belum sepenuhnya menjalankan komitmen netral dan menjaga jarak dari politik praktis,” ungkapnya.
Keempat, kata dia, praktik politik uang yang melibatkan jual beli suara, yang melibatkan unsur masyarakat dalam melakukan mobilisasi publik.
“Langkah ini disinyalir melibatkan unsur birokrasi dan oknum aparat keamanan,” pungkasnya.
“Tiga hari menjelang pilpres ada empat potensi kecurangan yang harus diantisipasi oleh publik dan juga timses,” kata Muradi ketika dihubungi SINDO, Minggu 6 Juli 2014.
Empat potensi kecurangan tersebut yakni pertama, kesiapan dan profesionalitas penyelengara pemilu. Berkaca dari penyelenggaraan pileg lalu, kata dia, maka potensi kecurangan diprediksi akan lebih masif. Hal ini disebabkan oleh semua struktur penyelenggara sulit untuk tetap netral.
“Pada kondisi ini kecenderungan terjadi simbiosis mutualisme, antara timses dengan penyelenggara pemilu di semua tingkatan,” jelasnya.
Kedua, struktur birokrasi yang dibawahi oleh timses capres di tingkat provinsi hingga struktur terkecil di tingkat RT/RW. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu capres mengkondisikan ketua timses di provinsi hingga kabupaten/kota adalah kepala daerah yang berasal dari partai koalisinya.
Ketiga, kata Muradi, manuver oknum institusi keamanan dari tiga institusi terkait yakni TNI, Polri, dan BIN. Langkah ini, kata dia, dilakukan baik sistematis maupun tidak sistematis dengan mengikuti irama politik yang terjadi dan terkondisikan.
“Sampai saat ini, institusi keamanan nampak belum sepenuhnya menjalankan komitmen netral dan menjaga jarak dari politik praktis,” ungkapnya.
Keempat, kata dia, praktik politik uang yang melibatkan jual beli suara, yang melibatkan unsur masyarakat dalam melakukan mobilisasi publik.
“Langkah ini disinyalir melibatkan unsur birokrasi dan oknum aparat keamanan,” pungkasnya.
(kri)